Kamis, 01 Mei 2008

Ciri-Ciri Penyakit Hati







Satu
Definisi
Penyakit Hati
[1]

PENYAKIT hati adalah perasaan tidak enak yang muncul di dalam diri manusia sehingga menyebabkan hatinya menjadi terasa tidak tenang, gelisah dan was-was. Perasaan tidak enak itu, mirip seperti sebuah virus yang sering menyerang komputer. Ia muncul karena adanya ’sesuatu’ yang ’tidak beres’ di dalam hati dan pikiran manusia. Tidak peduli laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil maupun kaya-miskin.
Jika hati dan pikiran manusia itu telah diserang oleh virus yang bisa membahayakan iman-Islam tersebut, maka sulit bagi manusia untuk bisa mengendalikannya. Apalagi untuk menghilangkannya. Sebab, sekali ia telah menempel di dalam hati dan pikiran manusia, maka semakin sulit bagi manusia untuk menghalau proses penyebarannya.
Orang yang diserang virus penyakit hati itu, mirip seperti orang yang dipatuk ular berbisa. Misalnya dipatuk ular cobra atau ular derik. Bisa yang disuntikkan oleh ular cobra atau ular derik itu, begitu masuk ke dalam tubuh manusia, maka ia langsung menyebar dengan cepat lewat pembuluh darah. Adapun target yang ingin dicapai dari proses penyebaran bisa ular tersebut adalah, menyerang jantung manusia.
Tak ubahnya seperti bisa ular yang menyebar di dalam tubuh manusia, proses penyebaran virus penyakit hati pun berlangsung sangat cepat. Ia merangkul hawa nafsu manusia untuk kemudian bersama-sama menyerang hati dan pikiran manusia. Lewat hati, virus tersebut menyuntikkan rasa tidak enak, rasa sakit, rasa dengki dan berbagai rasa negatif lainnya. Sedang lewat pikiran, virus tersebut menyemprotkan segudang alasan atau dalil untuk membenarkan setiap tindakan yang akan diambil oleh manusia. Termasuk tindakan yang bersifat nerabas syari’at Kanjeng Nabi saw.Karenanya tak heran, orang yang telah dipatuk oleh ular cobra atau ular derik yang bisanya terkenal sangat mematikan itu, dalam hitungan detik, hidupnya akan segera berakhir. Kalaupun, misalnya, ada orang yang dapat selamat dari bisa ular cobra atau ular derik, maka dapat dipastikan, selamatnya orang yang telah dipatuk ular itu, mutlak karena adanya kemurahan dan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla.
Tak ubahnya seperti bisa ular yang menyebar di dalam tubuh manusia, proses penyebaran virus penyakit hati pun berlangsung sangat cepat. Ia merangkul hawa nafsu manusia untuk kemudian bersama-sama menyerang hati dan pikiran manusia. Lewat hati, virus tersebut menyuntikkan rasa tidak enak, rasa sakit, rasa dengki dan berbagai rasa negatif lainnya. Sedang lewat pikiran, virus tersebut menyemprotkan segudang alasan atau dalil untuk membenarkan setiap tindakan yang akan diambil oleh manusia. Termasuk tindakan yang bersifat nerabas syari’at Kanjeng Nabi saw.
Menurut para musallaf, orang-orang yang hatinya sedang sakit itu, biasanya, sering mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Sebab, emosi orang yang hatinya sedang sakit itu sangat tidak stabil. Karena itu, ia gampang sekali goyah. Hal itu terjadi karena, orang yang hatinya sedang sakit itu, acapkali mengalami kesulitan dalam melihat hakikat dari suatu persoalan atau situasi yang sedang terjadi di hadapannya. Akibatnya, ia gampang sekali terpancing emosi, dan terkadang larut dalam situasi yang sedang terjadi saat itu.
Lihat saja, misalnya, bagaimana sikap orang-orang yang hatinya sedang terbakar oleh nafsu amarah. Selain emosinya suka meledak-ledak, akal sehatnya pun terkadang tidak bisa berfungsi dengan baik. Sedikit saja ada tindakan yang dirasa kurang berkenan di hatinya, maka bisa menjadi pemicu bagi kemarahannya. Padahal dia sudah tahu, misalnya, bahwa agama Islam tidak pernah membenarkan --- apalagi menghalalkan --- bagi para pemeluknya untuk melampiaskan kemarahan dalam bentuk apapun, meski saat itu ia sedang berada dalam posisi benar.
Simak saja, misalnya, firman Allah dalam surat Asy-Syuura ayat 40 berikut ini:


“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka, barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

Atau perhatikan juga firmanNya yang lain dalam surat Ali-’Imran 133-134 berikut:


”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu, orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Terkait dengan masalah marah tersebut, Rasulullah saw --- Ya Allah, dengan sebab kemurahanMu, manjakanlah beliau, keluarga, kerabat, sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman nanti --- sendiri telah bersabda : ”... orang yang kuat itu adalah, orang yang dapat menahan hawa nafsunya ketika marah.” (HR. Bukhari – Muslim)
Demikianlah agama Islam mengajarkan para pemeluknya agar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh nafsu amarah. Sebab, jika kita sudah dikuasai oleh nafsu amarah, maka gampang sekali kita jadi gelap mata. Bahkan, tak jarang, akal pikiran kita pun jadi tak dapat berfungsi dengan baik.
Halusinasi
Jika kecemasan itu diikuti dengan adanya proses ’halusinasi’, maka ia akan berubah menjadi sebuah ketakutan yang berlebihan. Rasa takut yang tidak proporsional itulah yang kemudian membuat kita akhirnya menjadi tidak tenang hidupnya alias selalu merasa gelisah, khawatir dan was-was. DALAM beberapa kasus, rasa tidak enak yang ada di dalam hati itu, terkadang sering membuat orang yang terkena pengaruhnya, mudah sekali menjadi goyah. Apalagi kalau ia sudah masuk ke dalam jebakan ’halusinasi’ yang muncul dari situasi yang ada di sekitarnya. Misalnya, terpengaruh oleh kondisi sebelum munculnya perasaan tidak enak tersebut di dalam hati. Kalau sudah seperti itu, bak sebuah perangkap, perasaan tidak enak itu akan berubah menjadi ’stimulan’ yang akan mendorong orang yang terkena pengaruhnya menjadi menggebu-gebu.
Misalnya perasaan cemas. Jika kecemasan itu diikuti dengan adanya proses ’halusinasi’, maka ia akan berubah menjadi sebuah ketakutan yang berlebihan. Rasa takut yang tidak proporsional itulah yang kemudian membuat kita akhirnya menjadi tidak tenang hidupnya, alias selalu merasa gelisah, khawatir dan was-was.
Dalam perspektif ilmu rohani, jika perasaan gelisah, khawatir dan was-was itu terus-menerus berada di dalam hati kita, maka hati kita bisa berubah menjadi kaku, beku atau bahkan mati, alias tidak bisa berfungsi dengan baik. Ujung-ujungnya, semangat hidup kita pun menjadi kendur. Puncaknya adalah, kita jadi tidak percaya kepada Tuhan Yang Sebenarnya. Penyakit hati semacam inilah yang sering dialami oleh orang-orang yang putus asa pada rahmat Allah SWT.
Tidak seperti penyakit dalam perspektif ilmu medis yang sering menyerang manusia pada umumnya, penyakit hati yang dibawa oleh virus bernama ’tidak terima’ pada kehendak Allah itu, wujudnya memang sangat sulit untuk dideteksi. Apalagi ia memang tidak kasat mata dan selalu bersembunyi di dalam hati dan pikiran manusia.
Meski tidak kasat mata, dengan sebab kemurahan Allah, kehadirannya di dalam hati manusia, sesungguhnya tetap bisa dirasakan. Terutama ketika ia muncul dalam bentuk adanya rasa senang dan rasa tidak senang. Dari rasa itulah, kita bisa mengetahui bagaimana kiprah virus yang bernama ‘tidak terima’ pada kehendak Allah tersebut. Terkadang ia bisa memicu semangat hidup orang yang terkena virus tersebut sehingga menjadi ‘over estimate’ alias terlalu nafsu. Dan kadang ia juga bisa membuat kita menjadi kehilangan semangat untuk hidup alias gampang putus asa.
Yang jelas, ujar ahlul kasyaf, kehadiran virus penyakit hati itu bisa kita rasakan. Persoalannya kembali kepada masing-masing individunya, mau atau tidak untuk belajar merasakan kehadirannya di dalam hatinya masing-masing. Bukan bisa atau tidak bisa untuk merasakan kehadirannya di dalam hati kita.
Penyakit hati adalah perasaan tidak enak yang muncul dalam diri manusia sehingga menyebabkan hatinya menjadi terasa tidak tenang, gelisah dan was-was. Perasaan ini muncul karena adanya sikap penolakan terhadap kehendak Allah. Jika dibiarkan tumbuh-kembang dalam diri kita, maka ia akan sulit untuk dikendalikan. Apalagi ia bersifat latent. Karena itu, kita perlu bersikap hati-hati. Sebab, ia bisa merobohkan benteng pertahanan iman-islam kita. Karena itulah, tak heran jika Rasulullah saw --- salam ta’zim dan rindu kami, wahai kekasih Allah, penutup para Nabi dan Rasul --- kemudian bersabda :
”Di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, yang keberadaannya dapat mempengaruhi baik dan buruknya aktivitas manusia. Segumpal daging yang dimaksud itu adalah hati. Jika hati itu baik, maka baiklah perilakunya. Begitu pun sebaliknya, jika hati itu rusak (karena terkena virus penyakit hati), maka jadi rusaklah semua aktivitas ibadahnya di dunia ini.”
Dhawuh Rasulullah saw tersebut mengisyaratkan dengan jelas kepada kita, bahwa kita memang perlu hati-hati dalam merawat dan menjaga hati kita sendiri agar tidak terinfeksi oleh virus penyakit hati yang bernama ’tidak terima’ pada kehendak Allah tersebut. Sebab, kalau hati kita sudah terinfeksi virus yang dapat membuat robohnya benteng pertahanan iman-Islam kita itu, maka sulit bagi kita untuk bisa mengendalikannya. Apalagi kita tahu, bahwa virus penyakit hati itu sifatnya latent (tersembunyi).




Dua
Gejala Adanya
Virus Penyakit Hati


Setiap penyakit itu, pasti ada tandanya. Lewat tanda itulah, seorang dokter, misalnya, bisa mengenali dan memutuskan untuk melakukan langkah-langkah diagnosis yang tepat untuk pasiennya. Adapun tanda yang dimaksud dalam tulisan ini adalah, ciri-ciri atau gejala awal yang menyertai sebelum munculnya rasa sakit atau rasa tidak enak pada diri si penderita tersebut. Termasuk gejala yang dirasakan saat si pasien tengah mengeluhkan rasa sakitnya.
Tindakan dokter memeriksa pasien, misalnya, baik dengan menggunakan stateskop maupun pemeriksaan darah di laboraturium, adalah salah satu cara yang sering ditempuh oleh dokter untuk mengetahui apakah pasiennya menderita kelainan medis atau tidak. Sedang pengobatan, biasanya hanya akan dilakukan setelah sang dokter mengetahui secara pasti tentang bagaimana hasil rekaman medis si pasien. Apakah perlu dilakukan operasi khusus atau cukup menjalani therapi biasa? Apakah pengobatannya dilakukan lewat injeksi atau cukup dengan mengkonsumsi obat-obatan saja?
Yang jelas, sebelum mengambil tindakan medis, sang dokter harus tahu betul bagaimana hasil rekaman medis si pasien. Begitulah cara dokter dalam menangani pasiennya yang tengah menderita penyakit. Lewat rekaman medis , sang dokter bisa mengenali jenis penyakit dan langkah-langkah medis yang perlu ditempuh. Demikian juga halnya dengan masalah virus penyakit hati.

Sulit Kendalikan Nafsu
Manusia sebetulnya telah dianugerahi tiga (3) nafsu dalam dirinya. Yaitu, nafsu lawwamah (nafsu antara kebaikan dan keburukan), nafsu ammaarah (nafsu yang condong kepada perbuatan buruk) dan nafsu muthma’innah (yakni, keinginan yang bersih dari keburukan dan selalu merasa tenteram dalam kesucian).Pertanyaannya sekarang ialah, apa to ciri-ciri orang yang telah terkena virus penyakit hati itu? Tanda-tanda gejala awal seseorang itu telah ’diserang’ oleh virus penyakit hati diantaranya yaitu, penderita sering mengalami kesulitan untuk melemahkan hawa nafsunya sendiri. Sebab, hawa nafsunya sangat tidak stabil.
Menurut salafus shalih, sejak diciptakan di muka bumi, manusia sebetulnya telah dianugerahi tiga (3) nafsu dalam dirinya. Yaitu, nafsu lawwamah (nafsu antara kebaikan dan keburukan), nafsu ammaarah (nafsu yang condong kepada perbuatan buruk) dan nafsu muthma’innah (yakni, keinginan yang bersih dari keburukan dan selalu merasa tenteram dalam kesucian).
Ketiga nafsu itu, semuanya adalah milik Allah. Sebab, Dia-lah yang menciptakan dan meletakkannya ke dalam diri setiap manusia. Sudah barang tentu, Allah mengaruniai ketiga nafsu itu pada diri manusia, bukan tanpa maksud dan tanpa tujuan.
Lalu, apa tujuan Allah menganugerahi manusia tiga nafsu tersebut? Ada beberapa kemungkinan yang bisa kita ketahui. Yakni, pertama, sangat boleh jadi, tujuan Allah menganugerahi tiga nafsu itu pada diri kita, tak lain dan tak bukan adalah, agar kita bisa mengenali, membedakan dan mempelajari ke mana muara akhir yang ingin dicapai oleh masing-masing nafsu tersebut.
Kedua, kita diperintah untuk ‘memilah’ dan ‘memilih’, nafsu mana yang ingin kita jadikan sebagai teman, sahabat dan ‘musuh’ kita? Ketiga, nafsu itu dianugerahkan pada kita, agar kita bisa memilih dan memutuskan sendiri, mana jalan hidup kita yang benar.
Sudah barang tentu, ketika kita akan memilih tersebut, yang harus kita jadikan sebagai acuannya adalah, rekaman hasil proses belajar kita ketika melalui perjalanan rohani yang panjang dalam mengabdi kepada Allah. Sebab, lewat rekaman itulah, minimal, kita bisa mengetahui bagaimana sepak terjang ketiga nafsu itu dalam mempengaruhi perjalanan hidup kita di dunia ini.
Terlepas dari semua itu, yang jelas, jawaban yang sebenarnya, tentu hanya Allah ‘Azza wa Jalla saja yang tahu. Yang paling penting untuk kita sadari dan perhatikan adalah, bagaimana caranya agar kita bisa ‘menangkal’ dan ‘melemahkan’ tarikan hawa nafsu yang negatif itu atas perjalanan hidup kita di dunia ini?
Pertanyaan tersebut penting untuk kita perhatikan, karena mengingat, ketiga nafsu tersebut, terbukti punya pengaruh yang cukup besar, dan punya cara yang cukup unik dalam menarik manusia untuk menjadi ‘hambanya’ (baca: pengikutnya). Gara-gara kita tidak kenal atau belum mengenali bagaimana efek dari sepak terjang ketiga nafsu itulah, maka tidak sedikit di antara kita yang acapkali terjerumus ke dalam perangkap nafsu negatif.
Dan gara-gara manusia tidak kenal dengan trade record nafsu, lalu membuat manusia menjadi mudah sekali terpedaya. Termasuk gampang diombang-ambingkan oleh nafsu.
Menolak Jalan Kebenaran
Salah satu indikasi kalau seseorang itu sudah terjangkit virus penyakit hati suka menolak jalan kebenaran adalah, ia sering merasa ares-aresan (malas alias tidak punya semangat) untuk menegakkan syari’at agama.ADAPUN tanda lain untuk mengetahui apakah seseorang itu telah ’diserang’ oleh virus penyakit hati atau tidak, bisa dilihat dari kondisi lahiriah si penderita. Misalnya dengan memperhatikan apakah si penderita mau patuh atau tidak pada syari’at agama. Jika ada penolakan, berarti orang tersebut telah terjangkit virus penyakit hati. Dikatakan demikian karena, menolak jalan kebenaran serta tidak mau ta’at kepada Allah dan RasulNya, merupakan gejala awal yang sering dialami oleh orang-orang yang telah terkontaminasi efek negatif dari virus penyakit hati. Maklum, virus penyakit hati satu ini, memang selalu menyerang manusia dengan tujuan untuk menjauhkan si penderita dari jalan Allah, Tuhan Yang Sebenarnya.
Salah satu indikasi kalau seseorang itu sudah terjangkit virus penyakit hati suka menolak jalan kebenaran adalah, ia sering merasa ares-aresan (malas alias tidak punya semangat) untuk menegakkan syari’at agama. Misalnya, perintah untuk menegakkan salat dan mendo’akan keselamatan untuk makhluk lain.
Padahal, sebetulnya, jika orang yang sudah kena virus penyakit hati ini mau melawan perasaan ares-aresan untuk menegakkan syari’at agama itu, maka sangat boleh jadi, ia justru akan berhasil melokalisir penyebaran virus tersebut di dalam dirinya. Sebaliknya, jika ia menuruti kemauan dari perasaan ares-aresannya itu, maka virus kemalasan pribadi tersebut justru akan terus menggerogoti semangat pengabdiannya kepada Allah dan RasulNya.
Biasanya, orang yang sudah kena virus penyakit ares-aresan untuk menegakkan syari’at agama ini, tidak sadar kalau dirinya telah terkontaminasi oleh virus yang akan membahayakan iman-Islamnya itu. Celakanya lagi, jika perasaan malas itu telah berkolaborasi dengan hawa nafsu yang memang tak pernah mau berhenti menyeret ’tuannya’ untuk tidak mau tunduk pada kehendak Allah SWT.
Akibatnya, tak pelak lagi, si penderita pun makin merasa enggan untuk mendengar dan memperhatikan rambu-rambu syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Apalagi jika dibarengi dengan pemikiran yang salah tentang pemahaman mengenai tujuan dari menegakkan syari’at agama, maka si penderita pun jadi gampang sekali tergoda untuk nerabas syari’at Kanjeng Nabi.
Lantaran itulah, dalam surat At-Taubah ayat 125, Allah Azza wa Jalla berfirman:
”Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu, bertambahlah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam keadaan kafir.”

Kata para salafus shalih, virus penyakit hati itu biasanya suka menggandeng hawa nafsu manusia sebagai mitra utamanya. Hawa nafsu dipilih sebagai mitra oleh virus penyakit hati, karena hawa nafsu terbukti sangat ’pintar’ dalam mengelabuhi dan memprovokasi manusia. Dari surat At-Taubah ayat 125 itu, dapatlah kita pahami, bahwa aslinya, orang yang di hatinya ada penyakit hati itu, kalau diberi peringatan tentang syari’at agama, ia cenderung selalu menolak. Meski akalnya membenarkan dan dapat memahami maksud dari perintah agamanya, tapi nafsunya tetap saja mengajaknya untuk menolak perintah tersebut.

Tidak Mau Belajar
VIRUS penyakit hati, gampang sekali tumbuh-subur di dalam diri manusia. Terutama ketika ia sedang dihadapkan dengan masalah atau ujian. Semakin besar masalah yang datang, maka semakin besar pula virus tersebut tumbuh di dalam hati dan pikiran orang-orang yang sedang diuji dengan masalah tersebut.
Memang, seperti itulah watak virus penyakit hati. Ia selalu memanfaatkan berbagai kesempatan dan keadaan yang dihadapi manusia, untuk melebarkan sayap pengaruhnya. Tujuannya tidak lain adalah, untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah.
Untuk kepentingan itu, kata para salafus shalih, virus penyakit hati biasanya suka menggandeng hawa nafsu manusia sebagai mitra utamanya. Hawa nafsu dipilih sebagai mitra oleh virus penyakit hati, ujar ahlul kasyaf, karena hawa nafsu terbukti sangat ’pintar’ dalam mengelabuhi dan memprovokasi manusia.
Apa yang semula dilarang oleh syari’at, oleh hawa nafsu, bisa ’disulapnya’ menjadi perbuatan yang samar-samar atau malah halal untuk dilakukan. Begitu juga sebaliknya. Apa yang dianjurkan oleh syari’at, malah diprovokasi oleh hawa nafsu agar dicuekin atau dijauhi oleh manusia.
Karena itu, kata ahlul kasyaf, tak heran jika banyak manusia yang sering pendek akal, putus asa dan suka mencari jalan pintas, ketika ia sedang dihadapkan dengan berbagai masalah atau ujian dalam hidupnya. Sayangnya, manusia tidak tahu kalau dirinya saat itu sedang diprovokasi oleh hawa nafsu dan virus penyakit hati.
Menurut para salafus shalih, aslinya, masalah yang ’dihadiahkan’ Allah untuk manusia itu, pada dasarnya adalah alat atau sarana untuk menuntun keyakinan manusia agar kembali ke jalan yang lurus. Sebab, lewat masalah itu, sesungguhnya manusia dituntun oleh Allah untuk ingat kembali kepadaNya.
Termasuk untuk ingat ke mana sebaik-baik tempat baginya untuk mengadu dan meminta pertolongan. Bukan malah sebaliknya. Setiap kali ada masalah, malah lari minta pertolongan pada makhluk.
Untuk maksud agar manusia kembali ke jalan yang benar itulah, ujar salafus shalih, maka Allah Azza wa Jalla ’menghujani’ manusia dengan berbagai masalah. Tujuannya tidak lain adalah, agar manusia bisa belajar dari berbagai masalah yang muncul tersebut. Termasuk belajar tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah yang muncul itu dengan kembali ke syari’at Kanjeng Nabi saw.
Karena itu, dalam sebuah hadis Qudsi yang bersumber dari Abu Umamah r.a. dan diriwayatkan oleh Thabarani ra, Allah Ta’aala berfirman kepada malaikatNya: “Pergilah kepada hambaKu. Lalu, timpakanlah bermacam-macam ujian kepadanya, karena Aku mau mendengar suaranya”
... orang-orang yang terkena pengaruh virus penyakit hati itu, biasanya, senang sekali menutup-nutupi pelanggaran syari’at yang telah ia lakukan. Hal itu ia tempuh, karena ia ingin tetap dianggap dan dipandang sebagai orang yang bersih. Padahal, di hadapan Allah ia sebetulnya kotor. Jika memperhatikan isi hadis Qudsi tersebut, jelas sekali bagaimana sikap Allah ‘Azza wa Jalla terhadap hamba-hambaNya. Dia tidak akan pernah berhenti untuk mengutus para malaikatNya agar menimpakan berbagai macam ujian untuk manusia.

Mendustai Allah
PADA umumnya, orang yang hatinya sedang diliputi oleh virus penyakit hati itu, tidak tahu kalau dirinya sedang sakit. Sebab, virus penyakit hati itu pergerakkannya tidak nampak. Ia bersifat sangat tersembunyi (latent). Hanya orang-orang yang telah mendapat ’amanah khusus’ dari Allah sajalah yang bisa mengetahui apakah di dalam diri seseorang itu ada virus penyakit hatinya atau tidak.
Yang jelas, menurut kaum ma’rifat billah, orang-orang yang terkena pengaruh virus penyakit hati itu, biasanya, senang sekali menutup-nutupi pelanggaran syari’at yang telah ia lakukan. Hal itu ia tempuh, karena ia ingin tetap dianggap dan dipandang sebagai orang yang bersih. Padahal, di hadapan Allah ia sebetulnya kotor.
Begitulah cara-cara virus penyakit hati dalam ’memprovokasi’ hawa nafsu manusia. Virus penyakit hati berhasil mengalihkan pentingnya bersikap jujur di hadapan Allah menjadi sebuah kebohongan yang tersistemik. Virus itu juga berhasil menggandeng hawa nafsu untuk menyuruh ’tuannya’ agar lebih mementingkan penampilan --- meski harus berbohong --- di hadapan makhluk. Tujuannya adalah untuk menjaga image agar dianggap dan dipandang sebagai orang bersih, suci dan alim.
Padahal, kalau saja orang yang telah terjangkiti virus penyakit hati itu sadar, bahwa berbohong di hadapan makhluk itu, aslinya, sama saja telah berbohong di hadapan Allah, Zat yang telah menciptakan semua makhluk, maka tentulah ia tidak akan mungkin mau untuk melakukannya.
Aslinya, kata salafus shalih, kalau semua manusia itu kembali ke hati nuraninya yang paling dalam, tentulah mereka tidak akan mau menjalani lakon kebohongan dalam hidupnya. Apalagi Allah telah berfirman di Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 10:


”Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
Tapi, lanjut salafus shalih, karena ’pintarnya’ virus penyakit hati dalam mengelabuhi hawa nafsu manusia, maka manusia pun akhirnya semakin tidak kenal dengan ’sesuatu’ yang telah menjadi penyebab utama sehingga ia bisa mempengaruhi hawa nafsu untuk ’tunduk’ dan ’patuh’ pada kehendak virus penyakit hati tersebut.
Karena itulah, tukas salafus shalih, Allah dan RasulNya selalu mengingatkan manusia agar jangan memperturutkan hawa nafsunya. Sebabnya kenapa? Karena, tunduk dan patuh pada kehendak hawa nafsu itu, sama artinya kita telah berbuat dusta pada Allah dan RasulNya. Sedang dusta pada Allah dan RasulNya itu sendiri, adalah penyakit hati yang harus kita hindari.




Tiga
Ciri - Ciri
Penyakit Hati


Mengenali tanda-tanda adanya penyakit hati di dalam diri kita sendiri, sangatlah penting. Sebab, lewat tanda-tanda itu, kita bisa segera melakukan tindakan pencegahan secara dini. Syukur, misalnya, kita bisa menghindari agar tidak bersinggungan secara langsung dengan virus yang dapat membuat hati menjadi terkontaminasi itu. SETIAP penyakit, pasti ada tandanya. Setiap tanda, pasti ada cirinya. Lewat ciri itulah, kita bisa mengenali apakah diri kita telah terinfeksi virus penyakit atau tidak. Dan lewat ciri itu juga, kita bisa belajar menyusun langkah-langkah yang perlu kita tempuh. Demikian juga halnya dengan masalah mengenali ciri-ciri penyakit hati.
Mengenali tanda-tanda adanya penyakit hati di dalam diri kita sendiri, sangatlah penting. Sebab, lewat tanda-tanda itu, kita bisa segera melakukan tindakan pencegahan secara dini. Syukur, misalnya, kita bisa menghindari agar tidak bersinggungan secara langsung dengan virus yang dapat membuat hati menjadi terkontaminasi itu.
Terkait dengan hal itulah, ada beberapa ciri[2] yang bisa kita kenali dan kita cermati dari tanda-tanda adanya penyakit hati di dalam diri kita. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Tidak Terima Dengan Keadaan
VIRUS tidak terima dengan keadaan, merupakan virus penyakit hati yang paling dominan. Virus ini muncul ketika si penderita tengah diselimuti oleh perasaan tidak puas dengan apa yang diharapkannya. Perasaan tidak puas itulah yang kemudian mendorongnya untuk melakukan ‘penolakan’ atau tidak terima --- baik secara lahir maupun batin --- terhadap fakta-fakta yang telah mewujud di hadapannya. Adanya perasaan tidak puas itulah, tanda yang gampang dikenali tentang apakah di dalam diri kita ada virus penyakit hatinya atau tidak.
Orang yang sering dihinggapi virus tidak terima dengan keadaan ini, biasanya adalah orang-orang yang dalam hidupnya selalu mengandalkan akal pikiran melebihi dari batas kewajarannya. Termasuk orang yang hidup dan kehidupannya laksana sebuah mesin. Tipe orang yang demikian itu, biasanya, sangat terikat dengan keadaan-keadaan khusus, yang tanpa itu, bisa membuat produktivitas kerja dan hidupnya menjadi terganggu.
Karena itu, ketika aktivitas kerja dan hidupnya sudah berjalan sesuai dengan rencana --- tapi hasilnya ternyata tidak sesuai dengan harapan --- maka orang yang demikian itu, gampang sekali dihinggapi oleh virus penyakit hati yang bernama tidak terima dengan keadaan.
Apalagi, misalnya, sebelum kejadian itu, ia sudah punya satu rekaman contoh pola kerja dengan hasil yang gemilang, maka kegagalannya saat itu, sangat boleh jadi, akan ia rasakan sebagai siksaan yang sangat menyakitkan.
Rasa sakit itulah, yang kelak akan menjadi penyebab utama sehingga si penderita tak mau menerima kenyataan yang ada di hadapannya. Ujung-ujungnya, ia akan menisbatkan sebab kesalahan atau kegagalannya saat itu pada orang lain. Atau malah ’menuduh’ Allah sebagai penyebab kegagalannya. Na’udzibillahi min dzalik.
Virus tidak terima dengan keadaan, merupakan virus penyakit hati yang paling dominan. Virus ini muncul ketika si penderita tengah diselimuti oleh perasaan tidak puas dengan apa yang diharapkannya.
Suka Mengadili Kesalahan
SUKA mengadili kesalahan orang lain, merupakan virus penyakit hati yang sering dialami oleh kebanyakan manusia. Tidak peduli apakah ia adalah seorang laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil maupun kaya-miskin.
Virus penyakit hati suka mengadili kesalahan orang lain ini, muncul karena si penderita seringkali merasa tidak kuasa dalam mengendalikan tarikan hawa nafsunya sendiri yang acapkali membisikkan bujukan dalam pikirannya untuk merasa benar dan merasa istimewa. Akibatnya, ketika virus tersebut menggeliat di dalam hatinya, si penderita kemudian menjadi gampang gelap mata.
Virus penyakit hati suka mengadili kesalahan orang lain ini, muncul karena si penderita seringkali merasa tidak kuasa dalam mengendalikan tarikan hawa nafsunya sendiri yang acapkali membisikkan bujukan dalam pikirannya untuk merasa benar dan merasa istimewa. Ujung-ujungnya, ketika ia melihat ada sesuatu yang dirasakan tidak cocok dengan harapannya, maka virus itu biasanya langsung mencari-cari sumber kesalahan yang menjadi biangkeroknya. Dan celakanya lagi, sang virus ternyata bukan mengajak ’tuannya’ untuk melakukan instrospeksi diri. Melainkan, malah sebaliknya, menyeretnya untuk melihat sumber kesalahan itu pada orang lain.
Pada dasarnya, virus penyakit hati suka mengadili kesalahan orang lain ini, merupakan salah satu trik dari hawa nafsu untuk mengalihkan perhatian ’tuannya’ agar tidak fokus pada perjalanan rohani dirinya sendiri. Artinya, nafsu negatif yang ada di dalam diri si penderita itu, sengaja menempuh cara tersebut dengan maksud untuk menutup-nutupi kesalahan yang ada di dalam diri ’tuannya’ sendiri.
Sehingga, dengan demikian, si penderita pun akhirnya jadi ‘sibuk’ untuk memperhatikan masalah orang lain daripada masalah dirinya sendiri. Buntutnya, si penderita akhirnya tidak akan pernah bisa melihat, bahwa sebetulnya, sangat boleh jadi, sumber kesalahan tersebut, justru ada di dalam dirinya. Apalagi dalam surat Yunus ayat 44, Allah Azza wa Jalla telah berfirman:


“Sesungguhnya, Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.”

Menilik firman Allah tersebut, jelaslah sudah, bahwa mengadili kesalahan orang lain itu merupakan pelanggaran syari’at. Oleh karena itulah, Rasulullah saw pernah berpesan kepada para sahabat: ”Orang mukmin yang beruntung itu adalah mereka yang selalu sibuk mencari kesalahan dirinya sendiri dan selalu menutup aib orang lain.”
Atau dalam hadis yang lain dikatakan: ”Seorang yang sempurna akal ialah yang mengoreksi dirinya, dan bersedia amal sebagai bekal untuk mati. Dan orang yang rendah yaitu, yang selalu menurutkan hawa nafsunya, di samping mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR. Attirmidzy ra). Mudah-mudahan kita termasuk hamba yang sempurna dalam akal dan dijauhkan dari angan-angan.

Suka Mengeluh
TANDA seseorang telah terkena infeksi virus penyakit hati adalah, ia suka mengeluh dan suka mengecam nasib. Suka mengeluh, kaitannya dengan sikap hati ketika menghadapi datangnya masalah atau musibah pada dirinya. Sedang mengecam nasib, berkaitan dengan sikap pikirannya ketika melihat belum adanya perubahan secara fisik, meski telah berupaya secara maksimal untuk keluar dari masalah yang sedang dihadapinya.
Penyakit hati suka mengeluh dan mengecam nasib ini, menurut para ahlul kasyaf, lahir karena si penderita belum kuat untuk bersikap netral dan tidak siap untuk menerima kemungkinan terburuk dari berbagai peristiwa yang bakal muncul dalam perjalanan hidupnya. Akibatnya, si penderita jadi lupa untuk bersyukur dan lupa pada Zat yang memberi masalah atau ujian tersebut.
Menurut ahlul kasyaf, hal itu terjadi karena sang nafsu telah ’menguasai’ hati dan pikiran si penderita, sehingga yang diingat hanyalah mengenai masalahnya dan efek dari masalahnya itu sendiri. Akibatnya, si penderita akhirnya tidak sempat memikirkan tentang mengapa Tuhan Yang Sebenarnya memberi dia masalah seperti itu?
Dalam al-Qur’an surat Al-Ma’aarij ayat 19-21, Allah telah berfirman:


”Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir.”

Firman Allah tersebut menunjukkan dengan tegas tentang bagaimana kondisi aslinya manusia. Tujuan Allah memberitahu manusia lewat firmanNya itu tidak lain adalah, agar manusia segera menyadari tentang di mana letak kelemahannya. Terutama ketika ia telah ‘dihujani’ Allah dengan berbagai musibah atau ujian. Tapi nyatanya, banyak manusia yang tidak mengindahkannya.
Penyakit hati suka mengeluh dan mengecam nasib ini, menurut para ahlul kasyaf, lahir karena si penderita belum kuat untuk bersikap netral dan tidak siap untuk menerima kemungkinan terburuk dari berbagai peristiwa yang bakal muncul dalam perjalanan hidupnya.Karena itu, tak heran, ketika musibah atau ujian itu datang menghampirinya, manusia langsung berkeluh-kesah dan nglokro. Padahal, dalam hadis Qudsi, Allah telah berfirman:
”Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada salah seorang hambaKu pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, maka Aku merasa enggan untuk menegakkan timbangan baginya pada hari kiamat, atau membukakan buku catatan amalannya baginya.” (HQR. Al-Qudla’i, ad-Dailami dan al-Hakimut-Turmudzi dari Anas ra)
Terkait dengan masalah itulah, jika ternyata tanda-tanda virus penyakit hati suka berkeluh-kesah dan mengecam nasib itu ada pada diri Anda, maka segeralah ditobati dan mintalah ampunanNya. Sebab, virus tersebut bisa membuat Anda jadi gampang su’uzh zhann pada Allah SWT.

Gampang Cemas dan Khawatir
ORANG yang sering merasa cemas, takut dan khawatir dalam menjalani lakon hidup di dunia ini, adalah ciri orang yang telah terinfeksi virus penyakit hati. Disebut demikian karena, perasaan cemas, takut dan khawatir itu, telah mengubah keyakinan dan cara pandang si penderita, sehingga akhirnya berhasil membuat si penderita menjadi sangsi terhadap janji Allah. Termasuk tentang bakal datangnya pertolongan dari Tuhan Yang Sebenarnya.
Menurut para salafus shalih, perasaan cemas, takut dan khawatir yang muncul pada diri seseorang itu, sebetulnya, merupakan signal dari Allah untuk mengabarkan kepada si penderita perihal telah terjadinya penurunan iman pada hati si penderita. Begitulah cara hawa nafsu dalam mengalihkan perhatian manusia agar menjadi lupa bersandar pada sebab kemurahan dan pertolongan Allah. Kisah Fir’aun yang takut kekuasaannya bakal tumbang, dan perjalanan Qorun --- sang trilliuner yang hidup pada zaman nabi Musa asw --- yang cemas dan khawatir kekayaannya bakal berkurang, merupakan contoh nyata tentang bagaimana hebatnya sang nafsu dalam mempengaruhi kedua tokoh munomental itu, sehingga akhirnya membuat mereka menjadi lupa diri dan tak mau tunduk pada Zat yang telah menjadikannya sebagai ’penguasa’ pada zaman itu.
Menurut para salafus shalih, perasaan cemas, takut dan khawatir yang muncul pada diri seseorang itu, sebetulnya, merupakan signal dari Allah untuk mengabarkan kepada si penderita perihal telah terjadinya penurunan iman pada hati si penderita. Sebab, ujar salafus shalih, tidaklah seseorang itu menjadi cemas, takut dan khawatir, jika ia meyakini dengan teguh, bahwa Allah, Tuhan Yang Sebenarnya, adalah satu-satu Zat yang akan melindungi, menjamin dan mencukupi segala keperluan hidupnya ketika di dunia ini.
Dengan kata lain, menurut salafus shalih, kalau seorang hamba itu punya keyakinan yang kokoh dalam hatinya --- bahwa jaminan Allah atas dirinya itu adalah benar adanya ---, maka mestinya ia tidak perlu merasa cemas, takut dan khawatir. Sebab, keyakinan yang kokoh itu, aslinya, bisa menjadi pemicu bagi dirinya untuk bersikap optimistik dalam hidup. Sebaliknya, jika keyakinan terhadap jaminan Allah dalam hati si penderita itu telah mengendur, maka efek negatif yang bakal muncul adalah, semangat hidupnya akan menjadi lemah.
Karena buruknya efek yang bakal timbul dari hilangnya semangat hidup itu, maka Allah kemudian berfirman di dalam surat Fushshilat ayat 30 - 31:


“Sesungguhnya, orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; ... Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”
Pertanyaannya sekarang ialah, jika Allah mau menjadi pelindung dan penjamin kita dalam segala urusan --- baik di dunia maupun di akhirat --- lalu mengapa kita harus menjadi cemas, takut dan khawatir? Apalagi yang harus kita cemaskan dan takuti, jika Allah telah berjanji akan membackup perjalanan hidup kita?

Tidak Ta’at Pada Proses
CIRI lain yang dapat dikenali dari orang yang hatinya telah terjangkiti virus penyakit hati adalah, orang tersebut tidak mau ta’at pada proses. Akibatnya, orang yang hatinya lagi sakit itu, cenderung akan memilih untuk bersikap tidak mau peduli dengan makhluk lain.
Umumnya, orang yang ta’at pada proses, akan memilih untuk bersikap sabar. Ia tidak akan mau memaksakan kehendaknya, sekalipun sebetulnya ia bisa atau mampu untuk melakukannya. Sebaliknya, orang yang tidak mau ta’at pada proses, cenderung akan bersikap tergesa-gesa dan serba ingin cepat selesai.
Ketika orang yang ta’at pada proses itu berada di tengah keramaian, maka ia biasanya akan memilih untuk bersikap tertib dan rela ngantri. Sedang orang yang tidak ta’at pada proses, seringkali tidak mau ngantri dan lebih menyukai memilih jalan ‘kasak-kusuk’ daripada harus tertib ikut ngantri. Itulah ciri yang melekat pada orang yang hatinya sedang sakit.
Virus penyakit hati tidak mau ta’at pada proses ini, menurut ahlul kasyaf, lebih banyak bersumber dari virus penyakit yang bernama tidak mau kalah saingan. Efek dari virus ini akan lebih berbahaya lagi, jika ia sudah berkolaborasi dengan virus penyakit hati yang bernama merasa istimewa.
Jika manusia telah kehilangan kasih sayang di dalam hatinya, maka alamat ia akan menjadi manusia yang merugi. Sebab, tidak adanya kasih sayang dalam diri manusia itu, bisa menyeret manusia menjadi seorang diktator yang kejam dan haus akan darah. Jika kedua virus itu telah menguasai hati dan pikiran manusia, maka si penderita biasanya tidak mau jika dirinya diperlakukan sama dengan makhluk yang lain. Sebab, si penderita lebih suka dan akan merasa senang kalau setiap keinginannya selalu didahulukan daripada keinginan orang banyak.
Soal apakah orang lain bakal merasa dirugikan atau tidak akibat dari adanya ‘pemaksaan’ keinginan tersebut, orang yang hatinya lagi sakit, biasanya tidak mau tahu. Mereka memilih untuk bersikap cuek atau pura-pura tidak tahu. Yang penting, keinginannya bisa menjadi kenyataan.
Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah saw sendiri selalu mengingatkan umatnya untuk menjauhi sikap egois dan mau menang sendiri. Sebab, dalam agama Islam, sikap yang demikian itu, justru dapat membuat manusia menjadi kehilangan kasih sayang.
Jika manusia telah kehilangan kasih sayang di dalam hatinya, maka alamat ia akan menjadi manusia yang merugi. Sebab, tidak adanya kasih sayang dalam diri manusia itu, bisa menyeret manusia menjadi seorang diktator yang kejam dan haus akan darah.
Karena itulah, Rasulullah saw kemudian bersabda: ”Siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan ingin masuk surga, maka hendaklah ia mati dalam keadaan percaya kepada Allah dan hari kemudian. Dan harus berbuat kepada sesama manusia apa yang ia suka diperbuat orang begitu.” (HR. Muslim ra dari Abdullah bin Amru bin Al-‘Ash ra). Bagaimana dengan diri Anda?

Sering Su’uzh Zhann
berprasangka buruk (su’uzh zhann) pada semua makhluk. Perbuatan satu ini, cukup popular dan sering kali dilakukan --- baik secara sadar maupun tidak sadar --- oleh orang yang hatinya sedang sakit. Misalnya su’uzh zhann ketika melihat ada orang lain tengah melakukan kerusakan. Atau bahkan su’uzh zhann pada Allah, tatkala dirinya sedang diuji dengan suatu masalah.
Dalam pandangan orang yang hatinya lagi sakit, biasanya, kerusakan yang dilakukan oleh orang lain atau masalah yang sedang dihadapinya itu, seringkali dipahami dan dilihat berdasarkan hitam-putih serta salah-benarnya perbuatan yang dilakukan oleh orang lain tersebut. Orang yang hatinya lagi sakit, umumnya, jarang bisa melihat dan menangkap kerusakan atau masalah yang dihadapinya itu sebagai sebuah pesan ilahiah dari Allah SWT untuk dirinya.
Akibatnya, ketika melihat ada orang lain melakukan kerusakan, atau tatkala dirinya sendiri tengah dihadapkan dengan masalah, maka orang yang hatinya sedang ’diserang’ oleh virus penyakit hati itu, gampang sekali terjebak dalam perilaku su’uzh zhann. Baik kepada orang yang melakukan kerusakan maupun kepada Allah, Tuhan Yang Sebenarnya.
Yang jelas, menurut ahlul kasyaf, hampir sebagian besar orang yang telah dikuasai oleh virus penyakit hati, tidak sadar kalau perbuatan su’uzh zhann kepada makhluk itu, pada dasarnya, adalah sama dengan su’uzh zhann kepada Allah Azza wa Jalla. Dan celakanya lagi, virus penyakit hati yang bernama buruk sangka itu, ternyata sangat senang berada di arena perilaku su’uzh zhann itu sendiri.
... menurut ahlul kasyaf, hampir sebagian besar orang yang telah dikuasai oleh virus penyakit hati, tidak sadar kalau perbuatan su’uzh zhann kepada makhluk itu, pada dasarnya, adalah sama dengan su’uzh zhann kepada Allah Azza wa Jalla. Dan celakanya lagi, virus penyakit hati yang bernama buruk sangka itu, ternyata sangat senang berada di arena perilaku su’uzh zhann itu sendiri.Apa sebabnya? Karena, bagi virus penyakit hati, perilaku su’uzh zhann itu sendiri, merupakan ladang yang cukup menjanjikan bagi tumbuh suburnya virus penyakit hati. Semakin luas arena perilaku su’uzh zhann yang dimasuki dan dikuasai oleh virus penyakit hati, maka semakin besarlah daerah kekuasaan virus penyakit hati tersebut dalam diri manusia.
Jika daerah kekuasaan virus penyakit hati su’uzh zhann yang menyusup ke dalam hati dan pikiran manusia itu semakin luas, maka itu berarti ia tidak perlu repot-repot lagi untuk mempengaruhi dan memprovokasi hawa nafsu manusia agar mau berprasangka buruk pada semua makhluk. Sebab, tanpa harus diprovokasi pun, manusia sudah otomatis akan melakukannya dengan senang hati.
Karena besarnya efek negatif yang bakal muncul pada diri manusia jika mereka melakukan perbuatan su’uzh zhann, maka Allah Azza wa Jalla pun dengan tegas mengingatkan manusia dalam surat Al-Hujurat ayat 12: ”Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah perbuatan prasangka, karena sebagian besar prasangka itu adalah dosa.”
Terkait dengan firman Allah tersebut, para salafus shalih mengatakan, seseorang itu dapat berprasangka baik, apabila di dalam pergaulannya sehari-hari ia selalu mengedepankan kebaikan atau sisi positif dalam setiap kali menilai suatu peristiwa. Kalau pun, misalnya, ada sisi negatif yang ia lihat, maka ia biasanya berupaya untuk selalu mengeliminirnya dengan cara hanya melihat sisi positifnya saja.
Orang yang demikian itu, kata salafus shalih, adalah orang yang selalu positive thinking dalam memandang kehidupan. Oleh karena itu, orang yang selalu positive thinking dalam hidupnya, cenderung tak pernah mengenal kata menyerah dalam menghadapi suatu persoalan. Sebab, baginya, kejatuhan atau kegagalan dalam berusaha itu, bukanlah hal yang tabu untuk diterima.
Bagi orang-orang yang suka berpikir positif, kejatuhan atau kegagalan dalam berusaha, merupakan sebuah keberhasilan yang tertunda. Oleh karena itulah, orang yang selalu bangun prasangka baik, biasanya selalu optimistik dan percaya diri. Rasulullah saw sendiri sangat menganjurkan umatnya agar selalu berpikir positif.
Sebegitu pentingnya ajaran untuk selalu berpikir positif tersebut, sampai-sampai Rasulullah memesankan kepada umatnya agar jangan mati dalam kondisi tengah berpikir negatif tentang Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Djabir bin Abdillah r.a., telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Jangan mati salah satu kamu, melainkan dalam keadaan baik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Cinta Dunia
... kalau manusia itu sudah ’dikuasai’ oleh virus al-wahnu, maka ia akan berubah menjadi orang yang tak pernah puas dengan segala urusan yang bersifat duniawi. Apapun yang telah dia peroleh, selalu saja merasa kurang. Karena memang begitulah watak virus al-wahnu. Ia selalu memompa perasaan tidak puas yang ada pada diri manusia. CINTA terhadap dunia secara berlebihan, merupakan salah satu ciri khas yang selalu melekat pada diri orang-orang yang hatinya telah dikuasai oleh virus penyakit hati. Maklum, orang yang telah terinfeksi virus penyakit hati yang bernama al-wahnu itu, biasanya, hati dan pikirannya, tak dapat berfungsi dengan baik.
Pasalnya, kalau manusia itu sudah ’dikuasai’ oleh virus al-wahnu, maka ia akan berubah menjadi orang yang tak pernah puas dengan segala urusan yang bersifat duniawi. Apapun yang telah dia peroleh, selalu saja merasa kurang. Karena memang begitulah watak virus al-wahnu. Ia selalu memompa perasaan tidak puas yang ada pada diri manusia.
Selain itu, virus al-wahnu juga sering menyemburkan api cemburu dan menyebarkan aroma keserakahan dalam hati dan pikiran manusia. Tidak peduli apakah ia rajin ibadah atau tak pernah beribadah sama sekali. Virus al-wahnu tetap saja bisa melenggang dengan leluasa guna menarik pengaruh dalam diri manusia.
Yang jelas, ujar salafus shalih, virus al-wahnu itu, jika sudah masuk dan mengembangkan sayap pengaruhnya di dalam hati dan pikiran manusia, maka ia bisa mengubah fokus perhatian si penderita dari syukur menjadi ingkar, dari ingat menjadi lupa dan dari ta’at menjadi pembangkang. Selain itu, imbuh salafus shalih, virus al-wahnu juga bisa membelokkan tujuan hidup manusia dari seharusnya beribadah kepada Allah SWT, menjadi makhluk yang suka membantah perintah Allah dan RasulNya.
Karena itulah, para ahlul kasyaf mengingatkan agar umat manusia berhati-hati dalam urusannya dengan virus al-wahnu. Sebab, kiprah virus al-wahnu itu akan sulit dikendalikan, manakala ia telah berkolaborasi dengan hawa nafsu yang selalu mengajak manusia untuk berbuat ‘makar’ pada Allah. Lantaran itu jugalah, Allah Rabbul ‘Alamin mengingatkan manusia, bahwa memperturutkan gerak nafsu dan membiarkan diri ‘dikuasai’ oleh virus al-wahnu itu adalah perbuatan yang sia-sia.
Sebab, kesenangan yang ditawarkan oleh nafsu dan virus al-wahnu itu, sifatnya tidak kekal alias hanya sementara. Perhatikan saja firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 197 berikut ini:


“Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.”
Karena kesenangan yang ada di dunia ini sifatnya hanya sementara, maka barangsiapa yang menyengaja untuk menggandrungi kesenangan yang sementara itu daripada kehidupan yang abadi, mereka itu adalah termasuk orang-orang yang merugi. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 16 dan 86, Allah menyebut perbuatan yang demikian itu sebagai perbuatan sesat lantaran telah menukar nikmatnya kehidupan akhirat dengan dunia.

“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (Qs. 2: 16)


“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (Qs. 2: 86)

Mengingat sifat virus al-wahnu yang sangat licik itulah, maka Allah Ta’aala dan RasulNya tak pernah lelah mengingatkan manusia agar jangan mudah terpedaya oleh tipu muslihat yang diperlihatkan dunia. Pasalnya, apapun yang telah ditawarkan oleh dunia kepada manusia, sifatnya tidak kekal.
Karena kehidupan dunia tidak kekal itulah, maka Allah dan RasulNya menyarankan manusia agar mengutamakan kehidupaan akhirat yang sifatnya lebih abadi. Bahkan, dalam surat Ali-Imran ayat 185, Allah dengan tegas mengingatkan manusia agar jangan main-main dengan urusan akhirat.

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Senada dengan firman Allah di atas, Rasulullah saw dalam sebuah kesempatan pernah mengingatkan para sahabatnya. “Barangsiapa yang hidupnya hanya untuk mengejar dunia,” kata Rasulullah saw, “maka dia akan merugi di hari akhirat nanti. Sebaliknya, barangsiapa yang lebih mengutamakan kehidupan akhiratnya, maka ketahuilah, dunia akan datang menghampirinya.”
Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa suatu ketika Malaikat Jibril asw telah turun dan datang menemui Nabi Muhammad saw seraya berkata:
“Hai Jibril, sungguh dunia ini adalah rumah bagi orang yang tidak mempunyai rumah, dan merupakan harta bagi orang yang tidak mempunyai harta. Dan, sungguh, dunia ini dikumpulkan dan ditimbun oleh orang yang tidak berakal.”“Hai Muhammad, sungguh Allah Ta’aalaa berkirim salam kepadamu dan berfirman kepadamu demikian: “Apakah engkau senang, jika gunung-gunung ini Aku jadikan emas dan akan selalu menyertaimu di manapun engkau berada?”
Beliau saw menunduk dan berpikir sejenak, lantas menjawab: “Hai Jibril, sungguh dunia ini adalah rumah bagi orang yang tidak mempunyai rumah, dan merupakan harta bagi orang yang tidak mempunyai harta. Dan, sungguh, dunia ini dikumpulkan dan ditimbun oleh orang yang tidak berakal.” Malaikat Jibril asw pun berkata kepada beliau: “Hai Muhammad, semoga Allah menguatkan pendirianmu dengan kata-kata yang pasti.”
Bagaimana caranya agar kita bisa terbebas dari perangkap hawa nafsu dan virus al-wahnu yang selalu menyuntikkan serum kebohongan, kepura-puraan dan kepalsuan pada mata, hati dan pikiran kita itu? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada satu hal yang perlu kita ingat baik-baik. Bahwa, pada dasarnya, tak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang dapat bebas dari perangkap hawa nafsu dan virus al-wahnu.
Kalau pun ada makhluk yang dapat bebas dari pengaruh hawa nafsu dan perangkap virus al-wahnu, maka hal itu tak lain karena mutlak adanya faktor kemurahan dan pertolongan dari Allah SWT. Tanpa adanya pertolongan dan kemurahan dari Allah, sesungguhnya, tak ada daya dan upaya pada diri manusia untuk bisa melakukan apapun di dunia ini, kecuali berasal dari Allah. Laahaula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘azhiim. Hal inilah yang perlu disadari oleh manusia.

Suka Nerabas Syari’at
PADA umumnya, orang yang di dalam hatinya ada iman, pasti tidak akan berani untuk nerabas syari’at agama. Sebab, bagaimana mungkin ia akan nerabas syari’at, wong imannya selalu mengajaknya untuk melakukan amal kebajikan.
Sebaliknya, orang yang di dalam hatinya tidak ada iman, biasanya, akan merasa ringan untuk nerabas syari’at. Sebab, tidak ada ’sesuatu’ yang akan berfungsi untuk menjadi rem bagi keinginannya melakukan kerusakan. Karena itulah, tak heran jika orang-orang yang hatinya lagi sakit, tidak merasa takut dan malu untuk melakukan berbagai kerusakan di muka bumi ini. Seperti itulah ciri-ciri orang yang hatinya ada virus penyakit hati.
Bagi orang-orang yang hatinya telah terkontaminasi oleh virus penyakit hati, biasanya akan merasa sangat senang jika ia bisa melakukan perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agamanya. Sebaliknya, orang yang punya iman, akan merasa sangat sedih dan menyesal, manakala ia telah melanggar larangan Allah dan RasulNya, meskipun baru bersifat sebuah lintasan atau baru berupa rencana (jadi belum diwujudkan) di dalam hati maupun pikirannya.
... orang yang di dalam hatinya tidak ada iman, biasanya, akan merasa ringan untuk nerabas syari’at. Sebab, tidak ada ’sesuatu’ yang akan berfungsi untuk menjadi rem bagi keinginannya melakukan kerusakan.Orang yang hatinya lagi sakit, biasanya tidak akan merasa sedih --- apalagi kecewa --- jika ia tidak bisa melakukan amal kebajikan yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Sebaliknya, ia justru merasa ’bangga’ dan merasa istimewa lantaran bisa melanggar larangan syari’at tanpa menuai resiko atau akibat dari perbuatan yang telah ia lakukan ketika masih berada di dunia ini.
Padahal, aslinya, kata ahlul kasyaf, perintah dan larangan itu merupakan kewajiban bagi manusia untuk dikerjakan. Sebab, kedudukannya sebagai suatu kewajiban. Begitu pula halnya dengan larangan. Ia wajib ditinggalkan. Karena larangan itu pun, pada dasarnya adalah, suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh manusia. Terlepas apakah dia suka atau tidak suka.
Terkait dengan hal itulah, dalam surat Al-Insaan ayat 2-3, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya … Kami hendak menguji (manusia) dengan perintah dan larangan. Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya, Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Qs. 76: 2-3)

Jika kita perhatikan dengan seksama firman Allah dalam surat Al-Insaan ayat 2-3 di atas, maka nampak sangat jelas, betapa Maha Bijaknya Allah terhadap semua makhluk ciptaanNya. Buktinya, meskipun Allah sudah tahu bahwa manusia --- sebagai makhluk ciptaanNya itu --- tidak akan mungkin mampu melaksanakan perintah dan laranganNya, tapi Dia masih tetap memberi kesempatan bagi manusia untuk berusaha. Persoalannya, kita mau atau tidak, mempraktikkan firman Allah tersebut? Bukan bisa atau tidak bisa.

Tidak Punya Semangat Beribadah
JIKA dalam kondisi normal, orang yang perutnya tengah lapar, biasanya akan dijadikan sebagai tanda kalau perutnya perlu diisi makanan. Jika orang yang diserang rasa lapar itu tidak mau memakan sesuatu, maka berarti orang tersebut dalam kondisi sedang sakit. Disebut demikian karena, ia telah menyalahi ’aturan’ umum. Wong sudah waktunya untuk makan, tapi ia tidak mau makan. Itulah di antara tanda-tanda orang yang sedang menderita sakit jasmani.
Menurut para salafus shalih, orang yang hatinya bersih dari virus penyakit hati, biasanya, selalu bersemangat dalam melakukan amal kebajikan. Ia tidak akan memikirkan, apakah amal kebajikan yang akan ia lakukan saat itu bakal diketahui oleh orang banyak atau tidak. Yang penting, ia akan terus melakukan amal kebajikan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Sedang untuk mengetahui apakah orang tersebut rohaninya lagi sakit alias ada virus penyakit hatinya atau tidak, dapat dilihat dari sisi keta’atannya dalam menjalankan perintah agama. Jika waktunya salat, ia tidak salat, maka berarti ada sesuatu yang ’tidak beres’ pada diri orang tersebut.
Jelas-jelas harta yang ada di rumahnya dalam kondisi berlimpah ruah, tapi ketika ada orang yang datang untuk minta sedekah atau minta bantuan, ia tidak mau mengeluarkan sebagian (ingat, hanya sebagian, bukan keseluruhan) dari rezeki yang ada di dalam rumahnya, maka berarti orang tersebut, rohaninya sedang sakit. Itulah ciri yang paling gampang untuk mengenali apakah di dalam diri kita ada virus penyakit hatinya atau tidak.
Menurut para salafus shalih, orang yang hatinya bersih dari virus penyakit hati, biasanya, selalu bersemangat dalam melakukan amal kebajikan. Ia tidak akan memikirkan, apakah amal kebajikan yang akan ia lakukan saat itu bakal diketahui oleh orang banyak atau tidak. Yang penting, ia akan terus melakukan amal kebajikan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya.
Malah sebaliknya, ujar salafus shalih, orang yang hatinya mencorong itu, selalu berusaha mengerjakan amal kebajikan secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin pahala amal kebajikannya menjadi luntur hanya karena kesusupan nafsu riya’ atau nafsu merasa bisa dan nafsu merasa mampu untuk melakukan amal kebajikan. Pendek kata, orang yang hatinya dipenuhi kecintaan kepada Allah dan RasulNya, ia tidak akan melewatkan kesempatan tersebut untuk melakukan amal kebajikan.
Sedang orang yang hatinya telah ’dikuasai’ oleh virus penyakit hati, justru akan memilih untuk menjauh dari arena kebajikan. Kalau pun, misalnya, ia melakukan sesuatu perbuatan yang kemudian termasuk dalam kategori amal kebajikan, maka niatnya bukanlah karena ia merasa senang kepada Allah dan RasulNya. Melainkan karena ia ingin mendapat pujian, atau karena ia merasa malu lantaran takut dianggap sebagai orang yang pelit, kikir dan bakhil.
Bagaimana dengan Anda? Apakah ciri-ciri itu ada di dalam diri Anda? Jika ada, maka segeralah bertobat. Mintalah ampunanNya. Dan mintalah pada Allah agar memperbaiki dan mengganti hati Anda yang telah terkontaminasi oleh virus penyakit hati itu dengan hati yang baru.
Sebab, hanya Allah-lah yang bisa memperbaiki dan mengganti hati kita yang telah rusak menjadi baru kembali. Dan Dia-lah yang punya serta yang memegang hati setiap hambaNya. Karena itu, tak perlu sungkan atau malu untuk berkata terus-terang kepadaNya. Sampaikanlah apa adanya. Sebab, jika kita merasa sungkan dan malu padaNya, maka ketahuilah, rasa itu justru akan menjadi hijab antara diri kita dengan diriNya.

Serba Tergesa-gesa
SALAH satu ciri orang yang hatinya ada virus penyakit hati adalah, ia sering bersikap tergesa-gesa dan tidak waspada dalam hidupnya. Sikap tergesa-gesa, biasanya, berkaitan erat dengan masalah waktu dari sebuah proses yang sedang terjadi. Sedang tidak waspada, berkaitan dengan masalah keseriusan dalam menjalani sebuah proses yang tengah bergulir.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Israa’ ayat 11, Allah telah berfirman:
”Dan adalah manusia itu bersifat tergesa-gesa.“

Bahkan, dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 37, Allah juga telah menegaskan pada manusia dengan mengatakan:

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda azabKu. Maka janganlah kamu minta kepadaKu mendatangkannya dengan segera.”

Terkait dengan firman Allah itulah, maka jika seorang hamba memilih untuk bersikap serba tergesa-gesa dalam hidupnya, itu sama artinya ia telah ’menyerobot’ kekuasaan Allah Rabbul ’Izzati. Sebab, akibat dari hidup serba tergesa-gesa itu, bisa membuat manusia menjadi tidak waspada terhadap segala kemungkinan yang bakal muncul. Akal pikirannya pun cenderung tidak bisa bekerja secara maksimal.
… orang yang hidupnya serba tergesa-gesa itu, sama artinya ia tidak percaya dengan sebuah proses. Termasuk tidak percaya dan tidak yakin kalau Allah, Tuhan Yang Sebenarnya, adalah Zat yang bakal mengendalikan dan menentukan segala kejadian yang ada di muka bumi ini. Menurut para ahlul kasyaf, sikap tergesa-gesa itu muncul karena sang makhluk merasa cemas dan tidak percaya kalau Allah sebetulnya selalu memperhatikan apa yang tengah dilakukannya di muka bumi ini. Sebab, kalau orang yang tergesa-gesa itu yakin bahwa Allah selalu memperhatikan dan melihat dirinya, maka tentulah ia tidak akan mungkin memilih hidup serba tergesa-gesa.
Yang jelas, kata salafus shalih, orang yang tergesa-gesa itu, biasanya, acapkali tidak bisa menguasai dan mengendalikan tingkat emosinya. Jika emosi seseorang itu sudah sulit untuk dikendalikan, maka dapat dipastikan, orang tersebut cenderung akan menjadi kurang begitu waspada.
Dengan kata lain, ujar ahlul kasyaf, orang yang hidupnya serba tergesa-gesa itu, sama artinya ia tidak percaya dengan sebuah proses. Termasuk tidak percaya dan tidak yakin kalau Allah, Tuhan Yang Sebenarnya, adalah Zat yang bakal mengendalikan dan menentukan segala kejadian yang ada di muka bumi ini.
Buntut dari sikap hidup serba tergesa-gesa ini adalah, manusia akan menjadi lupa pada Allah, Zat yang telah menciptakannya dari ’tidak ada’ menjadi ’ada’. Pasalnya kenapa? Karena, orang yang tergesa-gesa itu, biasanya, lebih banyak mengandalkan kemampuan dirinya daripada mengandalkan pada sebab kemurahan dan pertolongan Allah Azza wa Jalla.
Selain itu, ujar ahlul kasyaf, orang yang tergesa-gesa itu, sama saja seperti orang yang ingin memaksakan kehendaknya di atas kehendak dan ketetapan Allah Rabbul ’Alamin. Karena itulah, dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saw pernah mengingatkan para sahabatnya, agar menjauhi perbuatan tergesa-gesa. Sebab, sikap tergesa-gesa itu merupakan sifatnya setan. Oleh karena itu, barang siapa yang sering bersikap tergesa-gesa dalam hidupnya, maka berarti ia telah mengikuti sifatnya setan.

Tidak Sabar Dengan Proses
SETIAP kejadian, pastilah ada sebabnya. Tidak mungkin sesuatu itu terjadi, tanpa adanya sebab yang mendahului. Yang demikian itu adalah sunnatullah, atau yang lebih dikenal dengan istilah hukum causalitas. Suka atau tidak suka, begitulah hukum yang telah ditetapkanNya. Manusia hanya tinggal menjalaninya saja.
Siapa yang berbuat kebajikan, maka ia akan menuai pahala. Sebaliknya, siapa yang berbuat kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini, sekecil apapun perbuatan tersebut, maka ia pun akan mendapat ganjaran berupa hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang telah dia lakukan sebelumnya. Hukuman yang bakal diterimanya itu, tentu saja, bisa terjadi di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Karena itulah, menurut salafus shalih, tidak ada orang yang bisa mendahului sebuah kejadian, sebelum adanya ketetapan dari Allah Azza wa Jalla. Begitu pula halnya dengan peristiwa yang bakal dialami oleh manusia di muka bumi ini. Jika Allah belum menghendaki dan mengijinkannya, maka tak satu pun ada makhluk yang dapat memaksakan kehendaknya agar peristiwa tersebut segera terjadi.
Siapa yang berbuat kebajikan, maka ia akan menuai pahala. Sebaliknya, siapa yang berbuat kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini, sekecil apapun perbuatan tersebut, maka ia pun akan mendapat ganjaran berupa hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang telah dia lakukan sebelumnya. Hukuman yang bakal diterimanya itu, tentu saja, bisa terjadi di dunia ini maupun di akhirat nanti.Dalam perspektif pemberlakuan hukum causalitas itulah, para pejalan rohani dianjurkan untuk senantiasa berhati-hati dan selalu waspada dalam menyikapi berbagai peristiwa dan kejadian yang ada di sekitarnya. Sebab, menurut ahlul kasyaf, setiap peristiwa atau kejadian yang ada di sekitar kita itu, aslinya, pasti ada hubungannya dengan diri kita.
Lantaran itulah, kata ahlul kasyaf, barang siapa yang ingin melakukan amal kebajikan di muka bumi, maka ia perlu berhati-hati dalam menyikapi keinginan yang muncul di dalam hati dan pikirannya sendiri. Sebab, kalau sampai tidak berhati-hati, maka sangat boleh jadi, ia nanti akan terperosok ke dalam jurang prasangka buruk kepada Allah.
Apalagi jika, misalnya, keinginannya saat itu belum bisa menjadi sebuah kenyataan, maka situasi tersebut akan menjadi peluang yang baik bagi masuknya virus penyakit hati. Yaitu virus tidak sabar dalam menjalani proses menuju kebajikan. Itulah di antara ciri orang yang hatinya lagi sakit.
Karena manusia banyak yang kurang sabar dalam proses itulah, maka Allah telah berfirman di dalam surat Al-Insaan ayat 30:
”Dan kamu tidak akan mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Jika kita cermati firman Allah tersebut, nampak sangat jelas sekali bagaimana Maha Berkuasanya Allah ‘Azza wa Jalla atas kehidupan ini. Karena Dia Maha Berkuasa itulah, maka tentu akan rugi kalau kita tidak mau mengikuti dengan sabar apa yang Dia inginkan untuk kita jalani di muka bumi ini.
Lihat saja, misalnya, bagaimana firman Allah dalam surat Al-‘Ankabuut ayat 2-3:

”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Perhatikan juga firmanNya dalam surat al-Baqarah ayat 45-46 berikut ini:
“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. Yaitu, orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya.”
Atau firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 146:
“Allah menyukai orang-orang yang sabar.”
Bahkan, dalam ayat yang lain, Allah SWT tak sungkan-sungkan menjanjikan dua ‘hadiah istimewa’ untuk orang yang mau bersabar mengikuti proses yang telah Dia tentukan. Yaitu, pertama, Allah akan menganugerahi sifat-sifat baik dan kedua, Allah akan bersama orang-orang yang sabar.
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Qs. 41 : 35)
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. 2 : 153)
Karena sabar merupakan ‘kunci’ pokok untuk kita bisa bersama Allah SWT, maka tak heran jika untuk bisa memperoleh ’kunci’ tersebut, para pejalan rohani akan ‘dihujani’ dengan berbagai permasalahan hidup. Diantaranya, diuji dengan rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, seperti yang telah difirmankanNya dalam surat Al-Baqarah ayat 155 berikut:


”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Yang jelas, semua itu dilakukan oleh Allah tidak lain adalah, karena Allah sayang pada kita. Dia betul-betul menginginkan agar kita bisa selamat di dunia maupun di akhirat nanti. Karena itulah, Allah kemudian berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 142:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.”

Lari dari Kenyataan
ORANG yang sering lari dari kenyataan, merupakan ciri-ciri orang yang telah terkena virus penyakit hati. Sebab, virus penyakit hati yang bersumber dari virus yang bernama tidak mau bertanggungjawab itu, senang sekali membujuk hawa nafsu manusia agar mau bersikap masa bodoh dengan permasalahan yang ada di hadapannya. Padahal, sangat boleh jadi, permasalahan yang muncul itu, aslinya, bukanlah karena orang lain. Tetapi karena ulahnya sendiri.
Menurut salafus shalih, virus tak mau bertanggungjawab itu, biasanya muncul ketika manusia di hadapkan dengan permasalahan yang membutuhkan adanya pertanggungjawaban. Apalagi dalam surat Al-Qiyaamah ayat 36, Allah SWT telah bersabda:
”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
Karena bakal adanya pertanggungjawaban itulah, ujar ahlul kasyaf, maka virus tersebut muncul di dalam hati dan pikiran manusia. Ia menebarkan berbagai alternatif alibi untuk diikuti oleh manusia agar bisa lepas dari tanggung jawab.
Dengan menyuntikkan alasan, misalnya, karena tidak ingin pusing dalam menghadapi sebuah masalah, atau dengan alasan karena belum punya jalan keluar, virus penyakit hati yang bernama tidak mau bertanggungjawab itu, membujuk manusia untuk melakukan berbagai tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya melakukan kebohongan, menipu dan menyebarkan fitnah guna mengalihkan perhatian banyak orang agar tidak fokus dengan permasalahan yang sedang dihadapinya.
Menurut salafus shalih, virus tak mau bertanggungjawab itu, biasanya muncul ketika manusia di hadapkan dengan permasalahan yang membutuhkan adanya pertanggungjawaban. Karena bakal adanya pertanggungjawaban itulah, maka virus tersebut muncul di dalam hati dan pikiran manusia, sembari menebarkan berbagai alternatif alibi untuk diikuti oleh manusia agar bisa lepas dari tanggung jawab. Sedang menurut ahlul kasyaf, apa yang telah dilakukan oleh virus penyakit hati yang bernama tidak mau bertanggungjawab itu pada diri manusia, sesungguhnya bertujuan untuk menyeret manusia agar masuk ke dalam lembah kegelapan. Pasalnya, jika manusia sudah berada dibawah kendalinya, maka tak ada tempat bagi manusia untuk bisa ingat kepada Allah.
Sebabnya kenapa? Karena, salah satu target yang ingin dicapai oleh virus bernama tidak mau bertanggungjawab itu dalam menginvasi manusia adalah, ia ingin membuat manusia agar menjadi lupa tentang masalah hari akhir (kiamat). Kalau manusia sampai tak mengindahkan babagan hari akhir, maka hal itu bisa berakibat bakal tercerabutnya rasa takut manusia kepada Allah yang telah menciptakannya di muka bumi ini.
Apalagi dalam surat Al-A’raaf ayat 147, Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
”Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Jika seseorang itu sudah tidak takut lagi kepada Allah yang telah berjanji akan memintai pertanggungjawaban setiap makhluk yang telah diciptakanNya di muka bumi ini, kata salafus shalih, maka alamat ia akan selalu melakukan berbagai kerusakan dan kemaksiatan. Orang yang demikian itu, jelas sangat berbahaya bagi makhluk lainnya.

Maunya Enak, Tak Mau Susah
Jika manusia ingin masuk surga, maka banyak persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Diantaranya adalah: amal ibadah yang dikerjakannya itu, haruslah amal ibadah yang disenangi dan diterima oleh Allah. Sebab, yang punya surga adalah Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. ASLINYA, tak ada yang gratis dalam hidup ini. Sebab, semua ada syaratnya dan ada aturannya masing-masing. Demikianlah hukum yang berlaku di dunia ini. Jika manusia ingin memiliki sesuatu, maka ia harus berusaha terlebih dahulu. Sebab, kalau manusia tak mau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh apa yang dia inginkan, maka jangan harap ia bakal memperolehnya dengan gampang.
Demikian juga halnya dengan urusan akhirat. Jika manusia ingin masuk surga, maka banyak persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Diantaranya adalah: amal ibadah yang dikerjakannya itu, haruslah amal ibadah yang disenangi dan diterima oleh Allah. Sebab, yang punya surga adalah Allah, Tuhan Yang Sebenarnya.
Suka atau tidak suka, jika manusia ingin masuk ke dalam surgaNya, maka manusia tersebut harus mau patuh pada setiap kehendakNya. Termasuk tidak protes, jika suatu ketika, misalnya, Allah meletakkan dirinya berada di dalam lumpur kesesatan, atau berada dalam situasi yang tidak mengenakkan hati. Apalagi dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiyaa’ ayat 35, Allah SWT telah berfirman:
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Jika, misalnya, yang demikian itu merupakan syarat pokok, maka mau bagaimana lagi? Apakah mungkin manusia bisa menukar persyaratan pokok yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut? Di ranah inilah, tidak sedikit para pejalan rohani yang seringkali terjebak dan tergelincir dalam prasangka buruk kepada Allah.
Ketika diletakkan Allah di tempat yang tidak menyenangkan, ia malah protes kepada Allah. Alasannya, karena di tempat tersebut ia merasa malu. Atau karena alasan jenis pekerjaan yang bakal dia tangani di tempat tersebut, terlalu berat, sehingga ia merasa tidak mampu untuk menjalaninya.
Ujung-ujungnya, ia malah ’menuding’ Allah telah berlaku tidak adil pada dirinya. Padahal, sebetulnya, Allah justru lebih senang jika sang hamba tersebut berada di tempat yang tak mengenakkan hati itu. Pasalnya, di tempat yang tak menyenangkan itu, ternyata sang hamba justru lebih sering menyebut-nyebut namaNya. Padahal, dalam sebuah hadis Qudsi yang bersumber dari Abu Umamah r.a. dan diriwayatkan oleh Thabarani ra, Allah Ta’aala berfirman kepada malaikatNya: “Pergilah kepada hambaKu. Lalu, timpakanlah bermacam-macam ujian kepadanya, karena Aku mau mendengar suaranya”
... kalau manusia sampai berani ’menuding’ Allah sebagai sumber penyebab dari munculnya situasi yang kurang kondusif itu, maka berarti manusia tersebut sudah keterlaluan. Maunya enak, tapi tidak mau susah. Maunya masuk surga, tapi tak mau beramal. Takut mati, tapi tak mau beribadah,” ujar ahlul kasyaf.Sebaliknya, tatkala ia diletakkan di tempat yang penuh dengan kenikmatan, ia malah kufur dan tak mau bersyukur kepadaNya. Sedang tujuan Allah SWT meletakkannya di tempat yang penuh kenikmatan itu, sangat boleh jadi adalah salah satu cara Allah untuk menguji apakah sang hamba tersebut mau terus bersyukur kepadaNya atau tidak, seperti yang telah Dia firmankan di dalam surat Al-Baqarah ayat 152:
”Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku.”
Terkait dengan firman Allah itulah, para ahlul kasyaf sering menasihati para pejalan rohani agar menghindari kebiasaan buruk suka protes kepada Allah. Terutama ketika ia tengah berada dalam situasi yang kurang kondusif.
Menurut ahlul kasyaf, aslinya, kita ini tidak bisa berbuat apa-apa, jika tidak ada kemurahan dan pertolongan dari Allah SWT. Kita tak ubahnya seperti sebuah patung. Allah-lah yang telah membuat kita sehingga bisa melakukan sesuatu pekerjaan atau perbuatan di muka bumi ini. Allah jugalah yang telah menggerakkan kita untuk beribadah, berdzikir, berbicara, berpikir dan berkarya. Inilah yang acapkali kita lupakan dalam perjalanan hidup kita sehari-hari. ”Sebab, kalau manusia sampai berani ’menuding’ Allah sebagai sumber penyebab dari munculnya situasi yang kurang kondusif itu, maka berarti manusia tersebut sudah keterlaluan. Maunya enak, tapi tidak mau susah. Maunya masuk surga, tapi tak mau beramal. Takut mati, tapi tak mau beribadah. Itulah ciri orang yang hatinya sedang sakit,” ujar ahlul kasyaf.

Merasa Istimewa
MERASA istimewa di hadapan semua makhluk, merupakan salah satu ciri virus penyakit hati. Virus ini, seringkali menyerang orang-orang yang berasal dari keluarga berada atau orang yang punya kedudukan. Caranya adalah, dengan mempengaruhi si penderita untuk berlaku semena-mena dan membujuk si penderita untuk berlindung pada kebesaran dan kekuasaan yang ada di dalam keluarganya.
Begitulah cara virus penyakit hati merasa istimewa dalam mengalihkan keta’atan kepada Allah menjadi ta’at dan bangga dengan kebesaran nafsu duniawi yang bercokol di dalam hati dan pikirannya. Padahal, aslinya, semua makhluk di hadapan Allah itu sama. Yaitu, sama-sama ciptaan Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Kalau pun ada sesuatu yang membuatnya menjadi berbeda di hadapan Allah adalah, soal tingkat ketakwaannya kepada Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman di dalam surat Al-Hujuraat ayat 13, yaitu:

“… Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah, orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa, jika kita tidak bisa menggapai derajat taqwa, maka itu berarti kita tidak akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Sedangkan kemuliaan itu sendiri, adalah mutlak milik Allah Rabbul ‘Izzati. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa menjadi seorang hamba yang bertaqwa kepada Allah? Apa yang harus kita lakukan? Inilah pertanyaan yang menjadi ‘PR’ bagi kita bersama.
Sesungguhnyalah, untuk bisa menggapai derajat taqwa tersebut, bukanlah hal yang mudah untuk kita lakukan. Tanpa adanya kemurahan dari Allah dan pertolongan barakah dari para Kekasih Allah, niscaya kita tidak akan mungkin bisa mencapai derajat taqwa.
Yang jelas, menurut salafus shalih, untuk bisa mencapai derajat taqwa, kita dituntut dan diperintahkan oleh Allah agar lebih mendahulukan kehendakNya di atas kehendak hawa nafsu kita sendiri. Jelas, ini bukanlah perkara yang mudah. Apalagi untuk orang seperti kita yang hidup di era serba canggih dan serba modern seperti sekarang ini. Sungguh memang tidak mudah.
... virus penyakit hati rumongso bisa ini, acapkali menghilangkan ‘peran’ Allah dalam perjalanan hidup kita sendiri. Baik itu kita sadari ataupun tidak kita sadari. Yang aplikasinya dalam kehidupan kita sehari-hari, nampak sangat jelas pada sikap hidup dan perilaku kita yang tidak mau kalah saingan, merasa istimewa, merasa benar, merasa mampu, merasa tahu dan merasa kuasa. Meski tidak mudah, tapi bukan berarti lalu kita tak perlu berbuat sesuatu, atau menjadikan ketidakmudahan itu sendiri, sebagai alasan pembenar (justifikasi) bagi kita untuk tidak mau berikhtiar atau berjuang guna menjadi seorang insan yang bertaqwa.
Justru karena tidak mudah itulah, kita diberi kesempatan yang luas oleh Allah, untuk beribadah secara sungguh-sungguh. Sebab, di ranah itulah, Allah justru meletakkan tempat untuk titik-tolak bagi jalan perjuangan kita. Apakah kita akan mengandalkan kemampuan diri kita sendiri, atau kita akan memilih dan bersandar pada sebab kemurahan dan pertolongan Allah Rabbul ‘Izzati?

Merasa Bisa Melakukan Sesuatu
CIRI-CIRI lain untuk mengetahui apakah kita telah terjangkit virus penyakit hati atau tidak, bisa dilihat dari bagaimana cara kita dalam melakukan sesuatu perbuatan. Apakah kita melakukan sebuah pekerjaan atau amal kebajikan itu, misalnya, karena kita merasa bisa, atau karena kita mengakui bahwa bisanya kita itu jalaran adanya kemurahan dan pertolongan Allah?
Orang yang hatinya lagi sakit, biasanya, tidak mau mengakui bahwa ia bisa melakukan amal kebajikan itu karena adanya pertolongan Allah atas dirinya. Apalagi jika berkaitan dengan masalah bagaimana caranya agar bisa mendapat rezeki. Orang yang terkena virus penyakit hati bernama merasa bisa ini, biasanya menganggap rezeki yang dia peroleh itu, bukan karena adanya kemurahan dan pertolongan dari Allah. Melainkan karena hasil dari kerja kerasnya.
Padahal, menurut ahlul kasyaf, aslinya, kita ini tidak bisa berbuat apa-apa, jika tidak ada kemurahan dan pertolongan dari Allah SWT. Kita tak ubahnya seperti sebuah patung. Allah-lah yang telah membuat kita sehingga bisa melakukan sesuatu pekerjaan atau perbuatan di muka bumi ini. Allah jugalah yang telah menggerakkan kita untuk beribadah, berdzikir, berbicara, berpikir dan berkarya. Inilah yang acapkali kita lupakan dalam perjalanan hidup kita sehari-hari.
Kita lupa untuk berterima kasih, dan lupa untuk mengembalikan kekuasaan Allah yang telah ‘dititipkan’ kepada kita. Bahkan, tak jarang, kita malah seringkali ‘mengaku-ngaku’ sebagai orang yang mempunyai kemampuan. Padahal, sesungguhnya, yang membuat kita bisa menjadi seolah-olah mampu itu, adalah mutlak karena adanya sebab kemurahan Allah, dan karena adanya sebab pertolongan barakah dari para kekasih Allah SWT.
Akibat dari kelalaian kita itu, kita terkadang tanpa sadar, seringkali justru menjerumuskan diri kita sendiri masuk ke dalam lembah, tempat berkumpulnya virus penyakit hati. Yaitu virus penyakit hati merasa bisa. Atau dalam bahasa Jawanya dikenal dengan istilah rumongso.
Virus penyakit hati rumongso bisa ini, jika kita biarkan tumbuh-kembang dalam diri kita, sungguh sangat berbahaya. Sebab, virus penyakit hati rumongso bisa ini, dapat membuat kita menjadi tidak kenal dengan Allah dan RasulNya.
... virus penyakit hati bernama rumongso bisa ini, kalau kita biarkan, dia kelak akan ‘menyerang’ benteng pertahanan paling dalam dari keyakinan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Akibatnya, kita nanti tidak mau mengakui, bahwa yang membuat kita bisa melakukan sesuatu perbuatan itu, adalah karena sebab kemurahan Allah, dan sebab adanya pertolongan barakah dari kekasihNya. Pasalnya, virus penyakit hati rumongso bisa ini, acapkali menghilangkan ‘peran’ Allah dalam perjalanan hidup kita sendiri. Baik itu kita sadari ataupun tidak kita sadari. Yang aplikasinya dalam kehidupan kita sehari-hari, nampak sangat jelas pada sikap hidup dan perilaku kita yang tidak mau kalah saingan, merasa istimewa, merasa benar, merasa mampu, merasa tahu dan merasa kuasa.
Seolah-olah, hanya kitalah satu-satunya makhluk yang paling benar, paling mampu, paling tahu, paling kuasa, paling istimewa dan paling menang sendiri di planet bumi ini. Sedang Allah ‘Azza wa Jalla --- yang menciptakan kita dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’ --- dan orang lain yang ada di sekitar kita, acapkali kita letakkan pada posisi berada di bawah kita.
Singkat kata, yang jelas, virus penyakit hati bernama rumongso bisa ini, kalau kita biarkan, dia kelak akan ‘menyerang’ benteng pertahanan paling dalam dari keyakinan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Akibatnya, kita nanti tidak mau mengakui, bahwa yang membuat kita bisa melakukan sesuatu perbuatan itu, adalah karena sebab kemurahan Allah, dan sebab adanya pertolongan barakah dari kekasihNya.
Dalam kaitannya dengan hal itulah, Allah SWT telah berfirman di dalam surat Al-Insaan ayat 30:
“Dan kamu tidak akan mampu (menempuh jalan itu, atau melakukan sesuatu perbuatan di muka bumi), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya, Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ayat tersebut, jelaslah sudah bagaimana kekuasaan Allah atas kehidupan ini. Tak ada satu makhluk pun di muka bumi ini yang bisa melakukan sesuatu aktivitas, tanpa atas seijin Allah SWT. Jika demikian adanya, lalu mengapa kita seringkali memilih untuk bersikap sombong di hadapan Allah dan sesama makhluk ciptaanNya yang ada di muka bumi ini?
Padahal kita tahu, bahwa bersikap sombong itu adalah salah satu perbuatan yang tidak disukai oleh Allah. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim ra dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Nabi Muhammad saw telah bersabda :

“Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada penyakit sombong, meskipun hanya seberat dzarrah (atom yang paling kecil).”

Jika kita resapi dengan hati yang bersih, peringatan yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw tersebut, merupakan syarat pokok untuk kita bisa masuk ke dalam surga. Artinya, jika syarat pokok itu tidak kita penuhi, maka berarti kita tidak akan mungkin bisa masuk surga. Sedang untuk bisa memenuhi syarat pokok tersebut --- yaitu menghilangkan sikap sombong dari dalam diri kita --- sungguh tidak mudah.
Menurut kaum ma’rifat billah, perasaan cemas yang ada di dalam diri manusia itu, akan menjadi lebih berbahaya lagi jika ia telah disusupi oleh angan-angan. Pasalnya kenapa? Karena, angan-angan seringkali lebih banyak meniupkan bisikan-bisikan yang negatif daripada bersifat positif. Jangankan untuk menghilangkan. Sekedar untuk mengerem keinginan nafsu kita sendiri agar tidak bersikap sombong saja, aslinya kita tidak bisa. Jangankan dengan cara mengandalkan kemampuan diri. Dengan bersandar pada sebab pertolongan dan kemurahan dari Allah SWT saja, perjalanan kita untuk bisa lepas dari perangkap sombong itu sendiri, terkadang masih sering kita lalui dengan cara berprasangka buruk kepada Allah. Persoalan inilah yang terkadang jarang kita perhatikan dengan sungguh-sungguh.

Cemas Dengan Masa Depan
SALAH satu ciri seseorang itu telah terkena virus penyakit hati adalah, ia suka cemas dengan masa depan. Yaitu, sesuatu yang masih jauh dan belum tentu betul-betul bakal menjadi kenyataan. Rasa cemas itu muncul, karena ia bermaksud ingin membuat manusia menjadi malas untuk berikhtiar.
Jika rasa cemas itu telah menguasai hati dan pikiran manusia, maka ia akan berubah menjadi sebuah ketakutan yang berlebihan. Yaitu, takut dengan sesuatu (yang ada di dalam pikirannya), yang belum tentu betul-betul bakal terjadi. Kecemasan semacam itu, jika dibiarkan berlarut-larut, akan membuat manusia menjadi tercerabut dari keyakinannya terhadap Tuhan Yang Sebenarnya.
Menurut kaum ma’rifat billah, perasaan cemas yang ada di dalam diri manusia itu, akan menjadi lebih berbahaya lagi jika ia telah disusupi oleh angan-angan. Pasalnya kenapa? Karena, angan-angan seringkali lebih banyak meniupkan bisikan-bisikan yang negatif daripada bersifat positif.
Oleh sebab itulah, Rasulullah saw memberikan peringatan kepada umatnya tentang bahayanya angan-angan. Sabda beliau: “Yang paling aku khawatirkan jika terjadi pada kalian ada dua hal. Yaitu, berpanjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Sebab, panjang angan-angan itu dapat melalaikan orang dari akhirat. Sedang mengikuti hawa nafsu, dapat menghalangi seseorang dari kebenaran.”
Karena itulah, tak heran jika virus penyakit hati selalu membujuk manusia untuk memperpanjang angan-angannya. Tujuannya adalah untuk menguras habis waktu, pikiran dan tenaga manusia guna memikirkan kehidupan dunia. Ujung-ujungnya, si penderita pun akhirnya akan menjadi lalai pada kehidupan akhirat yang kekal.
Yang jelas, menurut ahlul kasyaf, orang yang terjebak dalam angan-angan itu, sama halnya dengan telah mengikatkan dirinya pada dunia. Akibatnya, orang tersebut akan menjadi rakus terhadap kehidupan dunia. Sedang orang yang rakus terhadap dunia itu, kata Nabi saw, tiada lain kecuali akan mengantarkannya pada kekikiran yang berakibat kefakiran. Bukan malah membuatnya jadi kaya.
Pendek kata, orang yang rakus terhadap dunia, akan membawanya pada kesibukan yang terus-menerus tanpa ada kelapangan. Kemudian, orang yang rakus terhadap dunia, juga akan membawanya pada kesedihan, bukan pada kebahagiaan.
Tatkala menerangkan tentang angan-angan tersebut, Nabi saw mengambil tiga batang kayu. Beliau menancapkan satu batang di depannya, satu batang lagi di sisinya, dan yang sebatang lagi agak jauh darinya.
… menurut ahlul kasyaf, orang yang terjebak dalam angan-angan itu, sama halnya dengan telah mengikatkan dirinya pada dunia. Akibatnya, orang tersebut akan menjadi rakus terhadap kehidupan dunia. Sedang orang yang rakus terhadap dunia itu, kata Nabi saw, tiada lain kecuali akan mengantarkannya pada kekikiran yang berakibat kefakiran. Bukan malah membuatnya jadi kaya. Kemudian beliau berkata: “Ini manusia (batang yang pertama). Ini akhirat (batang yang kedua) dan yang itu (batang yang ketiga) adalah angan-angan. Anak cucu Adam diberi angan-angan, namun di akhirat angan-angan itu akan mempersulitnya. Padahal di sana sudah tak ada angan-angan lagi.”
Dhawuh Nabi saw itu menggambarkan tentang bagaimana hubungan antara manusia dan kehidupan akhirat yang sangat dekat, sebagaimana ketika beliau mengatakan bahwa kiamat itu dekat. Sedang angan-angan, meski berada di dalam diri manusia, tetapi ia tetap saja berada jauh dari manusia itu sendiri.
Pasalnya, manusia tidak tahu kepastiannya, apakah akan terwujud atau tidak. Sementara, kehidupan akhirat, meski manusia tak tahu kapan datangnya, namun Allah dan RasulNya sudah memberitahukan tentang kepastian akan adanya kehidupan akhirat tersebut.
Yang jelas, kata salafus shalih, melalui virus penyakit hati yang bernama angan-angan panjang itulah, hawa nafsu kemudian menjerumuskan manusia masuk ke dalam ketidakpastian, membuang-buang waktu, lalai mengingat akhirat dan jadi lupa pada adanya takdir Allah yang tak bisa diganggu-gugat oleh manusia. Waktu yang sedianya dapat dipergunakan untuk zikrullaah, malah disia-siakan untuk mengkhayal.
Rasulullah saw berpesan: “Wahai anak Adam, jika kalian memang ingin berangan-angan atau memikirkan sesuatu, maka segera kembalikanlah diri kalian untuk mengingat kematian. Demi Zat yang menguasai diriku, sungguh apa yang dijanjikan Allah kepada kalian itu akan datang. Sedang kalian tak akan dapat menolaknya.”Rahmat dan nikmat Allah yang sudah diperoleh, malah seperti tak ada harganya. Rasa syukur pun bisa jadi hilang. Yang ada hanyalah khayalan. Ibarat pepatah, mengharapkan burung yang terbang tinggi, sedang punai di tangan dia lepaskan. Artinya, orang yang suka mengkhayalkan dapat memperoleh harta dan keuntungan dunia yang besar itu, biasanya, lebih cenderung melupakan rezeki yang sudah ada di tangannya. Akibatnya, ia lalai dalam mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya tersebut.
Rasulullah saw sendiri pernah menyindir orang-orang yang memperpanjang angan-angannya. “Hai sekalian manusia, tidakkah kalian malu kepada Allah? Kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan, mengkhayalkan apa yang tidak akan kalian capai, dan membangun apa yang tidak kalian huni,” begitu kata Nabi saw.
Hadits tersebut merupakan sindiran telak bagi manusia. Sebab, antara apa yang diangan-angankan oleh manusia dengan apa yang akan menimpa dirinya, hanya Allah yang mengetahui dan berkuasa menentukannya.
Karena itu, Rasulullah saw memberi teladan agar manusia lebih suka mensyukuri apa yang ada di depan mata, daripada memikirkan apa yang akan terjadi esok atau lusa hari. Apalagi memikirkan setahun, dua tahun ke depan. Maka bisa dibayangkan, seperti apa berbuihnya mulut setan untuk membujuk kita agar mau berangan-angan. Jika sudah demikian, maka dapat dipastikan, mungkin dunia nanti bakal membeli kehidupan kita.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, suatu ketika Rasulullah saw mendengar bahwa Usamah bin Zaid (budak belian) dibeli oleh Sa’id Al-Hudry dari Tsabit bin Wulaidah dengan harga seratus dinar dalam jangka waktu sebulan. Dalam jangka waktu sebulan itu, boleh jadi akan menjadi hari-hari yang sarat dengan angan-angan bagi Usamah. Sebab, ia akan berpindah tangan. Rasulullah saw kemudian bersabda:
“Tidakkah kalian merasa takjub pada Usamah yang dibeli dalam jangka waktu sebulan? Sungguh Usamah berpanjang angan-angan. Demi Zat yang menguasai diriku, setiap kedipan mataku, aku tak mengkhayalkan tentang bertemu dengan Allah, hingga Allah benar-benar telah mencabut nyawaku.
Setiap mataku membuka, aku tak menghayalkan sesuatu hingga aku memegangnya. Dan setiap suapan makanan, aku selalu mengingat bahwa aku tak akan dapat melakukannya ketika kematian sudah datang. Wahai anak Adam, jika kalian memang ingin berangan-angan atau memikirkan sesuatu, maka segera kembalikanlah diri kalian untuk mengingat kematian. Demi Zat yang menguasai diriku, sungguh apa yang dijanjikan Allah kepada kalian itu akan datang. Sedang kalian tak akan dapat menolaknya.”
Jika melihat dari hadits tersebut, seharusnya kita malu. Rasulullah saw saja, yang notabene adalah kekasih Allah dan sering memperoleh banyak informasi rahasia dari langit saja, tak mau berangan-angan. Bagaimana mungkin kita malah menyibukkan diri dalam angan-angan? Padahal, angan-angan itu hanya akan memunculkan kesenangan dalam fantasi dan menyiksa diri sendiri.

Tidak Percaya Adanya Pertolongan
ORANG yang sering diuji terus-menerus oleh Allah, jika ia betul-betul bisa lapang dada dalam menerima ujian tersebut, maka insya Allah, ia kelak akan menjadi seorang hamba yang sabar. Sebab, aslinya, ujian yang ‘dihadiahkan’ oleh Allah untuk hambaNya itu, adalah salah satu cara Allah dalam mengangkat dan memuliakan hambaNya.
Allah SWT sendiri dalam surat Al-Baqarah ayat 155 telah berfirman:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Dari ayat di atas, nampak sangat jelas, bagaimana kurikulum materi ujian yang bakal dihadapi manusia di muka bumi ini. Yaitu, dia akan diuji dengan adanya rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Tujuan Allah menguji manusia dengan cara seperti itu tidak lain adalah, karena Allah ingin mengetahui, seberapa tinggi kadar iman kita kepadaNya.
Termasuk, sudah barang tentu, Allah juga ingin tahu, apakah kita bisa bersabar dalam menjalani ujian tersebut atau tidak? Di samping, Allah juga ingin melihat, apakah kita betul-betul yakin atau tidak tentang adanya pertolongan dari Allah Azza wa Jalla. Perhatikan saja bagaimana firmanNya berikut ini:
”Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Qs. 29: 2-3)
Atau lihat juga firmanNya dalam surat Ali-Imran ayat 142, di mana Allah dengan tegas mengatakan pada manusia:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Qs. 3 : 142)
Menurut ahlul kasyaf, apa yang telah dilakukan oleh Allah kepada hambaNya itu, aslinya, tidak lain adalah, karena Allah sayang pada hamba-hambaNya. Dia betul-betul menginginkan agar manusia bisa selamat di dunia maupun di akhirat nanti. Karena itulah, dalam surat Al-‘Ankabuut ayat 21, Allah berfirman:
”Allah mengazab siapa yang dikehendakiNya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendakiNya, dan hanya kepadaNyalah kamu akan dikembalikan.”
... para salafus shalih mengatakan, orang yang tidak percaya dan tidak yakin kalau pertolongan dari Allah atas dirinya pasti akan datang, maka orang yang demikian itu adalah orang yang hatinya sedang sakit. Sebab, tidak percaya bakal adanya pertolongan dari Allah, merupakan ciri orang yang hatinya lagi ada virus penyakit hati.Jika demikian, lalu mengapa kita seringkali bersedih hati ketika petugasNya datang mengirimkan materi ujian untuk kita jalani? Mengapa kita tidak mau menyambut kedatangan utusan Allah itu dengan suka-cita? Bukankah datangnya ujian itu sebagai pertanda bahwa sebentar lagi kita akan ’naik kelas’?
Berangkat dari pertanyaan itulah, para ahlul kasyaf selalu menasihati dan menanamkan semangat hidup kepada para pejalan rohani untuk tidak perlu gentar ketika menghadapi berbagai ujian dalam hidup. Sebab, tidaklah Allah mengirim sebuah bencana atau ujian kepada seorang hambaNya, melainkan pastilah karena Allah bermaksud ingin menolong dan mengangkat derajat hambaNya. Kuncinya adalah, kita harus mau berlapang dada dan bersabar dalam menjalani lakon tersebut.
Sebaliknya, orang yang tidak bisa berlapang dada alias tidak terima dengan apa yang telah dilakukan oleh Allah atas dirinya, maka orang yang demikian itu, kata ahlul kasyaf, gampang sekali tertular virus penyakit hati tidak percaya adanya pertolongan dari Allah. Virus satu ini, menurut para mubarrak, sering mengajak nafsu manusia untuk putus asa dalam menghadapi ujian, yang aslinya adalah untuk kebaikan bagi manusia itu sendiri.
Lantaran itulah, para salafus shalih mengatakan, orang yang tidak percaya dan tidak yakin kalau pertolongan dari Allah atas dirinya pasti akan datang, maka orang yang demikian itu adalah orang yang hatinya sedang sakit. Sebab, tidak percaya bakal adanya pertolongan dari Allah, merupakan ciri orang yang hatinya lagi ada virus penyakit hati. Yaitu virus putus asa dari rahmat Allah.
Padahal, menurut al-Qur’an surat Al-Hijr ayat 56, orang yang putus asa dari rahmat Allah itu adalah orang yang sesat.


"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat." (Qs. 15 : 56)

Suka Menisbatkan Sebab Kesalahan
ORANG yang di dalam hatinya ada virus penyakit hati, jika melakukan pelanggaran syari’at, biasanya, ia tidak mau mengaku salah. Ia justru berusaha mencari kambing hitam dan menisbatkan sebab kesalahannya pada orang lain. Itulah salah satu ciri orang yang hatinya lagi sakit.
... orang yang telah terkontaminasi virus penyakit hati yang bernama virus merasa benar dan virus merasa suci ini, acapkali menganggap dirinya selalu benar. Memang seperti itulah cara kerja virus merasa benar dan virus merasa suci dalam menyuntikkan pengaruhnya ke dalam hati dan pikiran si penderita. Ia selalu berusaha meniupkan perasaan merasa benar kepada nafsu si penderita. Tujuannya adalah, untuk membuat si penderita agar semakin menjauh dari jalan kebenaran. Mengapa orang yang hatinya lagi sakit itu suka menisbatkan sebab kesalahannya kepada orang lain? Karena, orang yang telah terkontaminasi virus penyakit hati yang bernama virus merasa benar dan virus merasa suci ini, acapkali menganggap dirinya selalu benar.
Memang seperti itulah cara kerja virus merasa benar dan virus merasa suci dalam menyuntikkan pengaruhnya ke dalam hati dan pikiran si penderita. Ia selalu berusaha meniupkan perasaan merasa benar kepada nafsu si penderita. Tujuannya adalah, untuk membuat si penderita agar semakin menjauh dari jalan kebenaran.
Menurut ahlul bashar, orang yang telah diperangkap oleh virus merasa benar dan virus merasa suci ini, biasanya tidak bisa melihat kesalahan dirinya sendiri. Sebab, mata dan hatinya telah tertutup oleh hijab yang membuatnya menjadi tak bisa melihat dengan jelas tentang salah dan benar.
Karena kiprah virus merasa benar dan merasa suci itu seringkali ’mengelabuhi’ mata, hati dan pikiran para pejalan rohani, maka para ahlul kasyaf menyarankan agar para pejalan rohani tidak perlu merasa malu untuk mengaku salah di hadapan Allah Rabbul ’Izzati. Sebab, kata ahlul kasyaf, aslinya, Allah justru sangat senang jika melihat ada hambaNya yang mau mengaku salah dan meminta ampunanNya. Selain itu, lanjut ahlul bashar, orang yang telah dikuasai oleh virus merasa benar dan virus merasa suci ini, lebih senang menyibukkan diri mengoreksi kesalahan orang lain daripada mengadili dirinya sendiri. Termasuk, senang mengalihkan kesalahan dirinya kepada orang lain. Yang demikian itu ia lakukan, karena ia merasa tidak punya kesalahan.
Ibarat pepatah mengatakan, semut di seberang pulau terlihat dengan jelas, sedang gajah di pelupuk mata, tak nampak. Begitulah ciri orang-orang yang telah terjangkiti virus penyakit hati suka menisbatkan sebab kesalahan kepada orang lain yang bersumber dari virus merasa benar dan merasa suci.
Karena kiprah virus merasa benar dan merasa suci itu seringkali ’mengelabuhi’ mata, hati dan pikiran para pejalan rohani, maka para ahlul kasyaf menyarankan agar para pejalan rohani tidak perlu merasa malu untuk mengaku salah di hadapan Allah Rabbul ’Izzati. Sebab, kata ahlul kasyaf, aslinya, Allah justru sangat senang jika melihat ada hambaNya yang mau mengaku salah dan meminta ampunanNya.
Tentang hal itu, Rasulullah saw sendiri pernah bersabda: “Allah lebih senang menerima tobat seorang hambaNya melebihi dari gembiranya seorang yang menemukan untanya yang telah hilang di hutan.” (HR. Bukhari – Muslim dari Anas ra.)
Bahkan, di dalam al-Qur’an surat ­Al-Baqarah ayat 222, Allah SWT juga telah berfirman:


“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan dirinya (baca: bersuci) dari perbuatan-perbuatan yang tercela.”

Dari ayat di atas, ada dua hal penting yang perlu kita garis bawahi. Yaitu bertobat dan bersuci dari perbuatan tercela. Jika kita jabarkan lebih jauh, maka pemahaman tentang ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa orang yang pernah melakukan pelanggaran itu, kalau ingin disenangi Allah, maka ia harus mau bertobat dan menjaga dengan sungguh-sungguh kesucian dari perbuatan yang akan dilakukannya. Baik lahir maupun batin. Jika demikian halnya, lalu mengapa kita seringkali menunda-nunda waktu untuk bertobat kepadaNya?

Mengutamakan Hawa Nafsu
CIRI orang yang hatinya telah terkontaminasi oleh virus penyakit hati adalah, ia lebih mengutamakan hawa nafsunya. Bentuk dzahirnya adalah, orang tersebut lebih tunduk dan patuh pada keinginan hawa nafsunya sendiri daripada tunduk dan patuh pada perintah Allah dan RasulNya.
Orang-orang ahli ibadah menyebut manusia yang tunduk pada perintah hawa nafsunya itu sebagai orang yang telah mempertuhankan hawa nafsu. Sedang para pejalan rohani menyebutnya dengan istilah sedang dalam kerusakan. Adapun ahlul kasyaf dan ahlul bashar menyebut manusia yang mempertuhankan hawa nafsunya itu sebagai orang-orang yang sedang terhijab.
Orang-orang ahli ibadah menyebut manusia yang tunduk pada perintah hawa nafsunya itu sebagai orang yang telah mempertuhankan hawa nafsu. Sedang para pejalan rohani menyebutnya dengan istilah sedang dalam kerusakan. Adapun ahlul kasyaf dan ahlul bashar menyebut manusia yang mempertuhankan hawa nafsunya itu sebagai orang-orang yang sedang terhijab.Apa indikator untuk mengetahui bahwa seseorang itu telah mempertuhankan hawa nafsunya atau tidak? Menurut kaum ma’rifat billah, salah satu indikator sederhana untuk mengetahui apakah seseorang itu telah mempertuhankan hawa nafsunya atau tidak, bisa dilihat dari bagaimana cara orang tersebut dalam menegakkan syari’at agama. Apakah ketika dipanggil untuk menegakkan syari’at ia segera memenuhi panggilan tersebut, atau lebih suka menunda-nunda dengan berbagai alasan?
Misalnya panggilan untuk menegakkan salat. Apakah ketika mu’adzin mengumandangkan seruannya, ia langsung bergegas memenuhi panggilan tersebut atau masih berleha-leha terlebih dahulu? Ini adalah tolak ukur yang paling gampang untuk dilihat dan paling sulit untuk dipraktikkan. Meski tidak mewakili kondisi yang sebenarnya dari keadaan hatinya yang lagi sakit.
Contoh paling apik tentang bagaimana sikap sahabat Nabi saw ketika mendengar seruan azan, dapat dilihat dalam tarikh yang meriwayatkan tentang kisah para sahabat Nabi. Diantaranya riwayat tentang Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, mantu yang juga adalah kemenakan Nabi saw.
Disebutkan dalam tarikh, jika beliau mendengar sahabat Bilal ra mengumandangkan azan, tubuhnya langsung bergetar dan keringat sebesar biji jangung pun keluar membasahi sekujur tubuhnya. Jika sudah seperti itu, Sayyidina Ali ra tidak lagi menghiraukan apa-apa yang ada di sekitarnya. Beliau langsung memenuhi panggilan mu’adzin.
Yang jelas, penyakit hati menuhankan hawa nafsu ini, memang sulit untuk dilihat oleh pribadi yang bersangkutan. Mungkin orang lain mudah menilainya. Hal itu disebabkan, karena sifat hawa nafsu itu sendiri suka menyamarkan diri. Ibarat bunglon, ia bisa berubah warna di manapun ia berada.
Karena itu, tak heran, jika nafsu sangat pandai berapologi. Artinya, mencari-cari alasan pembenar agar kita tetap menuruti kemauannya. Untuk bisa mengetahui penyakit yang satu ini, kita perlu banyak belajar mengasah hati kita sendiri. Sehingga, begitu ada gejala hawa nafsu akan mempertuhankan dirinya sendiri, maka sang hati dapat segera merasakannya. Dengan demikian, kita akan segera beristighfar atau memohon ampunanNya.
Menurut ahlul bashar, penyakit hati suka menuhankan hawa nafsu ini, biasanya sering dialami oleh orang-orang yang secara materi, hidupnya serba cukup atau bahkan berlebihan. Karena serba cukup dan berlebihan itulah, maka ia acapkali jadi gampang sekali terhijab. Terutama ketika ia akan memberikan sebuah penilaian terhadap suatu persoalan secara objektif.
Akibatnya, ketika tindakan yang sebetulnya dalam pandangan syari’at agama masuk dalam kategori sebagai perbuatan dosa, namun karena lagi ada hijab, maka perbuatan tersebut akhirnya dianggap sebagai perbuatan baik dan pantas untuk dilakukan. Begitu pula sebaliknya. Karena itulah, dalam surat Shaad ayat 26, Allah SWT dengan tegas telah memperingatkan manusia:

… penyakit hati menuhankan hawa nafsu ini, memang sulit untuk dilihat oleh pribadi yang bersangkutan. Mungkin orang lain mudah menilainya. Hal itu disebabkan, karena sifat hawa nafsu itu sendiri suka menyamarkan diri. Ibarat bunglon, ia bisa berubah warna di manapun ia berada. ” ... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Karena nafsu negatif yang ada di dalam diri manusia itu cenderung selalu meniupkan sifat lalai, maka menurut ahlul kasyaf, jika manusia menuhankan hawa nafsunya sendiri, ia kelak akan menjadi lupa kepada Allah dan lupa tentang akan adanya hari perhitungan. Lantaran itu jugalah, Allah tidak senang jika hamba-hambaNya memilih hawa nafsunya sendiri sebagai tuhannya.

Jika setiap keinginannya selalu diikuti manusia, maka ia bisa membuat manusia menjadi tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dia peroleh. Selain itu, nafsu juga bisa membuat manusia menjadi lupa diri, manakala ia telah berkolaborasi dengan virus penyakit hati yang bernama merasa tidak pernah cukup. Virus satu ini, menurut salafus shalih, sungguh sangat berbahaya. Sebab, ia bisa merusak bangunan iman-Islam yang ada di dalam diri manusia.
Tidak Mau Bersyukur
ORANG yang tidak mau bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan Allah pada dirinya, merupakan ciri dari perbuatan orang yang hatinya telah terkena virus penyakit hati. Wujud dari perbuatan orang yang tak mau bersyukur itu macam-macam. Diantaranya adalah, tidak terima dengan apa yang telah ia dapatkan, atau selalu merasa kurang dengan apa yang telah ia peroleh.
Begitulah wataknya nafsu. Jika setiap keinginannya selalu diikuti manusia, maka ia bisa membuat manusia menjadi tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dia peroleh. Selain itu, nafsu juga bisa membuat manusia menjadi lupa diri, manakala ia telah berkolaborasi dengan virus penyakit hati yang bernama merasa tidak pernah cukup. Virus satu ini, menurut salafus shalih, sungguh sangat berbahaya. Sebab, ia bisa merusak bangunan iman-Islam yang ada di dalam diri manusia.
Jika manusia sudah terkena pengaruh virus penyakit hati yang bernama merasa tidak pernah cukup ini, ujar para ahlul bashar, maka bisa membuat manusia menjadi tidak kenal dengan dirinya sendiri. Apalagi kenal dengan kehendak Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Buntut dari penyakit hati ini, kata ahlul bashar, manusia akan berubah menjadi makhluk yang ’liar’ dan sulit untuk dikendalikan. Bak seekor banteng yang ngamuk di arena pertarungan ketika ia tengah melawan seorang matador.
Mengapa manusia sampai memilih untuk tidak mau bersyukur kepada Allah SWT yang telah mengaruniainya berbagai kenikmatan hidup di dunia ini? Ada banyak sebabnya. Diantaranya, menurut ahlul kasyaf, pertama, karena manusia telah diperdaya oleh hawa nafsunya sendiri. Kedua, karena manusia serakah terhadap dunia. Ketiga, karena manusia tidak mau mengindahkan pesan-pesan agama. Keempat, karena manusia melupakan hari akhir.
”Sekiranya manusia ingat bahwa setelah hidup di dunia ini nanti, ada lagi kehidupan di akhirat yang lebih abadi, maka pastilah semua manusia akan memilih untuk banyak bersyukur daripada mengeluh. Sebab, sesungguhnyalah, syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberiNya itu, kelak akan menjadi ’kendaraan’ bagi manusia untuk bisa bertemu dengan Tuhan Yang Sebenarnya,” ujar ahlul bashar.
Yang jelas, bersyukur kepada Allah itu merupakan suatu bentuk atau tanda bagi manusia untuk berterima kasih kepada Sang Pencipta. Menurut sejumlah sumber, Allah sangat senang jika rasa syukur yang diungkapkan oleh hambaNya itu tidak hanya bersifat serimonial semata. Melainkan, dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan. Yaitu, menjalankan apa-apa yang telah diperintahkan dan menjauhi apa yang telah dilarang oleh Allah.
Allah sendiri telah berfirman di dalam surat Ali-Imran ayat 145 :

”Sekiranya manusia ingat bahwa setelah hidup di dunia ini nanti, ada lagi kehidupan di akhirat yang lebih abadi, maka pastilah semua manusia akan memilih untuk banyak bersyukur daripada mengeluh. Sebab, sesungguhnyalah, syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberiNya, kelak akan menjadi ’kendaraan’ bagi manusia untuk bisa bertemu dengan Tuhan Yang Sebenarnya,” ujar ahlul bashar.“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Bersyukur kepada Allah, pada dasarnya, merupakan kewajiban bagi seorang hamba. Apalagi jika mengingat betapa banyaknya kemurahan dan kenikmatan yang telah dianugerahi Allah di muka bumi ini.
Karena itu, bagi mereka yang tidak mau bersyukur, maka Allah telah memaklumatkan sebuah ancaman yang sangat pedih. Sedang terhadap mereka yang mau bersyukur, Allah juga telah menjanjikan untuk memberi ’hadiah’ sebagai bentuk penghargaan Allah atas prestasi yang diraih oleh hambaNya.
Perihal mengenai ancaman dan ’hadiah’ yang dijanjikan oleh Allah tersebut, terekam dan tercatat dengan jelas di dalam surat Ibrahim ayat 7 berikut ini:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih."

Pertanyaannya ialah, apa saja yang perlu kita syukuri agar kita tidak mendapat azabNya? Menurut salafus shalih, yang perlu kita syukuri adalah, pertama, anugerah ni’matul ijad (nikmat hidup) yang telah Dia berikan kepada kita. Di mana, dengan sebab anugerah hidup itulah, kita akhirnya punya kesempatan untuk bisa berkarya, beribadah dan berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya. Hal ini penting untuk kita syukuri, karena tidak semua makhluk mendapat kesempatan yang sama seperti kita.
Buktinya, tidak sedikit dari saudara, kerabat, sahabat, teman dan mitra kerja kita yang telah dipanggil lebih awal untuk menghadap Allah. Sedangkan kita, sampai detik ini, masih mendapat anugerah ‘penangguhan’ dari Allah agar kita tetap bisa berkarya, beribadah dan berinteraksi.
Terkait dengan babagan anugerah hidup tersebut, menurut sejumlah salafus shalih, di alam rohani sana, ada triliyunan ruh yang setiap waktu selalu meminta kemurahan Allah untuk diberi raga dan diwujudkan ke dunia ini. Pasalnya, mereka ingin memperoleh prestasi dengan cara banyak beribadah.
Konon, kata para salafus shalih, ruh yang ada di alam malakut sana, selalu meminta kepada Allah untuk diberi kesempatan hidup di dunia ini, karena mereka sadar, bahwa pengabdian kepada Allah hanya bisa dilakukan, manakala mereka diberi kesempatan hidup di dunia. Karena itulah, perlu kita syukuri. Sebab, dengan kita masih diberi ‘penangguhan’ untuk hidup di dunia ini, berarti kita masih diberi kesempatan untuk memperbanyak amal kebajikan.
Setelah itu, kita perlu pula mensyukuri anugerah berupa ni’matul imdad. Yaitu, nikmat berupa anugerah pertolongan dari Allah dalam bentuk bantuan untuk bisa bertahan hidup, bisa memenuhi kebutuhan hidup dan bantuan untuk kita bisa mengabdi kepada Allah. Sebab, sesungguhnya, setiap waktu, Allah selalu memberi pertolongan pada kita. Tapi, sayangnya, kita acapkali tidak pernah tahu dan tidak mau tahu. Akibatnya, kita sering terjebak dalam prasangka buruk kepada Allah.
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa mensyukuri atas anugerah nikmat hidup itu? Salah satu caranya adalah, dengan mengucapkan Alhamdulillah. Selain itu, juga bisa melalui perbuatan. Yaitu, dengan cara belajar beribadah secara benar, belajar menghargai hidup dan kehidupan, belajar mena’ati laranganNya dan belajar menepati setiap perintahNya dengan rasa senang.
Senang di sini bermakna melakukan amal kebajikan bukan karena kita ingin mendapat pahala. Tetapi, semata-mata karena kita memang ingin berterima kasih kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang telah menganugerahkan nikmat sehat dan nikmat bisa hidup di dunia. Soal apakah di akhir dari perjalanan peribadatan kita itu nanti, misalnya, kita bakal mendapat ‘hadiah’ berupa pahala dan ampunan dari Allah atau tidak, hal itu mutlak menjadi kewenangan Allah. Kita tidak perlu ikut campur dalam urusan yang bukan menjadi kewenangan kita.
Yang penting bagi kita dalam konteks belajar praktik syukur atas nikmat yang telah dianugerahkanNya itu adalah, bagaimana caranya agar kita bisa terus berjuang menumbuhkan rasa senang kita kepada Allah. Senang ketika menegakkan laranganNya. Dan senang, ketika menjalankan perintah-perintahNya. Termasuk senang ketika mengerjakan amal kebajikan di muka bumi ini.
Mudah-mudahan, lewat rasa senang kita kepada Allah itulah, Dia berkenan menetapkan hati, pikiran dan langkah hidup kita untuk tetap selalu berada dalam karunia kemurahan dan kasih sayangNya. Dan mudah-mudahan pula, dengan sebab kemurahanNya, kita bisa masuk dalam kategori hamba-hambaNya yang bisa dan tahu bersyukur kepadaNya. Sehingga, dengan demikian, kita bisa terbebas dari siksa api neraka, sebagaimana yang telah Dia sabdakan dalam surat An-Nisaa’ ayat 147 :
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (Qs. 4 : 147)
Begitu tingginya nilai fadhal yang telah dijanjikan oleh Allah untuk orang-orang yang mau bersyukur kepadaNya, sehingga membuat Tuhan Yang Sebenarnya menjadi merasa sungkan untuk menyiksa hambaNya yang mau bersyukur. Tidak inginkah Anda menjadi salah satu hambaNya yang bakal mendapat kemanjaanNya di hari di mana tidak ada perlindungan dan pertolongan melainkan hanya dari diriNya?

Menganggap Remeh Syari’at Nabi
Orang yang hatinya lagi sakit, menurut para salafus shalih, biasanya tidak merasa malu --- apalagi takut --- untuk nerabas syari’at yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Bahkan, malah sebaliknya, orang yang hatinya lagi sakit itu, justru selalu berusaha mencari-cari alasan untuk bisa meninggalkan perintah Allah dan RasulNya. Jangankan perintah Rasul. Apa yang dilarang oleh Allah SWT pun, mereka berani melanggarnya. SALAH satu ciri orang yang hatinya lagi terkena virus penyakit hati adalah, suka meremehkan syari’at yang dibawa oleh Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah saw. Bentuk perbuatannya, bisa bermacam ragam. Misalnya, mengesampingkan amalan wajib yang diperintahkan oleh Nabi saw. Padahal, apa yang diwajibkan oleh Nabi saw untuk dikerjakan itu, pada dasarnya, adalah juga merupakan perintah dari Allah SWT.
Orang yang hatinya lagi sakit, menurut para salafus shalih, biasanya tidak merasa malu --- apalagi takut --- untuk nerabas syari’at yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Bahkan, malah sebaliknya, orang yang hatinya lagi sakit itu, justru selalu berusaha mencari-cari alasan untuk bisa meninggalkan perintah Allah dan RasulNya. Jangankan perintah Rasul. Apa yang dilarang oleh Allah SWT pun, mereka berani melanggarnya.
Mengapa hal itu sampai terjadi? Karena, orang yang sudah dikuasai oleh virus penyakit hati itu, acapkali tak mau mengindahkan nasihat dari para ulama yang notabene adalah para pewaris syari’at Nabi saw. Atau bisa juga karena mereka memang tidak mau mendengar dan mempraktikkan syari’at Nabi, lantaran hati dan pikirannya telah dikuasai oleh hawa nafsu.
Itulah repotnya kalau manusia sudah dikuasai oleh virus penyakit hati yang bernama merasa tahu. Mereka jadi gampang sekali terpedaya. Apalagi jika virus bernama merasa tahu itu telah kongkalikong dengan hawa nafsu, maka bisa membuat orang yang telah terkontaminasi virus tersebut jadi tambah ’berani’ melanggar syari’at Kanjeng Nabi saw.
...meremehkan syari’at Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah saw itu, aslinya, sama saja telah meremehkan Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Sedang berani meremehkan Allah --- yaitu Zat yang telah menciptakan kehidupan dari ’tidak ada’ menjadi ’ada’ --- sama saja telah mengingkari kekuasanNya. Karenanya, para salafus shalih selalu mengingatkan para pejalan rohani untuk senantiasa waspada terhadap sepak terjang virus penyakit hati yang bernama merasa tahu itu. Sebab, kalau ia sudah masuk dalam hati dan pikiran para pejalan rohani, maka bisa membuat mereka menjadi kehilangan semangat untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Yang jelas, ujar ahlul bashar, meremehkan syari’at Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah saw itu, aslinya, sama saja telah meremehkan Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Sedang berani meremehkan Allah --- yaitu Zat yang telah menciptakan kehidupan dari ’tidak ada’ menjadi ’ada’ --- sama saja telah mengingkari kekuasanNya.
Apalagi dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah saw telah bersabda : “Siapa yang ta’at kepadaku, berarti ta’at kepada Allah. Dan siapa yang melanggar padaku, berarti melanggar Allah” (HR. Bukhari – Muslim).
Bahkan dalam surat Al-Mujaadilah ayat 20, Allah SWT juga telah berfirman kepada manusia:
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.”
Demikian juga dalam surat Al-Anfaal ayat 20, Allah telah memerintahkan manusia:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berpaling dari padaNya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahNya).”
Terkait dengan hal itulah, ahlul bashar mengatakan, apabila seseorang itu betul-betul mencintai Allah dan RasulNya melebihi dari kecintaannya terhadap dirinya sendiri, maka berarti ia harus mau mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah saw dalam meniti hidup. Termasuk dalam menjaga diri agar tidak tertipu oleh hawa nafsunya sendiri.
Lupa Dengan Tujuan Akhir
LUPA dengan tujuan akhir, merupakan ciri orang-orang yang hatinya lagi terkena virus penyakit hati bernama gila terhadap dunia. Virus satu ini termasuk virus yang paling sulit untuk dilokalisir. Sebab, ia berada di dalam hati dan pikiran manusia yang notabene hidup dan tinggal di dunia.
Virus gila terhadap dunia itu, akan semakin sulit untuk dikendalikan, ketika ia telah bersekutu dengan hawa nafsu manusia. Jika hal itu sampai terjadi, kata ahlul kasyaf, maka dapat dipastikan, orang yang telah terkena virus tersebut akan menjadi sangat piawai dan ahli dalam kerusakan. Virus gila terhadap dunia itu, akan semakin sulit untuk dikendalikan, ketika ia telah bersekutu dengan hawa nafsu manusia. Jika hal itu sampai terjadi, kata ahlul kasyaf, maka dapat dipastikan, orang yang telah terkena virus tersebut akan menjadi sangat piawai dan ahli dalam kerusakan.
Ke mana pun kakinya melangkah, ia pasti akan mengajak orang yang telah dikuasainya itu menuju jalan kerusakan. Dan ke mana pun matanya memandang, yang nampak hanyalah pintu kemaksiatan. Demikian juga halnya dengan apapun yang dikerjakan oleh akal pikirannya, maka yang muncul adalah api keserakahan yang selalu berkobar-kobar.
Itulah gambaran orang-orang yang telah terinfeksi virus penyakit hati gila terhadap dunia. Dunia mereka jadikan sebagai tujuan hidup yang harus dimiliki dan dikuasai. Untuk bisa meraih tujuan hidupnya itu agar bisa tercapai, mereka tidak lagi memikirkan tentang soal halal-haram. Rambu-rambu syari’at tidak berlaku bagi orang-orang yang telah dijangkiti oleh virus gila terhadap dunia.
Menurut ahlul bashar, virus penyakit hati gila terhadap dunia ini muncul dan tumbuh subur bersamaan dengan adanya sikap lalai pada manusia dalam menata dan memperhatikan niatnya saat memandang dunia. Hidup di dunia dianggap sebagai tujuan. Padahal, menurut ahlul bashar, aslinya, hidup di dunia itu adalah ujian, bukan tujuan.
... barang siapa yang menjadikan hidup di dunia itu sebagai tujuan yang harus ia raih, maka ia pasti akan kecewa dan merugi. Sebab, tidak semua yang ada di dunia ini, bisa dimiliki dan diraih. Sebaliknya, kata salafus shalih, jika ingin menjadi makhluk yang beruntung --- baik di dunia maupun di akhirat nanti --- maka sering-seringlah mengingat hari akhir atau kematian. Sebab, hari akhir dan kematian itu adalah sesuatu yang sudah pasti dan bakal kita lalui. Karena itulah, para salafus shalih mengingatkan, barang siapa yang menjadikan hidup di dunia ini sebagai tujuan yang harus ia raih, maka ia pasti akan kecewa dan merugi. Sebab, tidak semua yang ada di dunia ini, bisa dimiliki dan diraih. Sebaliknya, kata salafus shalih, jika ia ingin menjadi makhluk yang beruntung --- baik di dunia maupun di akhirat nanti --- maka sering-seringlah mengingat hari akhir atau kematian. Sebab, hari akhir dan kematian itu adalah sesuatu yang sudah pasti dan bakal kita lalui.
Terkait dengan persoalan tersebut, Rasulullah saw pernah bersabda: ”Siapa belajar ilmu yang biasanya ditujukan untuk mencari ridha Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mencapai tujuan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Dawud ra dari Abu Hurairah ra)
Oleh karena itu, jauh-jauh hari Allah telah mengingatkan manusia dalam surat Ali-Imran ayat 185:
”... kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Bahkan dalam ayat yang lainnya, yaitu surat Al-An’am ayat 32, Allah SWT juga telah berfirman:
”Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh, kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”
Yang jelas, sesuatu yang bersifat main-main dan senda gurau itu, tentu akan membawa pada kelalaian. Karena itu, kata ahlul kasyaf, semua kehidupan di dunia ini, jika dijadikan sebagai tujuan hidup dan dikejar hingga mati-matian, maka ia kelak akan melalaikan manusia dari mengingat Allah.
Pada saat itulah, tukas ahlul kasyaf, semakin mudah bagi virus gila terhadap dunia memerintah hawa nafsu untuk menyebarkan pengaruhnya ke dalam hati dan pikiran manusia. Tujuannya tidak lain adalah, untuk membujuk manusia agar melupakan masalah tujuan akhir hidup di muka bumi. Yaitu beribadah kepada Tuhan Yang Sebenarnya.

Tak Mau Memuliakan Tamu
ORANG yang tak mau memuliakan tamu yang datang berkunjung ke rumahnya, berarti hati orang tersebut sedang sakit. Yaitu, telah disusupi oleh virus penyakit hati yang bernama virus merasa hebat. Virus inilah yang telah membuat orang yang dikunjungi tamu itu tidak kenal dengan jalan kemuliaan yang telah dibentangkan oleh Allah SWT di hadapannya.
”Barang siapa menghormati tamu, maka sungguh dia telah menghormati saya. Dan barang siapa menghormati saya, maka sungguh dia telah menghormati/memuliakan Allah. Dan barang siapa telah menjadikan kemarahan tamu, maka sungguh dia telah menjadikan kemarahan saya. Dan barang siapa menjadikan kemarahan saya, sesungguhnya dia telah menjadikan murka Allah.” Sebab, sekiranya ia kenal dengan jalan kemuliaan, tentulah dia akan berterima kasih dan bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla karena telah menggerakkan makhlukNya untuk datang berkunjung ke rumahnya. Sebab, menurut Rasulullah saw:
”Barang siapa menghormati tamu, maka sungguh dia telah menghormati saya. Dan barang siapa menghormati saya, maka sungguh dia telah menghormati/memuliakan Allah. Dan barang siapa telah menjadikan kemarahan tamu, maka sungguh dia telah menjadikan kemarahan saya. Dan barang siapa menjadikan kemarahan saya, sesungguhnya dia telah menjadikan murka Allah.”
Karena itulah, Nabi saw menganjurkan umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam memuliakan tamu yang datang ke rumahnya. Sebab, memuliakan tamu itu merupakan salah satu amal kebajikan yang sangat disenangi oleh Allah SWT dan RasulNya. Sehingga, siapa saja yang melakukan amal kebajikan itu dengan tulus-ikhlas, maka insya Allah ia kelak akan mendapat ’hadiah’ kemuliaan dari Allah dan RasulNya.
Begitu tingginya derajat memuliakan tamu, sampai-sampai orang yang melakukan amal kebajikan itu, dikatakan oleh Nabi saw, kedudukannya sama saja dengan telah memuliakan Nabi saw. Begitu pula sebaliknya, ujar Nabi saw, ”barang siapa telah menjadikan kemarahan tamu, maka sungguh dia telah menjadikan kemarahan saya.”
Pertanyaannya ialah, mengapa orang yang di dalam hatinya ada virus penyakit hati itu tak mau memuliakan tamu? Paling tidak ada dua alasan yang membuat orang yang sedang sakit hatinya itu tak mau memuliakan tamu. Yaitu: Pertama, karena dia tidak memahami tentang anjuran untuk memuliakan tamu. Sebab, sekiranya dia memang betul-betul paham, maka tentulah dia tidak akan mungkin meninggalkan perintah untuk memuliakan tamu tersebut.
Kedua, karena dia tidak kenal dengan Allah, Zat yang telah menggerakkan makhlukNya untuk berkunjung ke tempatnya. Sebab, sekiranya dia kenal kepada Allah, maka tentulah dia tidak akan mungkin menolak --- apalagi melecehkan --- tamu yang telah digerakkan oleh Allah datang ke rumahnya. Apalagi Nabi saw sendiri pernah dhawuh: ”Sesungguhnya, tamu itu, bilamana masuk ke rumah seorang mukmin, maka dia bersama dengan seribu berkah dan seribu rahmat.”
Terkait dengan kedudukan tamu yang datang ke rumah seseorang atas kehendak Allah itulah, para ahlul kasyaf seringkali mengingatkan para pejalan rohani untuk memperhatikan masalah tersebut secara sungguh-sungguh. Sebab, ujar ahlul kasyaf, memuliakan tamu itu pada dasarnya merupakan tanda keikhlasan seorang hamba dalam menerima kehendak Allah.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, ada salah seorang ahlul suffah yang rumahnya dimasuki oleh pencuri. Karena sang pencuri tak menemukan apapun di dalam rumah itu, maka ketika ia akan beranjak keluar dari rumah sang ahlul suffah, ternyata tuan rumah memanggilnya dan memberinya sekerat roti. Sang pencuri pun jadi bingung.
”Siapapun yang datang bertamu ke rumah ini, tak boleh pergi tanpa membawa sesuatu apapun,” ujar sang tuan rumah membuyarkan kebingungan sang pencuri.
Kisah tersebut merupakan pelajaran bagi kita semua tentang betapa pentingnya menghormati tamu. Kita tidak perlu terpaku pada masalah niat atau maksud sang tamu datang ke rumah kita. Yang penting, kita belajar menghormati dan memuliakan sang tamu tersebut sebagai sesama makhluk Allah.
Apalagi dalam kitab Kanzul Akhbaari disebutkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Malaikat Jibril asw memberitahu kepada saya: Sesungguhnya tamu itu bilamana mengunjungi saudaranya muslim, maka dia datang dengan membawa seribu berkah dan seribu rahmat. Dan Allah mengampuni dosa-dosa penghuni rumah itu, meskipun dosa-dosanya lebih banyak daripada buih yang ada di laut dan lebih banyak dari daun pohon-pohonan. Allah memberi kepadanya pahala seribu orang yang mati syahid. Dan Allah mencatat baginya tiap-tiap suapan yang dimakan oleh tamu akan pahala haji yang mabrur dan umrah yang diterima. Bahkan Allah membangunkan baginya sebuah kota di dalam surga. Dan barang siapa memuliakan tamu, maka seakan-akan dia telah memuliakan tujuh puluh nabi.”
Subhanallaah, Maha Suci Allah. Begitu Maha Pemurahnya Allah, sehingga barang siapa yang memuliakan tamu karena mengharap ridhaNya, maka dosa-dosanya bakal diampuni Allah dan ia bakal mendapat ganjaran pahala sebesar seribu orang yang mati syahid. Bahkan, Allah pun tak segan-segan untuk mencatat perbuatan orang yang memuliakan tamu itu tak ubahnya seperti orang yang menunaikan ibadah haji dan umrahnya diterima Allah.
Pendek kata, di akhirat kelak, Allah akan membalas kebaikan bagi orang yang memuliakan tamu yang datang ke rumahnya itu dengan membangunkan sebuah kota di dalam surga. Yang demikian itu dilakukan oleh Allah, sebagai bentuk balasan dari Allah untuk orang-orang yang memuliakan tamu. Sebab, orang yang memuliakan tamu itu, kata Rasulullah saw, kedudukannya sama saja ia telah memuliakan tujuh puluh orang nabi. Pendek kata, di akhirat kelak, Allah akan membalas kebaikan bagi orang yang memuliakan tamu yang datang ke rumahnya itu dengan membangunkan sebuah kota di dalam surga. Bayangkan. Allah akan membangunkan sebuah kota di dalam surga. Yang demikian itu dilakukan oleh Allah, sebagai bentuk balasan dari Allah untuk orang-orang yang memuliakan tamu. Sebab, orang yang memuliakan tamu itu, kata Rasulullah saw, kedudukannya sama saja ia telah memuliakan tujuh puluh orang nabi.
Lantaran itulah, dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya: ”Tidak seorang pun yang dikunjungi oleh tamu, kemudian dia memuliakannya, kecuali Allah membukakan baginya sebuah pintu surga.” Atau dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari – Muslim, Rasulullah saw juga pernah bersabda: ” ... Siapa yang iman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia menghormati tamunya ...” (HR. Bukhari – Muslim).
Dari hadis tersebut di atas, mengisyaratkan dengan tegas pada kita, bahwa barang siapa yang tidak mau memuliakan tamu yang datang ke rumahnya, maka berarti ia tidak punya iman kepada Allah dan hari akhir. Dan orang yang tidak punya iman kepada Allah dan hari akhir itu, kelak akan mendapat siksa yang pedih, seperti yang disabdakan Nabi saw berikut ini:
”Tiada seorangpun yang kedatangan tamu, maka dia menghormatinya dan menghidangkan makanan dari apa yang ada, kecuali dibukakan oleh Allah baginya sebuah pintu di dalam surga. Dan barang siapa meramaikan tempat tempat yang kosong, yakni memberikan makan kepada orang yang lapar, maka pastilah baginya jaminan surga.”
... bahwa barang siapa yang tidak mau memuliakan tamu yang datang ke rumahnya, maka berarti ia tidak punya iman kepada Allah dan hari akhir. Dan orang yang tidak punya iman kepada Allah dan hari akhir itu, kelak akan mendapat siksa yang pedih ...”Barang siapa enggan memberikan makan kepada orang yang lapar, maka Allah menjauhkan fadhal dari padanya besok di hari kiamat. Bahkan akan menyiksanya di dalam neraka. Barang siapa memberi makan kepada orang yang lapar dengan ikhlas karena Allah, maka pastilah baginya jaminan surga.”

Merasa Punya Jasa
MERASA punya jasa adalah salah satu ciri virus penyakit hati. Ordo virus jenis ini berasal dari virus yang bernama merasa memiliki. Indikator orang yang terkena virus merasa memiliki ini bisa dilihat dari aspek antara lain:
Pertama, dari gerak dzahir si penderita. Apakah orang yang hatinya lagi sakit itu merasa senang atau sedih ketika menyaksikan sesuatu yang ‘dimilikinya’ itu sedang berada dalam situasi yang kurang kondusif? Jika ia merasa sedih dan marah-marah ketika melihat dan menyaksikan sesuatu yang diakui sebagai ‘miliknya’ itu sedang dalam kerusakan, maka itu berarti bahwa ia telah terinfeksi virus penyakit hati merasa memiliki.
... menurut ahlul bashar, orang yang terkena virus penyakit hati merasa memiliki ini, biasanya, tidak terima jika sesuatu yang diakui sebagai ‘miliknya’ itu berada dalam kerusakan. Sebab, umumnya, si pemilik menginginkan agar sesuatu yang ‘dimilikinya’ itu tidak boleh rusak, alias harus selalu apik. Pasalnya, menurut ahlul bashar, orang yang terkena virus penyakit hati merasa memiliki ini, biasanya, tidak terima jika sesuatu yang diakui sebagai ‘miliknya’ itu berada dalam kerusakan. Sebab, umumnya, si pemilik menginginkan agar sesuatu yang ‘dimilikinya’ itu tidak boleh rusak, alias harus selalu apik.
Kedua, perhatikan apakah sikap orang yang merasa ‘memiliki’ itu tinggi hati atau justru merendah ketika menyaksikan sesuatu yang diakui sebagai ’miliknya’ itu sedang mendapat pujian dan dielu-elukan oleh banyak orang? Jika ia tiba-tiba merasa tinggi hati dan bangga karena sesuatu yang diakui sebagai ‘miliknya’ itu telah berhasil, maka berarti orang tersebut telah terkena virus penyakit hati merasa punya jasa.
menurut ahlul kasyaf, orang yang hatinya telah terinfeksi virus penyakit hati merasa punya jasa ini, biasanya, gampang sekali muring-muring ketika sesuatu yang diakui sebagai ’miliknya’ itu tidak mau patuh pada keinginannya. Apalagi jika ia sampai bersikap ngontras dan melakukan perlawanan terhadap orang yang merasa memiliki tersebut. Kemarahannya bisa bertambah besar. Lebih-lebih jika hati dan pikirannya sudah disusupi oleh nafsu lawwaamah dan amarah. Ketiga, perhatikan pula bagaimana reaksi orang yang merasa memiliki itu, ketika, misalnya, sesuatu yang diakui sebagai ’miliknya’ tersebut, tiba-tiba berubah menjadi lebih sukses daripada dirinya. Apakah orang tersebut akan mengungkit-ungkit rahasia kesuksesannya --- dengan mengatakan, kalau bukan saya, tidak mungkin ia akan berhasil --- atau ia malah ikut mensyukuri kesuksesan itu? Jika ia mengungkit-ungkit, berarti ia telah terkena virus penyakit hati merasa punya jasa.
Singkat kata, menurut ahlul kasyaf, orang yang hatinya telah terinfeksi virus penyakit hati merasa punya jasa ini, biasanya, gampang sekali muring-muring ketika sesuatu yang diakui sebagai ’miliknya’ itu tidak mau patuh pada keinginannya. Apalagi jika ia sampai bersikap ngontras dan melakukan perlawanan terhadap orang yang merasa memiliki tersebut. Kemarahannya bisa bertambah besar. Lebih-lebih jika hati dan pikirannya sudah disusupi oleh nafsu lawwaamah dan amarah.
”Orang yang punya penyakit hati merasa punya jasa ini, jika sudah disusupi nafsu lawwaamah dan amarah, maka ia bisa terjebak ke dalam perbuatan ’merampas’ kekuasaan Allah,” ujar ahlul kasyaf.
Karena efek yang ditimbulkan dari resiko perbuatan virus penyakit hati merasa punya jasa itu bisa berakibat hilangnya iman-Islam di dalam diri si penderita, maka salafus shalih seringkali mengingatkan para pejalan rohani untuk sebisa mungkin menjauhi virus tersebut. Sebab, daya cengkeram dan pengaruh negatif yang dihembuskan oleh virus penyakit hati merasa punya jasa itu sangat liar dan sulit untuk dilemahkan.
Apalagi Allah sendiri telah berfirman di dalam surat An-Najm ayat 31 :


”Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan, dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).”

Kasar Terhadap Sesama Makhluk
BERSIKAP kasar terhadap sesama makhluk Allah, merupakan cerminan dari adanya virus penyakit hati. Sebab, menurut ahlul ibadah, orang yang hatinya sedang sakit, biasanya sering bersikap kasar. Tidak hanya kepada makhluk lain. Bahkan, terhadap dirinya sendiri pun, terkadang orang-orang yang hatinya lagi sakit itu, suka berlaku kasar.
Hal seperti itu bisa terjadi, karena pintu cinta dan kasih sayang yang ada di dalam hati orang yang terkena virus penyakit hati itu, tertutup. Akibatnya lahirlah sikap kasar seperti, berlaku keras, kejam, arogan dan antipati terhadap sesama makhluk Allah.
… orang yang hatinya sedang sakit, biasanya sering bersikap kasar. Tidak hanya kepada makhluk lain. Bahkan, terhadap dirinya sendiri pun, terkadang orang-orang yang hatinya lagi sakit itu, suka berlaku kasar. Efek dari perbuatan kasar itu, jika dibiarkan, bisa membuat hati orang yang menderita virus penyakit hati tersebut akan menjadi semakin keras, beku dan kaku. Ujung-ujungnya, bisa membuat manusia jadi tidak kenal dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Termasuk tidak kenal dengan Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dikatakan demikian karena, bersikap kasar terhadap sesama makhluk ciptaan Allah Azza wa Jalla itu, sama artinya dengan telah mengingkari misi diciptakannya dan diutusnya manusia di muka bumi. Yaitu untuk saling mengenal dan berbagi kasih sayang.
Karena itulah, di dalam surat Al-Hujuraat ayat 13, Allah SWT telah berfirman :
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Yang jelas, menurut ahlul bashar, perbuatan kasar yang dilakukan oleh orang-orang yang hatinya lagi sakit itu, bukanlah cerminan dari seorang hamba yang rajin ibadah dan selalu ta’at kepada Allah dan RasulNya. Sebab, orang yang rajin ibadah serta ta’at kepada Allah dan RasulNya, biasanya malah bersikap lemah-lembut dan hatinya selalu dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk. Allah Rabbul ’Izzati sendiri telah berfirman di dalam surat Maryam ayat 96:
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”
Dari firman Allah dalam surat Maryam ayat 96 tersebut, sudah sangat jelas bagaimana janji Allah pada manusia. Lantaran itulah, Nabi saw selalu menganjurkan umatnya agar menghidup-suburkan rasa kasih sayang antar sesama makhluk ciptaan Allah. Tujuannya tidak lain adalah, untuk menyelamatkan manusia agar terhindari dari virus penyakit hati bersikap kasar terhadap sesama makhlukNya.

Senang Marah-Marah
CIRI orang yang telah terinfeksi virus penyakit hati merasa benar adalah, ia suka marah-marah. Pasalnya kenapa? Karena, perasaan merasa benar yang ada di dalam hati dan pikirannya itu, telah menutup pintu penilaian objektif terhadap prestasi dan karya orang lain, sehingga ia tidak bisa melihat adanya kebaikan pada orang lain.
Menurut ahlul bashar, orang yang telah terkontaminasi virus penyakit hati merasa benar itu, jika dia mengekspresikan rasa marahnya, biasanya, tidak mengenal tempat dan waktu. Di mana pun, kapan pun dan dalam situasi yang bagaimana pun, kalau virus merasa benar itu telah bereaksi dan bersekutu dengan nafsu amarah, maka orang yang telah terinfeksi, biasanya, akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan keinginannya untuk marah.
... jika setan sudah menyusup ke dalam virus penyakit hati merasa benar dan nafsu amarah yang ada di dalam diri manusia ..., maka seorang ahli ibadah sekalipun, bisa menjadi gelap mata dan kehilangan iman-Islam. Pasalnya, orang yang dalam kondisi sedang terbakar oleh nafsu amarah yang dihembuskan oleh setan, cenderung akan kehilangan akal sehatnya. Apalagi jika dia pada saat itu merasa berada dalam posisi benar.”Begitulah watak virus merasa benar jika dia telah bersekutu dengan nafsu amarah. Manusia yang telah dikuasainya, akan kehilangan kendali,” ujar ahlul bashar.
Selain tidak mengenal tempat, waktu dan situasi, virus merasa benar juga tidak pernah mengenal adanya perbedaan sosial, derajat, kedudukan dan jabatan yang disandang oleh seseorang. Apa pun status dan kedudukannya, virus merasa benar bisa masuk ke dalam hati dan pikiran manusia lewat berbagai jalan serta berbagai cara.
Kondisinya akan semakin runyam lagi, jika setan sudah menyusup ke dalam virus merasa benar dan nafsu amarah yang ada di dalam diri manusia. Jika hal itu sampai terjadi, kata ahlul kasyaf, maka seorang ahli ibadah sekalipun, bisa menjadi gelap mata dan kehilangan iman-Islam. Pasalnya, orang yang dalam kondisi sedang terbakar oleh nafsu amarah yang dihembuskan oleh setan, cenderung akan kehilangan akal sehatnya. Apalagi jika dia pada saat itu merasa berada dalam posisi benar.
Mengapa orang yang hatinya lagi sakit itu cenderung gampang sekali terbakar emosinya? Ada beberapa alasan yang seringkali dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh orang yang hatinya lagi sakit itu memilih untuk melampiaskan emosinya dengan cara marah-marah.
Pertama, mereka menganggap, mengungkapkan rasa kesal dalam hatinya lewat marah-marah itu, merupakan tanda kalau dirinya saat itu berada dalam kondisi sehat dan normal. Kedua, mereka menganggap, marah itu bisa melepaskan, minimal mengurangi, beban masalah yang sedang ia hadapi.
Ketiga, mengungkapkan kejengkelan hati lewat marah itu, seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar jika dilakukan oleh manusia. Hanya malaikat yang tidak bisa marah. Keempat, mereka sering menganggap, marah itu bisa dijadikan sebagai jalan untuk mempertegas posisi, kedudukan dan status dirinya sebagai pihak yang benar di hadapan makhluk lainnya. Kelima, karena mereka merasa senang bisa memarahi orang lain.
Padahal, kata para ’arifin, kalau diresapi dan direnungkan lebih jauh, sesungguhnya marah itu justru membuat orang yang lagi marah-marah tersebut bisa menjadi jauh dari Allah dan jauh dari makhlukNya. Apa sebabnya? Karena Allah dan makhlukNya tidak suka dengan orang yang suka marah-marah. Selain, tentu saja, marah itu sendiri bisa menutup pintu maaf dan pintu kebajikan bagi makhluk lain.
Karena itulah, dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saw pernah bersabda kepada umatnya: ”Bukan seorang yang kuat itu, yang kuat bergulat. Tetapi, orang yang sungguh kuat, yaitu yang dapat menahan hawa nafsunya ketika marah.” (HR. Bukhari – Muslim dari Abu Hurairah ra)
Bayangkan, Rasulullah saw menggambarkan, orang yang kuat itu bukanlah mereka yang punya otot, bertubuh besar, kekar dan pandai dalam bergulat atau bertarung. Justru sebaliknya. Kata Nabi saw, orang yang kuat itu adalah mereka yang bisa menahan hawa nafsunya ketika marah, meskipun sebetulnya dia mampu untuk melakukannya.
Bahkan, dalam surat Al-Baqarah ayat 237, Allah SWT juga telah berfirman:

”... dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
Mengapa agama Islam melarang umatnya untuk marah-marah? Jawaban dari pertanyaan ini, bisa Anda temukan dalam kisah yang kami dapatkan dari lembaran buletin Jum’at di salah satu rumah Allah yang berjudul Paku berikut ini:

P-A-K-U
Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang senangnya suka marah-marah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku seraya mengatakan pada anaknya untuk menancapkan sebuah paku di pagar belakang rumah setiap kali dia akan marah.
Hari pertama, anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar, setiap kali dia marah. Lalu, secara bertahap, jumlah itu berkurang. Lambat-laun, sang anak akhirnya menyadari. Ternyata, jauh lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan paku itu ke pagar.
Akhirnya tibalah hari di mana sang anak tersebut merasa sama sekali telah bisa mengendalikan amarahnya. Dia memang terlihat lebih sabar. Kemudian sang anak memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Sang ayah menyambut berita gembira itu dengan rasa senang dan penuh syukur. Ia kemudian mengusulkan kepada anaknya agar mencabut satu paku untuk setiap kali dia tidak marah.
Hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya, bahwa semua paku telah dia cabut. Lalu sang ayah dengan lembut menuntun anaknya menuju pagar. ”Subhanallah ... kamu betul-betul telah berhasil menahan amarah dengan baik anakku. Tetapi, coba lihatlah lubang-lubang yang ada di pagar ini, wahai anakku. Pagar ini, ternyata tidak pernah bisa sama seperti sebelumnya,” kata sang ayah.
”Anakku, ketahuilah. Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahanmu, maka kata-katamu itu akan meninggalkan bekas seperti lubang ini di dalam hatimu maupun di hati orang yang kamu marahi itu,” ujar sang ayah sembari mengacungkan telunjuknya ke arah lubang yang terdapat di pagar tersebut.
”Duhai anakku, kamu bisa saja menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabutnya kembali. Tetapi, meskipun kamu mengucapkan ribuan kali kata maaf pada orang yang telah kamu tusuk itu, maka ketahuilah, bekas luka akibat tusukan pisaumu itu, akan tetap ada. Dan ingatlah wahai anakku, luka karena kata-kata akibat dari kemarahan atau fitnahmu adalah lebih pedih daripada luka fisik itu sendiri,” tukas sang ayah.
Sejak peristiwa itu, sang anak tak pernah lagi marah-marah. Ia lebih banyak berdiam diri seraya menyebut namaNya. Ia tidak banyak bicara, kecuali seperlunya. Dia selalu mengulang-ulang pesan atau nasihat ayahnya.
Setiap kali dia ingat tentang lubang paku yang terdapat di pagar belakang rumahnya, ia langsung menangis. Sontak, air matanya pun akan mengalir deras di pipinya. Untuk alasan yang semacam itulah, agama Islam kemudian melarang umatnya agar jangan suka marah.

Senang Melihat Orang Susah
ORANG yang merasa senang jika melihat ada orang lain lagi susah --- lebih-lebih jika orang lain tersebut adalah orang yang pernah menyakiti hatinya atau ‘musuhnya’ --- maka orang yang demikian itu, sebetulnya, hatinya dalam kondisi sedang sakit. Hati orang yang demikian itu telah diserang oleh virus penyakit hati yang bernama dendam kesumat. Sebab, kalau hati orang tersebut dalam kondisi sehat, maka tentulah dia tidak akan berbuat seperti itu.
Apalagi agama Islam tidak pernah mengajarkan para pemeluknya untuk tertawa, gembira dan bersuka cita di atas derita atau kesedihan orang lain. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda kepada umatnya tentang bagaimana caranya agar bisa merasa senang, bahagia dan gembira tanpa melukai perasaan orang yang sedang bersedih hati lantaran tertimpa musibah.
… salah satu ciri yang dibawa oleh virus dendam kesumat itu adalah, ia selalu berharap agar orang yang menjadi ‘musuhnya’ atau rivalnya celaka. Harapan itulah yang acapkali membuat orang yang hatinya lagi sakit tersebut, sering kehilangan rasa kepedulian dan perhatian terhadap sesama. Akibatnya, ketika ‘musuhnya’ itu sedang dalam kesedihan, maka dia malah merasa senang.Misalnya dalam hadis dari Watsilah bin Al-Asqa’ ra: Rasulullah saw bersabda : ”Jangan menunjukkan kegembiraanmu dalam kesusahan saudaramu, maka Allah akan menyembuhkan (menyelamatkan) dan membalas ujian padamu.” (HR. Attirmidzy).
Menurut kaum ‘arifin, orang yang senang jika melihat orang lain lagi susah itu, biasanya adalah orang-orang yang sering memelihara virus penyakit hati dendam kesumat. Sebab, salah satu ciri yang dibawa oleh virus dendam kesumat itu adalah, ia selalu berharap agar orang yang menjadi ‘musuhnya’ atau rivalnya celaka. Harapan itulah yang acapkali membuat orang yang hatinya lagi sakit tersebut, sering kehilangan rasa kepedulian dan perhatian terhadap sesama. Akibatnya, ketika ‘musuhnya’ itu sedang dalam kesedihan, maka dia malah merasa senang.
Dalam pandangan kaum ’arifin, orang yang tengah terbakar oleh virus dendam membara karena tidak tersampaikan itu, memang seringkali mendorong orang yang memelihara penyakit hati tersebut menjadi semakin tidak sadar kalau dirinya telah memupuk harapan-harapan negatif --- yang lambat laun bisa berubah menjadi sebuah do’a buruk --- terhadap orang lain. Buntutnya, tatkala ia menerima kabar atau berita perihal kondisi orang yang ’dimusuhinya’ itu sedang tersandung permasalahan, maka diam-diam virus penyakit hati dendam kesumat itu akan menyuntikkan sumpah-serapah serta serum rasa senang dan puas di dalam hati dan pikiran si penderita. Seolah-olah ia akan menyuarakan di dalam hati dan pikiran si penderita, bahwa dendamnya telah ‘terbalaskan’ lewat peristiwa tersebut.
Pada umumnya, orang yang terkena virus penyakit hati dendam kesumat, selalu dibayang-bayangi oleh rasa tidak terima dan dicengkeram perasaan ingin menuntut-balas agar dapat melakukan perbuatan serupa kepada orang yang telah membuat dirinya menjadi dendam kesumat. Perasaan itu muncul karena si penderita masih sering melihat sebuah permasalahan itu berdasarkan hitam-putih dan salah-benar. Akibatnya, si penderita lupa pada Zat yang berkuasa dan yang telah menggerakkan seorang makhluk untuk melakukan sesuatu perbuatan. Yang jelas, ujar ahlul kasyaf, orang yang memelihara virus penyakit hati yang bernama dendam kesumat itu, hatinya acapkali menjadi beku. Pasalnya, penyakit dendam kesumat yang ada di dalam hatinya itu, akan berubah menjadi hijab bagi penglihatan, pendengaran dan pemikirannya. Buntutnya, ketika si penderita ingat tentang perbuatan yang pernah dilakukan oleh ’musuhnya’ itu, si penderita akan menjadi kesal, jengkel dan tidak terima.
Semakin sering perasaan itu muncul di dalam hati dan pikiran si penderita, maka ia akan semakin merasa kehilangan rasa penghormatan, penghargaan dan pemuliaan terhadap orang yang telah menjadi ’musuh’ atau rivalnya itu. Yang tersisa hanyalah perasaan ingin membalas ketidakterimaannya terhadap orang yang telah berbuat tidak menyenangkan atas dirinya saat itu.
Pada umumnya, orang yang terkena virus penyakit hati dendam kesumat, selalu dibayang-bayangi oleh rasa tidak terima dan dicengkeram perasaan ingin menuntut-balas agar dapat melakukan perbuatan serupa kepada orang yang telah membuat dirinya menjadi dendam kesumat. Perasaan itu muncul karena si penderita masih sering melihat sebuah permasalahan itu berdasarkan hitam-putih dan salah-benar. Akibatnya, si penderita lupa pada Zat yang berkuasa dan yang telah menggerakkan seorang makhluk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Terkait dengan perbuatan makhluk yang demikian itu, Allah SWT telah berfirman di dalam surat An-Nahl ayat 108:
”Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs. 16 : 108)
Dari surat An-Nahl ayat 108 tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa, siapa saja yang memperturutkan hawa nafsunya untuk tetap memelihara virus penyakit hati yang bernama dendam kesumat di dalam dirinya, maka mereka kelak akan menanggung resiko yang berat. Yaitu, hati, pendengaran dan penglihatan mereka akan dikunci mati oleh Allah. Dan mereka pun akhirnya akan menjadi orang-orang yang lalai.

... orang yang hatinya sedang sakit --- lantaran terkena virus penyakit hati merasa suci dan merasa tidak punya salah ---, maka biasanya, ia akan melakukan ’perlawanan’ manakala diajak untuk meniti jalan kebajikan --- meskipun yang mengajak itu adalah pujaan hatinya sendiri.Benci Jalan Kebajikan
UMUMNYA, orang yang diajak meniti jalan kebajikan itu, selalu merasa senang jika bisa menjalaninya dengan baik. Apalagi jika yang mengajak itu adalah kekasih pujaan hati atau orang yang ia sukai, tentulah dia akan merasa lebih bersemangat lagi. Itu kalau kondisi hatinya tidak dalam keadaan sedang sakit.
Sebaliknya, bagi orang yang hatinya sedang sakit --- lantaran terkena virus penyakit hati merasa suci dan merasa tidak punya salah ---, maka biasanya, ia akan melakukan ’perlawanan’ manakala diajak untuk meniti jalan kebajikan --- meskipun yang mengajak itu adalah pujaan hatinya sendiri. Kalau pun, misalnya, saat itu ia tidak menunjukkan sikap perlawanan terhadap orang yang mengajaknya meniti jalan kebajikan, maka paling tidak, di dalam hati dan pikirannya akan muncul perasaan benci yang lahir dari virus penyakit hati merasa tidak suka pada orang yang mengajaknya untuk berbuat baik.
Begitulah cara kerja virus penyakit hati merasa suci dan merasa tidak punya salah dalam mempengaruhi hati dan pikiran seseorang agar menjauh dari jalan kebajikan. Ia selalu meniupkan ajakan dan bisikan pada si penderita agar meninggalkan jalan kebajikan dan menempuh jalan kemaksiatan. Selain, sudah barang tentu, ia juga akan menyemprotkan virus negatif pada hati dan pikiran si penderita agar membenci dan menjauhi orang-orang yang meniti jalan kebajikan.
Dengan menyemprotkan alasan ’khawatir bakal menulari orang yang berada di jalan kebajikan’ atau ’takut dianggap berlagak ’alim, berlagak suci atau malah merasa dirinya sangat kotor’, virus penyakit hati merasa suci dan merasa tidak punya salah itu, berusaha mati-matian menarik orang yang telah terinfeksi virus penyakit hati tersebut agar tetap memilih untuk menjauhi orang-orang yang meniti jalan kebajikan. Termasuk menjauhi jalan kebajikan itu sendiri.
Menurut salafus shalih, orang yang telah terinfeksi virus penyakit hati merasa suci dan merasa tidak punya salah itu, biasanya tidak sadar kalau dirinya telah mengidap virus penyakit yang dapat membahayakan iman-Islamnya itu. Sepintas, kata salafus shalih, orang yang hatinya lagi sakit itu, biasanya sering memperlihatkan kelemahan dan kekurangannya di hadapan orang banyak. Tujuannya adalah ingin membangun image pada banyak orang. Sehingga, dengan begitu, diharapkan, orang-orang bisa memberi permakluman padanya, manakala, misalnya, suatu saat ia terlihat sedang berada dalam kerusakan.
“Memang, kelihatannya seperti orang yang betul-betul banyak salah dan takut meniti jalan kebajikan. Tapi, sesungguhnya, yang terjadi di dalam hati dan pikirannya, justru malah sebaliknya. Dia merasa suci dan merasa tidak punya salah. Karena itu, ketika dia diajak meniti jalan kebajikan, ia langsung melakukan penolakan. Apa sebabnya? Karena, diam-diam, orang yang hatinya lagi sakit itu, merasa dirinya telah berada di jalan kebajikan. Padahal, aslinya, ia justru berada di jalan nafsunya sendiri,” kata salafus shalih.
para ahlul kasyaf selalu menyarankan para pejalan rohani untuk berhati-hati betul dalam menghadapi permainan hawa nafsu dan virus penyakit hati. Sebab, trik-trik yang ditempuh oleh virus penyakit hati dan hawa nafsu itu sangatlah licik dan licin. Tidak sedikit ahli ibadah jadi tergilincir akibat lalai dalam memperhatikan ulah hawa nafsu dan virus penyakit hati yang menyusup ke dalam dirinya. Lantaran itulah, para ahlul kasyaf selalu menyarankan para pejalan rohani untuk berhati-hati betul dalam menghadapi permainan hawa nafsu dan virus penyakit hati. Sebab, trik-trik yang ditempuh oleh virus penyakit hati dan hawa nafsu itu sangatlah licik dan licin. Tidak sedikit ahli ibadah yang tergilincir akibat lalai dalam memperhatikan ulah hawa nafsu dan virus penyakit hati yang menyusup ke dalam dirinya. Hal itu terjadi karena nafsu dan virus penyakit hati itu selalu mengajak manusia untuk mengingkari kehidupan akhirat.
Karena itulah, Allah Rabbul ’Izzati telah berfirman kepada manusia di dalam surat Az-Zumar ayat 45:

”Dan apabila nama Allah disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat. Dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka menjadi bergirang hati.”

Begitulah gambaran tentang bagaimana orang-orang yang hatinya lagi sakit. Jangankan diajak untuk meniti jalan kebajikan. Ketika nama Allah disebutkan saja, hatinya pun kontan menjadi kesal. Itulah resiko yang harus ditanggung manusia ketika ia memperturutkan hawa nafsunya. Ia akan menolak jalan kebajikan dan tidak mau beriman dengan ayat-ayat Allah, seperti yang telah disinggung Allah dalam surat An-Nahl ayat 104:

”Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah (Al Quran), Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka dan bagi mereka azab yang pedih.”

Memang berat dan tidak mudah untuk melemahkan hawa nafsu. Apalagi untuk ‘memerangi’ virus penyakit hati yang ada di dalam diri kita sendiri. Karena itulah, Rasulullah saw bersabda: “Neraka tertutup dengan berbagai syahwat hawa nafsu. Sedang surga tertutup dengan kesukaran dan keberatan.” (HR. Bukhari – Muslim, dari Abu Hurairah ra)
Meskipun tidak mudah, tapi, jika kita yakin Allah dan para kekasihNya selalu bersama kita, maka insya Allah, Tuhan Yang Sebenarnya akan menuntun perjalanan kita dalam mengarungi samudera kehidupan di dunia dan di akhirat nanti. Bukankah Allah sendiri mengaku akan ’menyerah’ dengan prasangka makhlukNya?
Suka Membantah
Suka membantah --- terutama dalam urusannya dengan kebajikan ---adalah salah satu ciri dari sifat virus penyakit hati. Ia muncul ketika orang yang telah ’dikuasainya’ itu dalam kondisi sedang bingung dalam mencari dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang sedang di hadapinya. Karena bingung itulah, ia kemudian seringkali membantah setiapkali disodorkan dengan berbagai jalan alternatif yang dapat ia tempuh. SUKA membantah --- terutama dalam urusannya dengan kebajikan --- adalah salah satu ciri dari sifat virus penyakit hati. Ia muncul ketika orang yang telah ’dikuasainya’ itu dalam kondisi sedang bingung dalam mencari dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang sedang di hadapinya. Karena bingung itulah, ia kemudian seringkali membantah setiapkali disodorkan dengan berbagai jalan alternatif yang dapat ia tempuh.
Keinginan untuk membantah itu, menurut ahlul bashar, biasanya lahir dari perasaan cemas, takut dan khawatir. Akumulasi dari perasaan tersebut, kemudian memunculkan ketakutan yang berlebihan. Akibatnya, belum menjalani lakon, ia sudah ketakutan terlebih dahulu. Yaitu, takut kalau-kalau apa yang telah ia takutkan bakal terjadi itu --- yang notabene baru bersifat angan-angan dan masih terbungkus rapi di dalam hati dan pikirannya --- tiba-tiba menjadi kenyataan.
Ketakutan yang berlebihan itu sendiri, menurut ahlul bashar, sesungguhnya bersumber dari keengganan si penderita untuk ta’at kepada Allah dan RasulNya dalam meniti jalan kebajikan. Sekiranya orang yang hatinya lagi sakit itu mau tunduk, patuh dan ta’at kepada Allah dan RasulNya --- dengan cara menjalankan semua perintah dan menjauhi semua laranganNya dengan sungguh-sungguh --- maka tentulah dia tidak perlu merasa takut.
Karena itu, tak heran jika Allah memerintahkan manusia untuk senantiasa ta’at dan patuh pada syari’at Nabi dan RasulNya. Sebab, ta’at kepada Allah dan RasulNya itu sendiri, merupakan syarat pokok untuk tegaknya syari’at. Selain, tentu saja, juga bisa dijadikan sebagai indikator bagi ke-identitas-an kita sebagai hamba dan umat dari seorang Nabi-RasulNya. Perhatikan saja firman Allah dalam surat Al-Anfaal ayat 46 berikut ini:

”Dan taatlah kepada Allah dan RasuNya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Aslinya, perintah Allah dalam surat Al-Anfaal ayat 46 tersebut, sudah sangat jelas dan tegas. Tidak mungkin kita bisa menjadi seorang hamba yang ta’at, patuh dan tunduk, jika kita masih suka membantah apa saja yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Baik itu membantah dalam pengertian secara hati (yaitu menolak untuk diperintah alias gerundel), pikiran (selalu berprasangka buruk), tindakan (tidak mau mengerjakan atau melaksanakan perintah) maupun secara lisan (mengungkapkan sikap ketidak-terimaan kita terhadap isi perintah dan ’mencemooh’ lewat kata-kata kepada yang memberi perintah tersebut).
orang yang suka membantah itu biasanya tidak mau mendengarkan isi perintah. Apalagi untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, kalau saja orang yang hatinya lagi sakit itu mau mendengar dan kemudian melaksanakan perintah di jalan kebajikan itu dengan sungguh-sungguh, maka insya Allah ia akan mendapat pertolongan dari Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Sebabnya kenapa? Karena, membantah perintah --- baik secara hati, pikiran, tindakan maupun lisan itu --- sama artinya dengan menolak dan tidak terima pada isi perintah. Selain itu, tentu saja, tidak terima pada yang memerintah. Sebab, kalau kita mau menerima, pastilah kita akan memperhatikan dan menegakkan perintah tersebut dengan senang hati. Dalam bahasa ilmu rohani, sikap orang yang suka membantah, menolak dan tidak terima pada yang memberi perintah itu, sering disebut sebagai perbuatan ngontras. Sikap ini, jelas bukanlah cerminan yang baik bagi seorang hamba yang mengaku telah beriman kepada Zat yang telah menciptakannya.
Di samping itu, kata ahlu kasyaf, orang yang suka membantah itu biasanya tidak mau mendengarkan isi perintah. Apalagi untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, kalau saja orang yang hatinya lagi sakit itu mau mendengar dan kemudian melaksanakan perintah di jalan kebajikan itu dengan sungguh-sungguh, maka insya Allah ia akan mendapat pertolongan dari Allah, Tuhan Yang Sebenarnya.
Yang jelas, mendengar isi perintah dengan baik itu, pada dasarnya merupakan bagian terpenting dari syarat-syarat untuk tegaknya keta’atan. Sedang melaksanakan isi perintah dengan sungguh-sungguh, merupakan bentuk keta’atan dari seorang hamba terhadap yang memerintahnya. Coba saja perhatikan firman Allah dalam surat At-Taghaabun ayat 16 berikut ini:


”Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.”(Qs. 64 : 16).
Karena itu, kata ahlul kasyaf, penting sekali bagi seorang pejalan rohani untuk mendengarkan bagaimana isi perintah dan melaksanakan perintah itu dengan sungguh-sungguh. Tujuannya tidak lain adalah, supaya jangan sampai ia malah menegakkan apa yang dilarang, dan merobohkan apa yang justru harus ditegakkan. Sebab, mencampur-adukkan antara yang wajib-sunnah dan mubah-makruh, sama halnya dengan mencampurkan antara yang haq dan batil.
Kesungguhan menjadi penting, karena terkait erat dengan adab kita sebagai makhlukNya atau sebagai umat dari seorang Nabi-Rasul. Bagaimana mungkin, perintah yang sesungguhnya bertujuan untuk menegakkan syari’atNya itu, bisa kita tegakkan dengan cara sambil lalu atau dengan cara tidak sungguh-sungguh? Inilah ’PR’ yang perlu direnungkan oleh orang-orang yang suka membantah ketika diajak meniti jalan kebajikan.
Terkait dengan hal itulah, Allah SWT kemudian menuntun kita untuk senantiasa bersikap hati-hati dan selalu waspada terhadap segala bisikan yang dapat menjauhkan kita dari Allah. Apalagi, kita tahu, bahwa jalan menuju Allah itu sungguh sangat licin. Demikian juga halnya dengan sekat pembatas antara yang haq dan batil itu, sangatlah tipis. Jika kita tidak berhati-hati, bukannya surga yang bakal kita dapat. Melainkan justru malah neraka.
Begitu tipisnya sekat yang dibuat oleh nafsu, dan betapa licinnya jalan menuju keta’atan kepada Allah dan RasulNya. Kalau kita tidak hati-hati dan waspada, sangat boleh jadi, kita akan terjebak dalam permainan hawa nafsu kita sendiri yang memang selalu mengajak kita untuk tidak mau ta’at kepadaNya. Karena itu, waspadailah setiap ’bisikan’ yang dihembuskan oleh hawa nafsu.
Singkat kata, seorang hamba yang ta’at kepada Allah dan RasulNya, tidak akan mungkin berani membantah jika diajak meniti jalan kebajikan. Apalagi jika dia telah mendapat ’hadiah’ berupa kesadaran ilahiah di dalam hati dan pikirannya. Sebabnya kenapa?
Karena, kesadaran ilahiah itu akan melahirkan keta’atan yang kelak dapat menjaga dan meningkatkan kualitas amal ibadah seorang hamba. Karena itu, keta’atan ilahiah selalu bersifat sangat rahasia. Ia ada di dalam hati sang hamba. Sedang wujud dari keta’atan itu sendiri, bisa kita lihat dari gerak lahiriahnya, meski tidak harus selalu lewat gerak.

Tidak Mau Berdo’a
SALAH satu ciri orang yang telah terkena virus penyakit hati adalah, tidak mau berdo’a untuk dirinya sendiri. Apalagi mendo’akan kebaikan untuk makhluk lain. Menurut ahlul suffah, orang yang tidak mau berdo’a dan mendo’akan orang lain itu, biasanya terkena virus penyakit hati sombong dan merasa tidak butuh pertolongan dari Allah dan RasulNya.
Sementara menurut ahlul bashar, orang yang tak mau berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla itu, sama saja artinya ia telah memutus tali keyakinannya kepada Allah. Sebab, kedudukan do’a dalam keyakinan seorang makhluk itu, ibarat seutas tali yang menghubungkan seorang makhluk kepada Sang Pencipta. Karena itu, berdo’a kepada Allah menjadi sangat penting untuk dilakukan manusia agar tali kasih sayang Allah kepada makhlukNya menjadi tidak putus. Orang yang sudah terkena virus penyakit hati sombong dan merasa tidak butuh pertolongan dari Allah itu, ujar ahlul suffah, biasanya tidak percaya kalau berdo’a itu sebetulnya bisa menjadi obat penawar bagi virus penyakit hati yang ada di dalam dirinya. Bukti kalau mereka tidak percaya adalah, terlihat dari sikap mereka yang tidak mau berdo’a kepada Allah, Tuhan Yang Sebenarnya. Tidak mau berdo’a itulah, tanda kalau mereka tidak percaya. Sebab, kalau mereka percaya dan yakin, tentulah mereka akan berdo’a kepadaNya.
Sementara menurut ahlul bashar, orang yang tak mau berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla itu, sama saja artinya ia telah memutus tali keyakinannya kepada Allah. Sebab, kedudukan do’a dalam keyakinan seorang makhluk itu, ibarat seutas tali yang menghubungkan seorang makhluk kepada Sang Pencipta. Karena itu, berdo’a kepada Allah menjadi sangat penting untuk dilakukan manusia agar tali kasih sayang Allah kepada makhlukNya menjadi tidak putus.
Dalam hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh ‘Askari dalam kitab Mawa’idl yang bersumber dari Abu Hurairah ra dengan sanad Hasan, Allah SWT telah berfirman: “Barang siapa yang tidak berdo’a kepadaKu, niscaya Aku murka kepadanya.” Rasulullah saw sendiri juga pernah bersabda kepada umatnya dengan mengatakan bahwa: “Do’a itu adalah ibadah” (HR. Abu Dawud, Attirmidzy dari Annu’man bin Basyir ra).
Menilik firman Allah dan hadis Nabi saw tersebut, semakin jelaslah sudah, bahwa orang yang tidak mau berdo’a kepada Allah SWT itu, sama saja dengan telah mengundang murka Allah atas dirinya sendiri. Orang yang demikian itu, menurut Rasul saw, berarti sama saja ia telah memilih jalan untuk tidak mau beribadah kepada Allah SWT. Sedang memilih jalan untuk tidak mau beribadah kepada Allah, berarti ia telah mengingkari misi mulia yang telah ‘dihadiahkan’ oleh Allah atas dirinya, seperti yang termaktub di dalam surat Adz-Dzaariyaat ayat 56:

”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.”

Jika berdo’a itu merupakan ’obat penawar’ bagi virus penyakit hati dan sekaligus merupakan tanda kalau kita sedang beribadah kepadaNya, lalu mengapa kita malah memilih untuk tidak mau berdo’a kepadaNya? Apakah kalau kita sudah bisa hidup, melakukan aktivitas di dunia dan memperoleh rezeki dengan lancar, lalu kita sudah merasa cukup, sehingga karenanya tidak perlu meminta pertolongan dari Allah SWT lagi?
Ngecam Dosa
Tapi, anehnya, orang yang hatinya lagi sakit, biasanya justru malah merasa lebih senang jika ia bisa mengecam perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang lain. Termasuk membiarkan atau bersikap masa bodoh ketika melihat ada orang lain yang akan melakukan perbuatan nerabas syari’at. Itulah ciri orang yang hatinya sudah dikuasai oleh virus penyakit hati merasa suci, merasa bersih dan merasa tidak punya kesalahan. Tak ada satu pun manusia yang hidup di dunia ini yang tidak punya dosa. Baik dosa besar ataupun dosa kecil. Tidak peduli apakah dia adalah seorang presiden, raja, sultan, khalifah, tukang becak, kusir andong, menteri, hakim, jaksa, polisi, ulama, pendeta, rohaniawan, bhiksu atau apapun jabatan yang melekat pada dirinya --- mereka semua pasti punya dosa.
Hanya seorang nabi, rasul dan kekasih Allah sajalah yang ‘dijamin’ dan ‘dijaga’ Allah agar tidak bergesekan dengan yang namanya dosa. Diluar dari predikat tersebut, dijamin pasti punya dosa. Apalagi bagi kita yang hidup di penghujung akhir zaman ini. Di mana, untuk dapat betul-betul steriil atau terbebas dari kontaminasi perbuatan dosa, nyaris menjadi sebuah kemustahilan. Jangankan untuk bisa bebas dari perbuatan dosa, untuk memisahkan mana tindakan kita yang halal dan haram dalam pandangan agama saja, kita acapkali kesulitan. Mana yang halal dan haram, nyaris sudah tak ada batasnya lagi.
Kalaulah bukan karena sebab adanya kemurahan Allah, niscaya mungkin kita akan lebih banyak berkubang dalam lumpur dosa ketimbang berkubang dalam lautan amal kebajikan. Karena itu, Allah mengajarkan kepada hamba-hambaNya untuk sadar diri. Bukan karena kehebatan diri kita, lalu kita bisa terbebas dari dosa. Yang membebaskan kita dari dosa itu, mutlak karena adanya kemurahan Allah atas diri kita.
Jika demikian halnya, maka adalah bohong besar kalau sampai ada orang yang mengaku-aku tak punya dosa selama hidupnya. Sebab, mengaku-aku tidak punya dosa saja, dalam perspektif agama Islam, sebetulnya sudah merupakan dosa tersendiri. Dalam surat Al-A’raaf ayat 82, Allah mengingatkan orang-orang yang mengaku tidak punya dosa itu sebagai:


“ … sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”
Karena itu, Allah kemudian mengultimatum perbuatan manusia yang ‘sok suci’ itu lewat surat An-Najm ayat 32:
“ …, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci! Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Berbeda halnya dengan orang-orang yang di dalam hatinya ada virus penyakit hati. Menurut ahlul kasyaf, orang yang hatinya lagi sakit, biasanya, paling senang mengencam perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang lain. Padahal, kata ahlul suffah, kalau saja orang yang suka mengecam dosa yang dilakukan oleh orang lain itu menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya itu adalah juga merupakan perbuatan dosa, maka niscaya mereka tidak akan berani untuk melakukannya.
Tapi, anehnya, orang yang hatinya lagi sakit, biasanya justru malah merasa lebih senang jika ia bisa mengecam perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang lain. Termasuk membiarkan atau bersikap masa bodoh ketika melihat ada orang lain yang akan melakukan perbuatan nerabas syari’at. Itulah ciri orang yang hatinya sudah dikuasai oleh virus penyakit hati merasa suci, merasa bersih dan merasa tidak punya kesalahan.
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa terbebas dari virus penyakit hati tersebut? Pertama, mari kita belajar untuk tidak melakukan sebuah tindakan yang justru akan menjadi dosa di hadapan Allah. Kedua, mari kita belajar bersikap jujur dengan diri kita sendiri dan belajar jujur kepada Allah. Kalau memang telah melakukan perbuatan dosa, maka cepat-cepatlah bertobat. Sebab, Allah tidak mau tahu tentang alasan mengapa kita berbuat dosa. Kalau salah, tetap salah. Sekali dosa, ya tetap dosa.
Ketiga, mari belajar untuk tidak menjadi orang yang ‘sok suci’. Sebab, Allah tidak suka pada makhluk yang mengaku-aku tak pernah punya dosa seumur hidupnya. Sebaliknya, Allah justru sangat senang kepada hambaNya yang ketika tersandung dengan perbuatan dosa, ia segera meminta ampunanNya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas ra disebutkan, bahwa ia mengaku pernah mendengar Rasulullah saw berkata:
“Allah telah berfirman: Hai putra Adam, sesungguhnya, selama kamu berdo’a dan mengharap kepadaKu, pasti Aku ampunkan bagimu apa yang telah lalu daripadamu, dan tak Aku hiraukan berapa banyak.”
“Hai Putra Adam, andaikan dosamu telah sampai ke langit, kemudian kamu minta ampun kepadaKu, Aku ampunkan bagimu. Hai putra Adam, andaikan kamu datang dengan membawa dosa kepadaKu sepenuh bumi ini, tetapi kamu menghadap kepadaKu dalam hal tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu yang lain, niscaya Aku akan memberi engkau ampunan sepenuh bumi itu pula. (HR Attirmidzy).
siapa yang tidak terima atau menolak jalan kebajikan yang telah ditunjukkan oleh seseorang, maka berarti orang tersebut telah terkena virus penyakit hati. Yaitu virus penyakit hati tidak senang pada guru. Dikatakan demikian karena, setiap orang yang telah digerakkan oleh Allah SWT untuk menunjukkan jalan kebajikan kepada kita itu, aslinya, mereka itu adalah ‘guru’ yang menuntun perjalanan rohani kita untuk bisa bertemu Allah SWT.Pertanyaannya sekarang ialah, jika Allah telah membuka pintu ampunanNya seluas bumi dan langit, lalu mengapa kita masih suka menunda-nunda waktu untuk segera bertobat kepadaNya? Ayo, mari kita segera bertobat. Mudah-mudahan kita belum terlambat.

Tidak Senang Pada Guru
BARANG siapa yang tidak terima atau menolak jalan kebajikan yang telah ditunjukkan oleh seseorang, maka berarti orang tersebut telah terkena virus penyakit hati. Yaitu virus penyakit hati tidak senang pada guru. Dikatakan demikian karena, setiap orang yang telah digerakkan oleh Allah SWT untuk menunjukkan jalan kebajikan kepada kita itu, aslinya, mereka itu adalah ‘guru’ yang diutus Allah untuk menuntun perjalanan rohani kita agar bisa bertemu Allah SWT.
Menurut para ahlul suffah, orang yang hatinya lagi sakit, biasanya memang punya kecenderungan untuk tidak mau mendengar nasihat dari siapa pun. Tidak peduli apakah yang memberi nasihat itu adalah orangtuanya, kekasihnya, guru di sekolahnya atau ulama sekalipun. Hal itu terjadi karena, hati orang tersebut sedang diselimuti oleh virus penyakit hati merasa tidak senang pada gurunya.
... jika ada seseorang yang merasa tidak terima atau tidak mau memperhatikan dan mempraktikkan nasihat yang disampaikan oleh orang yang telah digerakkan Allah untuk menasihati kita, maka perbuatan yang demikian itu sama saja artinya kita tidak senang dengan guru. Padahal, kata ahlul kasyaf, kalau saja orang yang hatinya lagi sakit itu mau berupaya untuk belajar memahami dan mengerti tentang hakikat Zat yang menggerakkan seorang makhluk untuk menunjukkan jalan kebajikan bagi dirinya saat itu, maka seharusnya ia malah berterima kasih. Sebab, ada seorang ‘guru’ yang digerakkan oleh Allah untuk mengingatkan bagaimana sebaiknya kita melangkah agar tidak keluar dari jalan kebajikan. Itu berarti Allah Rabbul ‘Izzati masih sayang pada kita.
“Aslinya,” ujar ahlul bashar, “setiap waktu Allah selalu mengutus makhlukNya untuk menjadi ‘guru’ bagi perjalanan rohani seseorang. Makhluk yang diutus Allah itu tidak lain adalah, orang-orang yang dengan senang hati mengingatkan kita ketika lalai, lupa dan tergelincir dari jalan kebajikan.”
Singkat kata, siapapun orang yang mengambil peran atau lakon tersebut dalam perjalanan hidup kita --- apakah ia berstatus sebagai seorang suami, istri, orangtua, teman, anak atau ulama --- maka mereka itu adalah ‘guru’ yang memang telah diutus oleh Allah untuk mendampingi perjalanan rohani kita dalam bertemu Allah.
Jadi, jika ada seseorang yang merasa tidak terima atau tidak mau memperhatikan dan mempraktikkan nasihat yang disampaikan oleh orang yang telah digerakkan Allah untuk menasihati kita, maka perbuatan yang demikian itu sama saja artinya kita tidak senang dengan guru. Tidak senang pada ‘guru’ yang menunjukkan jalan kebajikan untuk kita lalui, berarti sama saja tidak senang kepada Zat yang telah menggerakkannya.
Tidak senang kepada Zat yang telah menggerakkan makhlukNya untuk menasihati kita, berarti sama saja artinya kita tidak mau beriman kepada ayat-ayatNya. Sedang jika kita tidak mau beriman kepada ayat-ayatNya, berarti sama halnya kita telah menutup pintu petunjuk dan pertolongan dari Allah. Orang yang demikian itu, menurut Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam surat An-Nahl ayat 104, kelak akan mendapat siksa yang pedih:
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah (Al Quran), Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka dan bagi mereka azab yang pedih.”

Mudah-mudahan, dengan sebab kemurahanNya dan pertolongan barakah kekasihNya, kita dihindarkan dari virus penyakit hati tidak senang kepada guru. Sehingga dengan demikian, kita bisa selamat dari siksaNya yang pedih. Allahumma amiin.
Tidak Senang Pada Tetangga
SALAH satu ciri seseorang itu telah terkena virus penyakit hati adalah, ia suka membenci dan tidak menyukai orang-orang yang ada di sekitarnya. Termasuk tidak senang kepada tetangganya. Menurut ahlul kasyaf, orang yang tidak senang kepada tetangganya itu, biasanya, terkena virus penyakit hati yang bernama tidak mau kalah saingan.
Menurut para salafus shalih, orang yang tidak senang pada tetangganya itu, sama saja artinya ia telah mengundang bala’. Sebab, perbuatan tidak senang itu sendiri pada dasarnya adalah perbuatannya setan. Jadi, jika ada orang yang tidak senang pada tetangganya, maka berarti ia telah melestarikan perbuatannya setan. Virus tersebut menyerang hati dan pikiran manusia terutama pada saat si penderita tengah diperdaya oleh virus al-wahnu (cinta terhadap dunia) secara berlebihan. Melalui hati, virus tidak mau kalah saingan itu meniupkan pengaruhnya kepada si penderita untuk bersikap memusuhi tetangganya yang secara materi ada perbedaan cukup mencolok dengan dirinya.
Sedang melalui pikiran, virus tersebut berupaya menyuntikkan pengaruhnya dengan cara menyeret si penderita untuk bersikap tidak menyenangkan. Misalnya melakukan persaingan secara tidak sehat atau dengan cara menebar fitnah di masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah, untuk mengalihkan fokus perhatian si penderita agar menjauh dari jalan Allah.
Menurut para salafus shalih, orang yang tidak senang pada tetangganya itu, sama saja artinya ia telah mengundang bala’. Sebab, perbuatan tidak senang itu sendiri pada dasarnya adalah perbuatannya setan. Jadi, jika ada orang yang tidak senang kepada tetangganya, maka berarti ia telah melestarikan perbuatannya setan. Sedang setan itu sendiri, dalam sejumlah riwayat disebutkan, kelak akan mendapat siksa yang pedih dari Allah SWT, lantaran ia sering membangkang perintah Allah.
Nabi saw bersabda: “Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, hendaknya ia berbuat baik terhadap tetangganya. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka harus menghormati tamunya. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia berkata baik, atau diam.” (HR. Muslim dari Abu Syuraih Alchuza’i ra)Karena itu, untuk menyelamatkan manusia agar tidak mengikuti jalannya setan, Kanjeng Nabi saw mengajarkan umatnya untuk menyenangi tetangganya. Sebab, tetangga itu merupakan mitra ibadah yang baik dan paling dekat. Perhatikan saja bagaimana sabda Nabi saw dari Abdullah bin Umar ra berikut ini: ”Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah yang terbaik kepada temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah yang terbaik kepada tetangganya.” (HR. Attirmidzy)
Dalam riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah saw bersabda: “Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku supaya bersikap baik terhadap tetangga, sehingga saya mengira kalau-kalau akan diberi hak waris.” (HR. Bukhari – Muslim dari Ibnu Umar dan Sayyidah ’Aisyah ra) Sebegitu besarnya perhatian agama Islam terhadap para pemeluknya untuk bersikap baik kepada tetangga, sampai-sampai Nabi saw mengira perbuatan tersebut bakal berdampak pada masalah pembagian hak waris.
Bahkan, saking seriusnya urusan berlaku baik kepada tetangga itu, sampai-sampai suatu ketika Nabi saw pernah mengingatkan umatnya, jika mereka bersikap tidak baik kepada tetangga, maka perbuatan itu termasuk dalam kategori perbuatan orang-orang yang tidak beriman. Simak saja isi hadis dari Abu Hurairah ra berikut ini:
Rasulullah saw bersabda: ”Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman.” Kemudian Nabi ditanya: Siapakah ya Rasulullah? Nabi menjawab: ”Ialah orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari – Muslim)
Atau dalam hadis yang lain, Nabi saw bersabda: “Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, hendaknya ia berbuat baik terhadap tetangganya. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka harus menghormati tamunya. Dan siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia berkata baik, atau diam.” (HR. Muslim dari Abu Syuraih Alchuza’i ra)
Jika kita perhatikan hadis tersebut, nampak sangat jelas sekali bagaimana agama Islam mengajarkan kebajikan terhadap tetangga kepada para pemeluknya. Sampai-sampai, bersikap baik terhadap tetangga itu, dijadikan sebagai tolak ukur keyakinan seorang hamba terhadap Allah dan hari akhir.
Termasuk dalam kaitannya dengan menghormati tamu atau berkata yang baik. Jika kita tidak senang terhadap tamu yang datang ke rumah kita, berarti ada sesuatu yang tidak beres dalam keyakinan kita terhadap Allah dan hari akhir. Sesuatu yang tidak beres itulah, oleh ahlul bashar disebut sebagai penyakit hati.
Serakah & Tak Pernah Puas
Barang siapa yang memiliki sifat suka serakah dan tidak pernah merasa puas dengan urusan dunia, maka itulah ciri orang yang telah terjangkiti virus penyakit hati. Menurut para salafus shalih, virus serakah dan merasa tidak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki itu, biasanya, lebih banyak bersumber dari faktor karena telah hilangnya rasa syukur di dalam diri seseorang. Akibatnya, orang yang telah terkontaminasi virus tersebut selalu merasa kurang. SERAKAH dan tak pernah merasa puas, merupakan wataknya hawa nafsu. Barang siapa yang memiliki sifat suka serakah dan tidak pernah merasa puas dengan urusan dunia, maka itulah ciri orang yang telah terjangkiti virus penyakit hati.
Menurut para salafus shalih, virus serakah dan merasa tidak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki itu, biasanya, lebih banyak bersumber dari faktor karena telah hilangnya rasa syukur di dalam diri seseorang. Akibatnya, orang yang telah terkontaminasi virus tersebut selalu merasa kurang.
”Jika seseorang itu sudah punya jabatan, misalnya, karena adanya pengaruh dari virus tersebut, membuat ia akhirnya ingin meraih jabatan yang lebih tinggi. Jika hartanya telah berlimpah, maka nafsu akan menyemprotkan virus merasa belum cukup di dalam hati dan pikiran manusia. Begitulah cara kerja virus penyakit hati serakah dan tak pernah merasa puas dalam mempengaruhi manusia agar menjauh dari jalan kesyukuran,” ujar salafus shalih.
Karena itu, Allah SWT telah memperingatkan manusia agar jangan menganggap sepele perkara hawa nafsu yang ada di dalam dirinya. Perhatikan saja bagaimana firman Allah dalam surat Al-Jaatsiyah ayat 23 berikut ini:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Berangkat dari firman Allah tersebut, para salafus shalih selalu mengingatkan para pejalan rohani agar jangan sekali-kali menantang atau melawan hawa nafsu. Apalagi jika sampai menuruti semua keinginannya. Sebab, kata salafus shalih, aslinya, manusia itu tidak akan mampu menghadapinya, jika tidak ada kemurahan dan pertolongan dari Allah SWT.
”Pada dasarnya, nafsu itu diciptakan Allah dalam diri manusia, bukan untuk dilawan atau ditantang. Apalagi untuk dituruti. Nafsu itu, aslinya, diciptakan agar manusia bisa mengenali bagaimana wataknya, dan dilemahkan agar ia tidak berbuat melebihi batas kewenangannya di dalam diri manusia,” tukas salafus shalih.
Mengapa nafsu tidak boleh ditantang atau dilawan? Karena, jika manusia menantang atau melawan hawa nafsunya, maka nafsu akan berubah menjadi jauh lebih besar. Begitu juga jika manusia menuruti hawa nafsunya, maka ia akan menyeret dan menguasai manusia sehingga membuatnya menjadi semakin terhijab. Jika hal itu sampai terjadi, kata ahlul kasyaf, maka cahaya ilahi yang ada di dalam hatinya akan berubah menjadi redup.
”Pada dasarnya, nafsu itu diciptakan Allah dalam diri manusia, bukan untuk dilawan atau ditantang. Apalagi untuk dituruti. Nafsu itu, aslinya, diciptakan agar manusia bisa mengenali bagaimana wataknya, dan dilemahkan agar ia tidak berbuat melebihi batas kewenangannya di dalam diri manusia,” tukas salafus shalih. Bagaimana caranya agar kita bisa melemahkan hawa nafsu? Paling tidak ada tiga cara. Yaitu, pertama, lewat lapar. Dalam sejumlah riwayat disebutkan, bahwa sesungguhnya nafsu itu tidak kuat menahan rasa lapar. Karena itu, tak heran, ketika manusia dalam kondisi lapar, nafsu biasanya selalu berontak.
Kedua, menangis di hadapan Allah karena menyesali telah melakukan perbuatan dosa lantaran menuruti hawa nafsu. Menurut ahlul ibadah, orang yang menangis karena ingat tentang perbuatan dosa yang pernah ia lakukan, bisa membuat hatinya yang semula keras berubah menjadi lembuh. Dan insya Allah, kata ahlul ibadah, orang yang menangis karena menyesal telah berbuat dosa itu, kelak akan dijauhkan Allah SWT dari perbuatan orang-orang yang merugi lagi tercela.
Sedang yang ketiga adalah, menyerahkan sepenuhnya hati kita kepada Allah SWT minta untuk diselamatkan. Sebab, Dia-lah yang membuat, memiliki dan yang bisa menjaga hati setiap manusia agar tidak terkontaminasi virus penyakit hati. Allah juga yang telah mengaruniai ketenangan dalam hati manusia, seperti yang terdapat di dalam surat Al-Fath ayat 4:
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Yang jelas, kata ahlul bashar, orang yang serakah dan tidak pernah merasa puas itu, kalau mereka mau praktik belajar bangun syukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan Allah pada dirinya, maka insya Allah ia akan terhindar dari penyakit serakah. Sebab, bangun kesyukuran kepada Allah itu, bisa menjadi benteng yang kuat bagi pertahanan iman-Islam di dalam hati seseorang.
Sebaliknya, ketika orang yang tengah menderita penyakit hati itu tidak mau bersyukur kepada Allah, maka penyakit hatinya itu akan semakin bertambah-tambah. Dan keserakahannya akan semakin menjadi-jadi. Buntutnya, muncullah perasaan tidak puas di dalam hati dan pikirannya. Perasaan itulah yang kemudian mendorong manusia untuk berbuat nerabas syari’at agama. Termasuk mengumbar hawa nafsunya.
Ngontras Dengan Orangtua
Berbakti kepada kedua orangtua itu, bukanlah perkara yang mudah. Apalagi bagi seorang anak yang hidup di abad yang lebih banyak mengandalkan akal dan nafsunya daripada hati nuraninya. Sungguh, bukanlah perkara yang ringan. Di tengah kesibukan sehari-harinya dalam mengarungi kehidupan di muka bumi, manusia diperintah untuk tetap berbakti kepada kedua orangtuanya. MENURUT salafus shalih, salah satu ciri orang yang sedang sakit hatinya adalah, ia suka ngontras dengan orangtuanya. Ngontras yang dimaksud di sini adalah, bersikap berseberangan dan selalu bertentangan dengan keinginan orangtuanya.
Virus tersebut muncul di dalam hati dan pikiran si penderita, karena ia sedang mengidap penyakit hati meremehkan nasihat orangtua alias tidak mau berbakti kepada kedua orangtuanya. Bentuk perbuatannya bisa berupa tidak mau patuh, tidak mau melaksanakan perintah, melawan orangtua atau berkata buruk kepada orangtua.
Padahal, agama Islam justru memerintahkan agar anak berbakti kepada orangtuanya. Yaitu, patuh, ta’at dan tunduk pada orangtua. Apalagi Rasulullah saw telah bersabda: ”Albirr (bakti) itu ialah baik budi. Dan dosa itu adalah, segala sesuatu yang terasa tidak tenang dalam hati dan kuatir diketahui orang.” (HR. Muslim dari Annawwaas bin Sam’an ra).
Bahkan, dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Wabishoh bin Ma’bad ra disebutkan bahwa: Saya datang kepada Nabi saw untuk bertanya tentang bakti. Maka, sebelum saya bertanya, Nabi saw bersabda: “Kau datang untuk bertanya tentang bakti?” Jawabku: Ya. Bersabda Nabi saw: “Tanyakan pada hatimu. Bakti itu ialah semua perbuatan yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan jiwa. Sedang dosa itu, semua perbuatan yang menimbulkan keraguan dalam hati dan jiwa, meskipun telah mendapat fatwa dari orang-orang” (HR. Ahmad, Addarimy).
Dari dua hadis tersebut, nampak sangat jelas bagaimana pentingnya seorang anak berbakti kepada kedua orangtuanya. Sebab, berbakti kepada kedua orangtua itu, bukanlah perkara yang mudah. Apalagi bagi seorang anak yang hidup di abad yang lebih banyak mengandalkan akal dan nafsunya daripada hati nuraninya. Sungguh, bukanlah perkara yang ringan. Di tengah kesibukan sehari-harinya dalam mengarungi kehidupan di muka bumi, manusia diperintah untuk tetap berbakti kepada kedua orangtuanya.
Tidak peduli bagaimana kondisi sang anak pada saat itu. Yang jelas, dalam setiap kesempatan dan keadan, Allah dan RasulNya tetap memerintahkan manusia untuk selalu berbakti kepada kedua orangtuanya. Sebab, tanpa kedua orangtuanya, tidak mungkin seorang anak bisa lahir di muka bumi ini. Karena itu, berbakti pada orangtua dalam agama Islam merupakan masalah serius.
Apalagi di dalam surat Al-Israa’ ayat 23, Allah sendiri telah berfirman:


“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". Dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Firman Allah dalam surat Al-Israa’ ayat 23 tersebut, merupakan pedoman pokok tentang amal kebajikan seorang anak terhadap orangtuanya. Jika amal kebajikan itu dilaksanakan dengan baik, maka insya Allah akan mendatangkan kesenangan Allah SWT.
Rasulullah saw bersabda: ”Barang siapa yang menjadikan kedua orangtuanya rela, maka dia telah menjadikan Allah rela pula. Dan barang siapa yang menjadikan kedua orangtuanya marah, maka dia telah menjadikan Allah murka pula.” Amal perbuatan yang dimaksud, yaitu: (1) Jangan menyembah selain Dia; (2) Berbuat baik pada orangtua dengan sungguh-sungguh, lahir dan batin, hingga usianya lanjut; (3) Jangan mengatakan sesuatu (”ah”) yang dapat membuat hati orangtua jadi terluka; (4) Jangan membentak dan (5) Berbicaralah yang sopan. Karena Allah memang sangat senang pada hambaNya yang tahu sopan-santun (adab).
Sebegitu pentingnya soal berbakti kepada orangtua ini, sampai-sampai Rasulullah saw bersabda: ”Barang siapa yang menjadikan kedua orangtuanya rela, maka dia telah menjadikan Allah rela pula. Dan barang siapa yang menjadikan kedua orangtuanya marah, maka dia telah menjadikan Allah murka pula.”
Bahkan, di dalam kitab At-Tanbiihi disebutkan, bahwa Nabi saw pernah ditanya oleh sahabat: ”Amal apakah yang paling utama?” Nabi saw menjawab: “Salat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orangtua, dan kemudian berjihad di jalan Allah.”
Kemudian diterangkan juga perihal tiga ayat yang diturunkan berangkai dengan tiga persoalan pada manusia, yang tidak diterima satu perkara dengan mengesampingkan perkara yang lain. Yaitu:

Pertama, aqiimush shalaata wa aatuz zakaata, ”kerjakan salat dan tunaikanlah zakat.” Barang siapa mengerjakan salat dan tidak menunaikan zakat, maka salatnya tidak diterima.

Kedua, athii’ullaaha wa athii’ur rasuula, ”ta’atlah kamu sekalian kepada Allah dan RasulNya.” Barang siapa ta’at kepada Allah dan tidak ta’at kepada RasulNya, maka keta’atannya kepada Allah tidak diterima.

Ketiga, anisy kur lii wa liwaalidaika, ”hendaklah engkau bersyukur kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu.” Barang siapa bersyukur kepada Allah dan tidak bersyukur kepada kedua orangtuanya, maka Allah tidak menerima kesyukurannya.
Berikut ada sebuah kisah yang cukup menarik untuk kita renungkan tentang sikap seorang anak pada ibunya dan bagaimana sikap sang ibu kepada anaknya. Kisah ini kami temukan dalam sebuah lembaran dakwah di salah satu rumah Allah. Judulnya, Gratis Sepanjang Masa.
Suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur. Kemudian, anak tersebut menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya. Setelah sang ibu mengeringkan tangannya dengan celemek, lalu ia membaca isi tulisan itu. Dan inilah isinya:

Untuk memotong rumput, dua ribu rupiah;
Untuk membersihkan kamar tidur, seribu rupiah;
Untuk pergi ke toko disuruh ibu belanja, lima ratus rupiah;
Untuk menjaga adik waktu ibu belanja, lima ratus rupiah;
Untuk membuang sampah, seribu rupiah;
Untuk nilai raport yang bagus, tiga ribu rupiah;
Untuk membersihkan dan menyapu halaman, lima ratus.
Jadi, jumlah UTANG IBU = DELAPAN RIBU LIMA RATUS RUPIAH.

Sang ibu memandangi anaknya dengan penuh harap. Berbagai kenangan terlintas dalam benak sang ibu. Kemudian ia mengambil pulpen dan membalikkan kertasnya. Lalu ia menulis:

Untuk sembilan bulan ibu mengandung kamu, Gratis;
Untuk semua malam ibu menemani kamu, Gratis;
Untuk mengobati kamu dan mendo’akan kamu, Gratis;
Untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurusmu, Gratis;
Untuk seluruh jumlah harga cinta ibu adalah Gratis;
Anakku … seandainya kamu menjumlahkan semuanya, akan kamu dapati, bahwa seluruhnya adalah GRATIS.

Seusai membaca apa yang ditulis ibunya, sang anak pun berlinang air mata. Kemudian sang anak menatap wajah ibunya. Ia berkata: “Bu, aku sayang sekali sama ibu.” Lalu anak itu mengambil pulpen dan menulis sebuah kata dengan huruf capital. “LUNAS”

Dari kisah di atas, kita bisa melihat bagaimana besarnya kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Lebih dari itu, kita juga bisa melihat bagaimana besarnya kasih sayang Allah kepada sang ibu dan anaknya. Dengan hanya menggerakkan sang ibu untuk menulis kata GRATIS di atas secarik kertas, bisa membuat hati sang anak menjadi luluh. Subhanallaah.
Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimana caranya supaya kita tetap bisa berbakti kepada kedua orangtua dalam segala keadaan? Menurut para ahlul kasyaf, jika kita ingin berbakti pada orangtua dalam setiap keadaan, maka ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Yaitu:
Pertama, kita harus selalu mengingat tentang kedudukan orangtua kita sebagai ’jembatan’ bagi turunnya ridha Allah. Dengan selalu ingat tentang ’kedudukan’ tersebut, insya Allah, bisa menjadi ’rem’ yang baik untuk kita bersikap hati-hati kepada kedua orangtua. Kedua, kita harus selalu mengenang kebaikan dan kasih sayang orangtua pada diri kita. Di mana, dari sejak kecil hingga dewasa --- bahkan sampai kita sudah punya anak --- kebaikan dan kasih sayang orangtua pada diri kita masih terus mengalir. Pantaskah jika kita bersikap tidak baik kepada orangtua?
Ketiga, kita harus selalu mengingat-ingat bagaimana besarnya perhatian orangtua ketika kita dalam kondisi sakit dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya karena ingin membuat kita (sang anak) menjadi tenang hidupnya, orangtua rela tidak tidur dan tidak makan demi kita. Sampai hatikah kita bersikap kurangajar kepada orangtua yang telah melahirkan kita? Keempat, kita harus mau belajar mensyukuri terpilihnya kita menjadi anak dari orangtua kita yang ada sekarang ini. Tanpa mereka berdua, tidak mungkin kita bisa ujug-ujug lahir di muka bumi ini.
Kelima, kita harus selalu berusaha belajar mencari senangnya hati orangtua. Artinya, setiap kali kita akan melakukan perbuatan, yang harus kita jadikan sebagai pedomannya adalah, apakah perbuatan tersebut bisa mendatangkan rasa senang pada hati orangtua kita atau sebaliknya, bakal membuat mereka jadi sedih?
Barangsiapa yang bisa mengamalkan lima (5) langkah tersebut, ujar ahlul kasyaf, maka insya Allah, ia akan selamat dari perbuatan durhaka kepada kedua orangtuanya. Yang jelas, menurut salah seorang ahli fiqih, yaitu Abu Laitsi, sebagaimana dikutip oleh Syeikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyyi di dalam kitabnya yang berjudul Durratun Nasihin, mengatakan:
”Sesungguhnya, Allah telah menyebutkan di dalam kitab Taurat, Injil, Zabur dan kitab Furqan/Al-Qur’an dan di dalam semua kitabNya, bahwa Dia telah memerintahkan di dalam kesemuanya, dan telah memberi wahyu kepada semua utusanNya, bahwa kerelaanNya itu tergantung dengan kerelaan dua orangtua dan murkaNya tergantung kepada kemarahan kedua orangtua.”
Lantaran sangat pentingnya bagi seorang anak berbakti kepada kedua orangtuanya itulah, Rasulullah saw kemudian bersabda: ” ... amal yang lebih disukai Allah adalah berbakti pada orangtua, dan jihad fii sabiilillaah” (HR. Bukhari – Muslim). Pertanyaannya sekarang ialah, tidak inginkah kita disukai dan disenangi oleh Allah SWT? Semoga, dengan sebab kemurahanNya, kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menerima kenikmatan besar seperti yang telah Dia firmankan dalam surat Al-Muthaffifin ayat 22:
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga)” F




Empat
Akar
Penyakit Hati



Menurut para ahlul suffah, ’makanan suplemen’ virus penyakit hati itu adalah, setiap tindakan atau amal perbuatan yang dilakukan manusia dengan maksud untuk ’menentang’, ’melawan’ dan ’menolak’ semua perintah serta larangan dari Allah dan RasulNya. Artinya, ketika seorang hamba itu memilih untuk tidak mau patuh pada perintah agamanya, maka pilihannya tersebut akan berubah menjadi ’makanan suplemen’ bagi virus penyakit hati. VIRUS penyakit hati yang ada di dalam diri seseorang itu, tak ubahnya seperti sebuah pohon yang tumbuh di muka bumi. Ada akar, ada batang, ada cabang, ada ranting dan ada daunnya. Ia bisa tumbuh-subur jika berada di tempat yang tepat. Apalagi jika pohon tersebut dirawat dengan sungguh-sungguh dan diberi pupuk dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhannya, maka ia pun akan menjadi semakin rimbun dan subur. Tunas, bunga dan buah yang tumbuh pun bisa membuat hati yang memandangnya menjadi senang.
Sebaliknya, jika pohon itu tumbuh di tempat yang salah --- dan tidak mendapat perawatan secara maksimal ---, maka ada dua kemungkinan yang bakal terjadi. Yaitu, pertama, ia tidak bisa berkembang dengan baik alias mati atau hidup tapi kerdil. Kedua, ia akan tumbuh-subur dalam kondisi diluar kendali. Artinya, pertumbuhannya tidak bisa terkontrol dengan baik, sehingga membuat tanaman yang ada di sekitarnya pun menjadi ’terganggu’ karena adanya efek dari besarnya kebutuhan pohon tersebut terhadap sumber-sumber makanan yang ada di sekitarnya. Buntutnya, tentu saja bisa mengakibatkan rusaknya mata rantai makanan bagi tanaman yang lain.
Dengan kata lain, sumber makanan yang sedianya adalah ’jatah’ untuk tanaman yang ada di sekitar pohon tersebut, tiba-tiba diambil alih atau ’diserobot’ --- tentu saja atas seijin Allah SWT --- oleh pohon yang sedang membutuhkan sumber makanan yang cukup besar itu. Akibatnya, sang pohon bisa tumbuh-kembang dengan leluasa (karena gizi makanan yang ia dapatkan jumlahnya berlebih), sedang tanaman kecil yang ada di sekitarnya akan kekurangan gizi.
Demikian juga halnya dengan virus penyakit hati yang ada di dalam diri manusia. Jika ia dipelihara dan dirawat --- baik secara disengaja maupun tidak disengaja --- maka ia akan tumbuh subur tak ubahnya seperti sebuah pohon yang memiliki akar yang kokoh. Apalagi kalau virus penyakit hati tersebut diberi ’makanan suplemen’[3] secara teratur, maka dapat dipastikan, ia pun akan menjadi semakin tumbuh-subur. Jika virus penyakit hati itu sudah tumbuh-subur di dalam diri manusia, maka segala kemungkinan negatif dapat terjadi dengan mudah pada si penderita. Misalnya, melakukan aksi membangkang syari’at agama, baik itu berupa perintah maupun laranganNya. Orang yang telah terkena virus penyakit hati, cenderung merasa lebih ringan ketika ia memilih untuk nerabas syari’atNya.
Pertanyaannya sekarang ialah, apa to ’makanan suplemen’ virus penyakit hati itu? Menurut para ahlul suffah, ’makanan suplemen’ virus penyakit hati itu adalah, setiap tindakan atau amal perbuatan yang dilakukan manusia dengan maksud untuk ’menentang’, ’melawan’ dan ’menolak’ semua perintah serta larangan dari Allah dan RasulNya. Artinya, ketika seorang hamba itu memilih untuk tidak mau patuh pada perintah agamanya, maka pilihannya tersebut akan berubah menjadi ’makanan suplemen’ bagi virus penyakit hati.
Semakin sering manusia melakukan pelanggaran, penolakan dan perlawanan terhadap syari’at agamanya, maka virus penyakit hati yang ada di dalam dirinya akan semakin senang. Sebab, bagi virus penyakit hati, perbuatan melanggar, menolak dan melawan syari’at agama yang dilakukan oleh manusia itu, pada dasarnya, merupakan ’energi pokok’ yang dibutuhkan oleh virus penyakit hati untuk bisa tumbuh subur di ladang hati manusia.Semakin sering manusia melakukan pelanggaran, penolakan dan perlawanan terhadap syari’at agamanya, maka virus penyakit hati yang ada di dalam dirinya akan semakin senang. Sebab, bagi virus penyakit hati, perbuatan melanggar, menolak dan melawan syari’at agama yang dilakukan oleh manusia itu, pada dasarnya, merupakan ’energi pokok’ yang dibutuhkan oleh virus penyakit hati untuk bisa tumbuh subur di ladang hati manusia. Jadi, setiap kali manusia tidak ta’at pada perintah dan laranganNya, maka perbuatan itu akan menjadi ’makanan suplemen’ bernilai gizi tinggi bagi pertumbuhan virus penyakit hati.
Karena itu, para ahlul kasyaf sering kali mengingatkan para pejalan rohani agar berhati-hati betul dengan masalah hawa nafsu. Sebab, pergerakkannya di dalam diri manusia sifatnya tersembunyi, licin dan licik. Oleh sebab itu, kata ahlul kasyaf, barang siapa yang memperturutkan hawa nafsunya, maka perbuatan itu sama artinya ia telah memberi ’makanan suplemen’ bernilai gizi tinggi bagi virus penyakit hati. Apa sebabnya?
Karena, virus penyakit hati paling senang jika melihat manusia mau melakukan perbuatan yang dianjurkannya. Seperti berbuat ‘ujub, riya’, takabbur, hasud, dengki, dan iri. Maklum, virus penyakit hati memang selalu berusaha mempengaruhi dan merangkul hawa nafsu manusia untuk menjadi mitra kerjanya dalam menyeret manusia agar menjauh dari jalan kebajikan.
Sebaliknya, kata ahlul kasyaf, barang siapa yang mau berjuang untuk melemahkan hawa nafsunya sendiri, maka insya Allah, orang tersebut akan mendapat pertolongan dan kemurahan dari Allah Azza wa Jalla. Apalagi melalui surat Al-Israa’ ayat 36, Allah SWT telah berfirman kepada manusia:
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Ayat di atas menunjukkan dengan tegas, bagaimana Allah SWT telah melarang hamba-hambaNya untuk mengikuti ajakan yang disampaikan oleh hawa nafsunya. Apalagi ajakan yang disuarakan oleh hawa nafsu itu, mayoritas bersifat penuh jebakan dan tipu daya. Lantaran itulah, Allah SWT kemudian dengan tegas mengingatkan manusia, bahwa ”sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Tujuan Allah mengingatkan manusia dengan cara seperti itu, sudah barang tentu adalah, untuk ’membatasi’ ruang gerak manusia agar tidak sembrono dalam menjaga amanah yang telah diberikan Allah terkait dengan masalah yang berhubungan dengan fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Sebab, kata Allah, pendengaran, penglihatan dan hati yang ada dalam diri setiap makhlukNya itu, kelak akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Atau perhatikan pula bagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Anfaal ayat 29 berikut ini:

”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Jika kita perhatikan secara seksama, dari ayat tersebut, paling tidak, ada empat ( 4 ) hal penting yang perlu mendapat perhatian kita. Yaitu, pertama, mengenai seruan Allah SWT yang ditujukan kepada orang yang mengaku telah beriman kepada Allah sebagai Tuhan Yang Sebenarnya, dan beriman kepada Sayyidul Mursalin Sayyidina Muhammad saw sebagai RasulNya. Ungkapan ”Hai orang-orang beriman,” menggambarkan dengan jelas tentang bagaimana seriusnya Allah SWT dalam perkara yang akan disampaikanNya kepada orang-orang yang mengaku telah beriman kepadaNya tersebut.
Kedua, ungkapan yang berbunyi in tattaqullaaha yaj’allakum furqaanaa (”jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaanaa/pembeda”), menggambarkan tentang bagaimana hukum sebab-akibat yang bakal dihadapi oleh manusia yang mengaku telah beriman kepadaNya. Jika seorang hamba itu betul-betul telah beriman kepadaNya, maka tentu ada konsekuensinya. Yaitu, ia harus mau ta’at dan patuh pada setiap perintah dan laranganNya.
virus penyakit hati paling senang jika melihat manusia mau melakukan perbuatan yang dianjurkannya. Seperti berbuat ‘ujub, riya’, takabbur, hasud, dengki, dan iri. Maklum, virus penyakit hati memang selalu berusaha mempengaruhi dan merangkul hawa nafsu manusia untuk menjadi mitra kerjanya dalam menyeret manusia agar menjauh dari jalan kebajikan. Sebab, mena’ati perintahNya dan menjauhi laranganNya, merupakan cermin dari pribadi seorang hamba yang bertaqwa kepadaNya. Sedang jalan ikhtiar manusia untuk menuju taqwa kepadaNya itu sendiri, merupakan pintu bagi masuknya karunia Allah atas dirinya. Yakni, ia akan mendapat ’hadiah’ berupa anugerah pandangan yang jernih tentang jalan kebenaran. Lewat pandangan yang jernih itulah, ia kelak akan dituntun oleh Allah SWT untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.
Ketiga, ungkapan pernyataan Allah yang berarti --- ”Dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu”--- merupakan buah dari ketaqwaan seorang hamba kepadaNya. Artinya, jika seorang hamba yang mengaku telah beriman itu memilih jalan taqwa kepadaNya, maka insya Allah ia akan memperoleh ’hadiah’ dari Tuhan Yang Sebenarnya. Yaitu, dibukanya hijab dan dijauhkanNya dari berbuat dosa.
Keempat, pernyataan Allah --- ”dan mengampuni (dosa-dosa)mu”--- menggambarkan dengan jelas tentang betapa Maha Pemurahnya Allah. Dia berjanji untuk tidak akan menghukum hambaNya yang berjuang menuju taqwa. Bahkan, sebaliknya, Allah berjanji akan mengampuni dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh hambaNya yang ingin bertaqwa kepadaNya. Itulah sifat Allah, Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Dia mempunyai karunia yang sangat besar. Dan karunia itu sendiri, sudah barang tentu, akan diberikan hanya kepada orang-orang yang bertaqwa kepadaNya.
Bentuknya antara lain, bakal memperoleh ketenangan di dalam hati dan keimanannya kepada Allah Rabbul ’Izzati pun akan bertambah. Selain, Allah SWT juga akan menghilangkan rasa panas --- akibat adanya efek dari virus penyakit hati --- yang ada di dalam hati orang-orang mukmin. Janji tersebut telah ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Fath ayat 4 dan surat At-Taubah ayat 15:


“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (Qs. al-Fath: 4)
“dan menghilangkan panas dalam hati orang-orang mukmin.” (Qs. At-Taubah : 15)

Di samping itu, Allah juga telah menjanjikan kepada hambaNya yang ingin bertaqwa dan melakukan amal kebajikan, hati mereka akan ditaburi benih-benih cinta dan kasih sayang, seperti yang telah difirmankanNya di dalam surat Maryam ayat 96:

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”

Dari uraian yang telah dipaparkan tersebut, maka dapatlah kita tarik sebuah kesimpulan penting sehubungan dengan masalah tentang akar penyakit hati yang ada di dalam diri setiap makhluk hidup yang bernama manusia. Yaitu, bahwa akar virus penyakit hati yang ada di dalam diri manusia itu, muncul karena ia tidak punya iman yang benar kepada Allah dan RasulNya. Sebab, kalau memang manusia itu punya iman yang benar kepada Allah dan RasulNya, maka tentulah ia tidak akan mungkin memilih untuk melakukan berbagai pelanggaran syari’at di muka bumi ini.
Sedang iman yang benar itu sendiri adalah meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Allah adalah Tuhan Yang Sebenarnya, dan Sayyidul Mursalin Sayyidina Muhammad saw adalah Nabi dan RasulNya. Termasuk
... akar virus penyakit hati yang ada di dalam diri manusia itu, muncul karena ia tidak punya iman yang benar kepada Allah dan RasulNya. Sebab, kalau memang manusia itu punya iman yang benar kepada Allah dan RasulNya, maka tentulah ia tidak akan mungkin memilih untuk melakukan berbagai pelanggaran syari’at di muka bumi ini. meyakini bahwa segala yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya itu adalah untuk kebajikan bagi manusia itu sendiri, dan segala yang dilarang oleh Allah dan RasulNya itu adalah jalan kesesatan yang harus dihindari.
Yang jelas, kata salafus shalih, iman yang benar itu bisa berubah menjadi tidak benar, jika manusia yang mengaku telah beriman itu tidak mau patuh, tunduk serta ta’at kepada Allah dan RasulNya dalam segala keadaan. Indikatornya bisa dilihat dari bagaimana sikapnya ketika diseru dan diajak untuk menuju jalan kebajikan. Apakah ia akan menyambutnya dengan senang hati atau malah gerundelan?
Jika iman seseorang itu kepada Allah dan RasulNya telah benar-benar terpatri di dalam hatinya, kata salafus shalih, maka seharusnya ia menyambut dengan suka-cita setiap perintah Allah dan RasulNya, dan meninggalkan setiap laranganNya dengan hati yang gembira. Termasuk, ia tidak perlu bersedih hati ketika hawa nafsunya menjadi lemah dan kenikmatan duniawi tiba-tiba menjauh dari jalan hidupnya. Apalagi Allah Azza wa Jalla sendiri telah berfirman di dalam surat Ali-Imran ayat 139:

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati. Padahal, kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”

Bahkan dalam surat At-Taghaabun ayat 11, Allah SWT dengan tegas mengatakan kepada manusia yang mengaku telah beriman kepadaNya, bahwa mereka tidak perlu khawatir dalam menjalani lakon hidup ketika berada di dunia ini. Sebab, Allah berjanji akan memberinya petunjuk lewat hatinya:


“dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Di samping, sudah barang tentu, Allah juga telah menjanjikan pada manusia yang mau memilih jalan taqwa kepadaNya, akan diberi kehidupan yang baik sebagai balasan dari amal kebajikan yang telah ia lakukan di muka bumi ini. Karena itu, mereka tidak perlu merasa khawatir. Sebab, Allah akan menjadi penjaminnya. Perhatikan saja firmanNya dalam surat Al-Baqarah ayat 277 dan surat An-Nahl ayat 97 berikut ini:


”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. 2: 277)


”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs.16: 97)

Sebaliknya, kata Allah, jika manusia itu tidak mau memilih jalan taqwa kepadaNya --- lantaran merasa lebih senang memelihara virus penyakit hati di dalam dirinya --- maka ia kelak akan menjadi orang-orang yang lalai. Sebab, mereka tidak menjaga amanah Allah berupa hati, mata dan telinganya sebagai alat untuk menuju jalan taqwa kepadaNya. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni neraka jahannam, seperti yang telah difirmankanNya di dalam surat Al-A’raaf ayat 179:


”Dan sesungguhnya, Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam itu) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Semoga, dengan sebab kemurahan dan pertolonganNya, kita diselamatkan dari perbuatan orang-orang yang lalai karena tidak bisa menjaga amanahNya. Dan semoga, dengan sebab kemurahanNya pula, kita diberi kemampuan untuk selalu berada di jalan kebajikan serta dijauhkan dari pengaruh virus penyakit hati yang bisa membuat hancurnya bangunan iman-Islam kita. Amiin. F







Lima
Macam-Macam
Penyakit Hati
[4]


PENYAKIT hati itu, pada dasarnya, banyak macamnya. Ia ada dalam setiap diri manusia. Tidak peduli apakah orang itu adalah laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin, pejabat atau rakyat biasa. Yang jelas, penyakit hati tidak pernah mengenal kedudukan dan status sosial seseorang. Ia bisa saja muncul dan tumbuh-subur di dalam diri seorang ulama, kiai, presiden, perdana menteri, sultan, raja dan atau rakyat biasa.
Singkat kata, dalam setiap makhluk hidup yang bernama manusia --- dengan segudang embel-embel yang melekat pada dirinya --- pasti ada virus penyakit hatinya. Hanya Nabi, Rasul dan para KekasihNya saja, yang bisa steriil dari virus penyakit hati, karena telah dijamin oleh Allah.
Terkait dengan masalah tidak adanya jaminan dari Allah terhadap manusia biasa seperti kita ini untuk bisa steriil dari virus penyakit hati itulah, maka penting kiranya bagi kita untuk mengetahui dan mengenali macam-macam penyakit hati yang ada di dalam kita sendiri. Sebab, jika kita tidak mengenalinya dengan baik, maka efek resiko yang bakal kita tanggung dari virus penyakit hati yang ada di dalam diri kita itu, bisa membuat rusaknya amal kebajikan yang telah kita lakukan di muka bumi ini.
Setiap makhluk hidup yang bernama manusia --- dengan segudang embel-embel yang melekat pada dirinya --- pasti ada virus penyakit hatinya. Hanya Nabi, Rasul dan para KekasihNya saja, yang bisa steriil dari virus penyakit hati, karena telah dijamin oleh Allah. Jika hal itu sampai terjadi, maka tentu sudah terlambat bagi kita untuk menyesalinya. Apalagi jika kita sudah berada di majelis persidangan yang akan digelar oleh Allah di akhirat kelak.
Pertanyaannya sekarang ialah, apa saja macam-macam penyakit hati yang ada di dalam diri manusia itu? Jawabannya adalah sebagai berikut:

‘Ujub
‘Ujub adalah sikap berbangga diri. Sebetulnya, rasa bangga itu tak dilarang. Semua orang berhak memiliki rasa bangga. Misalnya, bangga sebagai warga negara Indonesia, bangga karena berhasil membantu aparat keamanan menangkap penjahat, bangga karena berhasil naik kelas, atau bangga karena berhasil meraih prestasi.
Berbangga hati, pada dasarnya, boleh-boleh saja. Akan tetapi, jika kita telah dihinggapi rasa bangga, maka kita perlu bersikap waspada dan hati-hati. Sebab, pada saat itu, hawa nafsu kita akan lebih leluasa masuk dan memodifikasi rasa bangga kita tadi dengan campuran rasa sombong (takabbur) dan merasa “lebih”, sedang yang lain “minus”. Maka jadilah berbangga diri. Artinya, unsur “aku”-nya, sangat kuat menonjol.
Misalkan saja, seorang mahasiswa berhasil meraih prestasi gemilang pada saat kelulusannya dengan predikat cummelaude. Tentu saja ia patut merasa bangga. Sebab, di antara sekian banyak mahasiswa di jurusannya, ia bisa terpilih sebagai yang terbaik. Kemudian, hawa nafsu akan mengusik hatinya dengan berbagai pujian yang membuat hatinya berubah menjadi ‘ujub dan mabuk kepayang.
“Lihatlah aku. Gagah berdiri di depan sebagai penerima prestasi terbaik. Alangkah hebatnya aku. Tidak sia-sia kerja kerasku untuk belajar selama ini. Otakku memang cemerlang.” Demikian bisikan menggema di hatinya berulang kali.
Bisikan hawa nafsu tak berhenti sampai di situ. Justru sebaliknya, ia malah memperbanyak peluang bagi manusia untuk berbuat dosa. Maka dialihkannya lagi rasa ‘ujub tadi ke arah mencela orang lain. “Huh! Lihatlah, betapa bodohnya orang-orang itu. Mereka hanya duduk memandangiku sambil terkagum-kagum. Makanya, kalau jadi mahasiswa itu jangan malas-malas dan molor melulu. Akibatnya, tidak dapat memberikan kebanggaan kepada orangtua. Nilai pas-pasan. Bakal mau jadi apa kalian? Paling-paling akan menambah barisan para pengangguran.”
Tanpa disadari, rasa bangga tadi telah mengalami perubahan menjadi ‘ujub atau berbangga diri, sombong (takabbur) dan merendahkan orang lain. Disitulah pintarnya hawa nafsu dalam membujuk kita untuk berbuat dosa. Padahal, rasa bangga tadi, jika tidak memperturutkan hawa nafsu, sebetulnya bisa disinambungkan dengan rasa kesyukuran kepada Allah.
Hati yang bersyukur, akan mensikapi rasa bangga karena keberhasilannya dengan berkata: Segala puji bagiMu, ya Allah. Engkau telah memberikan aku nikmat yang besar. Segala puji bagiMu yang telah memberikan keberhasilan ini kepadaku. Otakku ini adalah milikmu. Demikian pula dengan kecerdasan dari otak ini, juga adalah anugerah dariMu. Semua yang hamba peroleh ini, tiada lain adalah, mutlak milikMu.
Maka, kepada Engkaulah aku kembalikan rasa bangga ini. Berikanlah kepadaku akan kebaikan-kebaikan yang terkandung dalam keberhasilan ini. Dan hindarkanlah aku dari keburukan yang terkandung di dalamnya. Ampunilah aku, ya Allah, jika keberhasilan ini bakal membuat aku jadi tergelincir ke dalam neraka. Demikianlah bisik dan tangis dari hati orang yang bersyukur. Tak ada rasa untuk membanggakan diri. Apalagi untuk bersikap sombong (takabbur) dan melecehkan orang lain.
Dari gambaran tersebut dapat dikatakan, orang yang suka berbangga diri itu, akan membuka lebar pintu kesombongan (takabbur), menghina dan merendahkan orang, serta melupakan rahmat Allah yang telah diterimanya. Alangkah panjangnya rentetan yang muncul sebagai akibat dari adanya rasa ‘ujub atau berbangga diri itu.
orang yang suka berbangga diri itu, akan membuka lebar pintu kesombongan (takabbur), menghina dan merendahkan orang, serta melupakan rahmat Allah yang telah diterimanya.Apalagi jika rasa bangga diri itu disiram dengan berbagai pujian, maka semakin menjadi-jadilah sifat ‘ujub dan takabbur yang ada di dalam hati manusia. Pada saat yang bersamaan, setan pun akan merasa puas dan menari-nari kegirangan. Oleh karena itulah, Rasulullah saw melarang seseorang memberikan pujian. Terutama jika pujian itu akan mengakibatkan adanya rasa ‘ujub dan takabbur pada diri orang yang dipuji.
Suatu ketika, Nabi saw mendengar seseorang dipuji di depan beliau. Kemudian beliau bersabda kepada orang yang memberikan pujian itu: “Kamu telah memotong leher kawanmu sendiri.” Pernyataan itu beliau ulang sampai tiga kali.
Kemudian beliau memberikan jalan keluarnya, seraya bersabda: “Jika salah seorang dari kalian akan memuji orang lain, maka hendaklah berkata begini: “Saya kira, ia begini dan begitu.” Biarlah Allah sendiri yang menjadi penentu tentang kebenarannya. Jangan sampai kalian mendahului Allah dalam memuji seseorang” (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Bakrah ra).
Namun, bukan berarti Rasulullah saw tidak membolehkan seseorang memberikan pujian terhadap orang lain. Dalam hadis yang berbeda, Rasulullah saw membolehkan seorang sahabat memuji seorang yang sangat kuat dalam beribadah.
Bahkan, dalam sejumlah riwayat disebut, bahwa Rasulullah saw sendiri juga memberikan pujian kepada sahabat-sahabat beliau. Oleh karena itu, para ulama berpandangan bahwa pujian itu diperbolehkan jika ditujukan kepada orang yang dianggap kuat imannya dan tidak akan terpengaruh hatinya lantaran isi pujian itu.
Dalam hal ini, sudah barang tentu, seseorang dituntut untuk bersikap ekstra hati-hati. Sebab, setan bisa menyusup di antara hal-hal yang diperbolehkan itu. Setan akan selalu memberikan berbagai alasan untuk membenarkan tindakan seseorang dalam memberikan pujian. Akibatnya, jika ternyata keimanan orang yang dipuji itu tidak mampu menangkis serangan penyakit ‘ujub di hatinya, maka jadi rusaklah imannya.

Takabbur
takabbur atau sombong, merupakan salah satu penyakit hati yang paling dibenci oleh Allah. Simak saja firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 23:

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang sombong.”
Dalam ayat yang lainnya, Allah menyatakan bahwa Dia akan mengunci mati hati orang-orang yang sombong, serta memalingkan mereka dari kemampuan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Diantaranya dalam surat Al-Mu’min ayat 35:
“… Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.”
Perhatikan juga firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 146:


“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaanKu. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. Tetapi, jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.”
Bahkan Allah telah menegaskan, bahwa tidak ada tempat di surga untuk orang yang ada sedikit kesombongan di dalam hatinya. Mereka yang sombong justru akan dilemparkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina, seperti yang telah difirmankanNya di dalam surat Al-Mu’min ayat 60 berikut ini:

”Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw sendiri pernah bersabda: “Orang yang mempunyai sifat sombong di dalam hatinya, meskipun hanya sebesar biji sawi, maka tak akan masuk surga.”
Allah telah menegaskan, bahwa tidak ada tempat di surga untuk orang yang ada sedikit kesombongan di dalam hatinya. Mereka yang sombong justru akan dilemparkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.‘Kebencian’ Allah dan RasulNya terhadap manusia yang bersikap sombong itu, tentu saja sangat beralasan. Sebab, perbuatan tersebut jelas telah mengambil posisi ingin menyamai Allah. Atau dengan kata lain, orang yang sombong itu sama halnya dengan menjadikan dirinya sebagai tuhan. Sebab, kesombongan itu mutlak merupakan milik Allah semata.
Dalam hadis Qudsi yang bersumber dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: Allah telah berfirman: ”Kesombongan itu adalah selendangKu dan Keagungan adalah pakaianKu. Barangsiapa yang mengambil salah satunya dariKu, maka Aku akan melemparkannya ke dalam neraka Jahannam, dan Aku tidak akan memperdulikannya.”
Oleh karena kesombongan itu merupakan bentuk lain dari telah ’menuhankan’ diri sendiri, maka tak heran jika sikap sombong memiliki derivasi yang paling banyak jika dibandingkan dengan penyakit hati lainnya yang menggerogoti benteng iman-Islam manusia. Diantaranya, sikap sombong dapat membuat orang jadi merasa paling bisa, merasa paling tahu, merasa paling mampu, merasa lebih baik, merasa lebih benar dan merasa lebih kuasa.
Derivasi lainnya yang akan muncul karena sikap sombong ini adalah, orang yang hatinya lagi sakit itu jadi suka merendahkan dan melecehkan orang lain, menganggap dirinya sendiri lebih tinggi dan lebih mulia derajatnya, suka mencari dan melihat kekurangan orang lain dan melebih-lebihkan diri sendiri. Di samping itu, sikap sombong juga acapkali memunculkan rasa dengki, iri hati, suka pamer, culas dan tidak suka jika orang lain memperoleh kebahagiaan. Masih banyak lagi derivasi lainnya yang muncul karena sikap sombong. Misalnya, egois, bersikap seenak perutnya sendiri terhadap orang lain, suka sewenang-wenang dan maunya menang sendiri, berbuat aniaya (dzalim) dan melampaui batas.
Jika ia memberi, maka suka diungkit-ungkitnya lagi untuk menunjukkan ’keakuan’ dan kemampuannya, serta mengukur kebenaran dengan hawa nafsunya sendiri. Muara dari semua itu adalah, mengingkari rahmat Allah dan tak mau mensyukuri nikmat Allah. Dan tentu saja, perbuatan yang demikian itu adalah seburuk-buruk akhlaq manusia. Oleh karena itu, mereka yang berlaku sombong, kelak di akhirat, ia tidak akan dilihat, tidak akan diajak bicara dan tidak akan diampuni dosanya oleh Allah.
Menurut ahlul kasyaf, ada beberapa celah yang sering dilakukan setan untuk meniupkan sikap ‘ujub dan takabbur ke dalam diri manusia. Diantaranya adalah: pertama, lewat prestasi atau keberhasilan. Lewat cara ini, setan biasanya menghembuskan pujian-pujian ke dalam hati, sehingga seseorang jadi terlena dan merasa hebat karena kemampuan dan kecerdasan akalnya. Akibatnya, orang jadi suka melecehkan dan merendahkan orang lain.
Celah yang kedua, lewat harta kekayaan. Orang yang kaya, akan diusik hatinya oleh setan agar merasa lebih giat dalam berusaha daripada orang yang miskin. Jika hawa nafsunya telah terpedaya, maka ia akan menganggap bahwa kaya dan miskin itu merupakan ukuran keras atau tidaknya upaya seseorang dalam mencari rezeki. Karenanya, ia akan merasa dirinya lebih tinggi derajatnya daripada orang yang miskin.
“Orang bisa kaya itu karena pandai dalam membaca peluang sumber rezeki. Sedang orang yang miskin itu bodoh dan tak bisa melihat sumber-sumber rezeki, meskipun sudah ada di depan matanya.” Demikianlah anggapan orang kaya yang telah menjadi ’korban’ akibat termakan bujuk rayu setan dan hawa nafsunya sendiri.
Buntut-buntutnya, orang yang kaya itu sangat boleh jadi nanti akan menjadi pelit (bakhil) dan tak mau membagi hartanya kepada fakir miskin. Sebab, ia merasa semua kekayaannya itu diperoleh dengan cara kerja keras. Kalaupun memberi, selalu dipamerkan. Jika pemberiannya tidak memperoleh balasan sesuai dengan harapannya, maka ia tak sungkan untuk mengungkit-ungkit pemberiannya. Menurut ahlul kasyaf, orang yang hatinya sakit, biasanya, ia hanya senang memberi kepada para pejabat-pejabat penting yang punya pengaruh dalam upaya melancarkan bisnisnya. Sedang, kalau memberi kepada orang miskin, ia lebih cenderung menyertainya dengan gerundelan atau gerutuan yang menyakitkan hati orang.
Celah yang ketiga adalah, lewat status sosial. Celah yang satu ini, biasanya ditemukan oleh setan pada orang-orang yang punya jabatan, pekerjaan dan derajat sosial yang tinggi di masyarakat. Kepada mereka, setan akan mengipas-ngipasi isu kemuliaan harkat dan martabat diri. Mereka yang termakan oleh isu setan tersebut, akan cenderung merasa lebih mulia, lebih baik dan karenanya lebih layak untuk mendapatkan penghormatan.
Akibatnya, mereka jadi gila hormat dan menganggap orang lain tak tahu aturan, manakala tidak memberikan penghormatan sebagaimana yang diinginkannya. Mereka juga jadi cenderung menganggap orang lain lebih rendah daripada dirinya, serta mudah mengklaim orang lain sebagai pihak yang salah, dan dirinyalah yang paling benar.
Celah yang keempat adalah lewat pakaian. Lewat celah ini, setan akan memperdaya manusia agar menjadi sombong. Mereka yang telah menjadi korban bujukan setan, akan melihat pakaian sebagai lambang prestise, status sosial, martabat dan harga diri. Bahkan, orang yang mengenakan busana muslimah (bagi wanita muslimah), juga dapat terkena bujukan setan ini.
Kendati busana yang dikenakan menutup aurat, akan tetapi di hatinya terbetik rasa sombong karena busananya itu membuat dirinya jadi terlihat jauh lebih cantik daripada orang lain yang ada di sekitarnya. Atau, rasa sombong itu muncul karena busananya berharga sangat mahal dan hanya orang-orang ‘spesial’ yang dapat memilikinya.
Oleh karena itu, Rasulullah saw melarang banyak hal yang berkaitan dengan masalah penampilan manusia. Seperti, masalah memakai konde, mencabut uban dari kepala dan janggut, mencukur alis, mencabut bulu mata, membuat tahi lalat palsu dan melakukan pangur gigi. Adanya larangan tersebut, bukan semata-mata disebabkan karena hal itu telah merubah ciptaan dan pemberian Allah. Akan tetapi lebih dikarenakan, jika seseorang mulai melakukan sesuatu demi untuk mempercantik (atau mempertampan) diri dan menutup kekurangan dirinya, maka virus takabbur akan mudah masuk dan menggerogoti hati seseorang.
Bersamaan dengan itu, manusia jadi lupa bersyukur pada rahmat dan nikmat Allah yang telah dimilikinya. Rasulullah saw juga telah wanti-wanti kepada umatnya dalam masalah pakaian. Dalam sebuah hadis, beliau melarang kaum laki-laki menggunakan kain sutera dan memperpanjang kain sampai di bawah mata kaki. Sebab, dikhawatirkan hal itu akan memicu hadirnya rasa sombong.
Dikisahkan, suatu ketika, Ibnu Umar melihat seorang laki-laki memanjangkan kainnya sampai di bawah mata kaki. Melihat pemandangan itu, ia berkomentar: “Sesugguhnya setan mempunyai banyak teman.” Kalimat itu diulang-ulangnya sampai dua-tiga kali.
Kisah lainnya menyebutkan, Mathraf bin Abdullah bin Asy-Syakhir pernah melihat Al-Muhlab berjalan sambil mengibas-ngibaskan jubah suteranya. Lalu Mathraf berkata: “Hai hamba Allah, ketahuilah, itu adalah gaya berjalan yang dimurkai Allah dan RasulNya.” Mendengar teguran itu, Al-Muhlab jadi heran, karena Mathraf tidak memanggil namanya. Padahal mereka saling kenal. Kemudian Al-Muhlab mendekat dan bertanya: “Apakah kau tidak mengenalku?”
Mathraf langsung menjawab: “Tentu saja aku mengenalmu. Engkau adalah makhluk yang pada mulanya berasal dari setetes air mani, dan selanjutnya akan berakhir menjadi seonggok bangkai yang kotor. Sedang di antara kedua masa itu, engkau selalu membawa kotoran di perutmu.” Mendengar kata-kata Mathraf itu, Al-Muhlab segera berlalu dan cara berjalannya tidak bergaya lagi.
Celah yang kelima adalah, lewat kekuatan fisik. Kekuatan fisik dapat menjadi peluang masuk bagi setan untuk menggelincirkan seseorang ke dalam jurang takabbur. Orang yang kuat ototnya, akan merasa dirinya paling hebat, paling kuat dan berkuasa. Akibatnya, ia akan bertindak semaunya sendiri, merendahkan orang dan berlaku dzalim terhadap orang lain atau melampaui batas.
Banyak kasus penganiayaan dan pertengkaran yang terjadi dikarenakan adanya virus takabbur yang ditiupkan oleh setan dan ditangkap oleh nafsu amarah. Sehingga, orang lebih senang melakukan adu otot untuk membuktikan siapa yang paling kuat dan hebat. Padahal, Rasulullah saw telah memberikan patokan tentang ukuran orang yang kuat. Yakni orang yang dapat mengendalikan nafsu amarahnya.
Celah yang keenam adalah, lewat amal shalih. Cara inilah yang paling sering dilakukan setan. Banyak tipe kesombongan yang ditiupkan setan kepada orang-orang yang beramal shalih. Biasanya, ciri-ciri orang yang termakan bujukan setan tersebut diantaranya, mereka jadi merasa karena amal kebajikan yang telah dilakukannya itulah, maka mereka bisa memperoleh banyak nikmat dari Allah SWT.
Selain itu, ia juga merasa lebih baik, karena merasa telah banyak melakukan amal kebajikan, merasa lebih tinggi derajatnya daripada orang lain, merasa lebih mulia kedudukannya di sisi Allah karena banyaknya amal kebajikan yang telah dilakukan. Akibatnya, orang jadi cenderung memamerkan amal kebajikannya. Beramal dengan cara memaksa diri karena mengharapkan pujian orang tentang keshalihannya, tidak ikhlas dan merasa eksklusif.
Celah ketujuh adalah, lewat gerak dan isyarat tubuh. Ada sebuah kisah tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebelum ia diangkat sebagai khalifah, ia terlebih dahulu pergi menunaikan haji. Dalam pelaksanaan ibadah haji itu, seorang bernama Thawus memperhatikan gerak-gerik Umar yang berjalan dengan gaya orang angkuh. Maka Thawus segera menghampiri Umar dan menepuk pundaknya, seraya berkata: “Bukan begitu cara berjalan orang yang di dalam perutnya terdapat kotoran.”
Mendengar teguran itu, Umar segera menyadari kekhilafannya dan berkata kepada Thawus dengan penuh nada penyesalan: “Wahai Paman, sungguh pantas jika seluruh tubuhku ini dipukul, agar aku menyadari tentang perbuatanku tadi.”
Celah kedelapan, lewat tutur kata. Tutur kata adalah yang paling kerap dimanfaatkan setan untuk menjerumuskan manusia ke jurang takabbur. Siapa saja, bisa dipastikan telah memiliki celah yang satu ini, kecuali orang yang tidak bisa bicara tentunya. Karena itu, sebagian besar orang, tak ada yang dapat mengklaim dirinya akan terbebas dari celah kedelapan ini.
Satu tutur kata saja, dapat menggelincirkan orang ke dalam kesombongan. Apabila Anda sekedar berkata “Ah!” saja, akan tetapi, jika diucapkan dengan maksud untuk mengenyampingkan harkat dan martabat orang lain, maka hal itu pun sudah merupakan benih kesombongan. Apalagi jika seseorang berbicara banyak, sampai mulutnya berbuih, entah berapa banyak jumlah benih kesombongan yang sudah ia tanamkan ke dalam hatinya.
Mengapa bisa demikian? Jawabannya sederhana saja. Sebab, hati itu mudah terbolak-balik. Dalam sedetik ia bisa berubah dan berbalik 180 derajat. Rasulullah saw berkali-kali mengingatkan umatnya tentang persoalan memanage kata-kata. Beliau pernah bersabda: “Jangan terlalu banyak bicara. Sebab, banyak bicara itu membuat hati jadi keras dan beku.”
Dalam hadis yang lain, beliau saw pernah bersabda: “Orang yang sangat aku benci dan berada paling jauh dariku di hari kiamat, adalah orang yang banyak bicara dan berlagak dalam bicaranya, sehingga justru sukar dipahami orang lain” (HR. At-Tirmidzy, dari Jabir bin Abdillah).
Dari hadis tersebut, Nabi saw tidak mempersoalkan tema atau isi pembicaraannya. Akan tetapi, hawa kesombongan yang menyertai kata-kata yang keluar dari mulut seseorang itulah, yang menjadi titik sentral persoalannya. Jadi, apapun yang Anda katakan, jika disertai dengan nada kesombongan, maka itu berarti, hawa nafsu kita sudah termakan bujuk rayu setan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda: “Jika seseorang, yang karena kesombongannya, kemudian melontarkan kata-kata: ‘Celakalah manusia,’ maka sesungguhnya dialah yang justru paling binasa” (HR. Muslim).

Riya’ & Sum’ah
Riya’ (suka pamer amal kebajikan dan kelebihan) dan sum’ah (memperdengarkan kelebihan dan amalan yang telah dilakukan kepada orang lain), merupakan anjuran setan yang seringkali ditujukan kepada mereka yang selalu peduli tentang pendapat atau kesan orang tentang dirinya. Jika Anda membagi-bagikan uang atau bingkisan kepada fakir miskin di hadapan orang banyak untuk menimbulkan kesan bahwa Anda adalah seorang yang dermawan, maka itu adalah riya’.
Menurut ahlul kasyaf, sikap riya’ dan sum’ah itu merupakan sikap yang mengantarkan seseorang kepada ketidak-ikhlasan. Padahal, Allah sudah memberikan batasan, bahwa setiap hamba hanya boleh melakukan sesuatu semata-mata untuk menjaga kesan tentang dirinya di hadapan Allah. Sedang jika Anda membicarakan kepada orang lain, misalnya, tentang rajinnya Anda memberikan sumbangan bagi pembangunan masjid di beberapa tempat untuk dengan maksud agar orang itu menganggap Anda sebagai orang yang baik hati dan suka beramal, maka itulah yang disebut sum’ah. Perbedaan riya’ dan sum’ah memang sangat tipis.
Menurut ahlul kasyaf, sikap riya’ dan sum’ah itu merupakan sikap yang mengantarkan seseorang kepada ketidak-ikhlasan. Padahal, Allah sudah memberikan batasan, bahwa setiap hamba hanya boleh melakukan sesuatu semata-mata untuk menjaga kesan tentang dirinya di hadapan Allah.
Sebab, sebagai hamba Allah, maka sudah sepatutnyalah jika berusaha memberi kesan yang baik di hadapan Sang Pencipta dan Penguasa seru sekalian alam. “Dan tiadalah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah secara ikhlas, dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Demikian firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Bayyinah ayat 5.
Menurut Imam Ali bin Abi Thalib kw, ada empat tanda orang yang riya’. Yakni, pertama, malas beramal atau beribadah jika sendirian. Sebaliknya, kedua, jika di depan orang lain atau orang banyak, maka ia rajin beramal ataupun beribadah. Kemudian, ketiga, jika dipuji, maka semakin banyak amal yang dilakukannya. Sedang keempat, jika tak ada yang memujinya, maka berkuranglah amalnya, alias tak mau beramal lagi.
Sedang tanda-tanda sum’ah juga ada empat. Yaitu pertama, isi pembicaraannya bermaksud untuk memperdengarkan amal kebajikan yang telah dilakukan dan kelebihan dirinya. Kedua, kata-kata yang diucapkan dirangkai sedemikian rupa, untuk memberi kesan bahwa dirinya baik, banyak melakukan amal shalih dan memiliki kelebihan.
Ketiga, jika dipuji, maka semakin senang hatinya dan kian rajin memperdengarkan amalan dan kelebihannya. Sedang keempat, jika tidak dipuji, maka hatinya jadi kecewa. Tapi, ia tetap memperdengarkan amalan dan kelebihannya, agar kesan orang tentang dirinya yang baik dan memiliki kelebihan, selalu tetap terjaga.
Misalnya, seseorang berkisah tentang perjalanannya yang melelahkan dari sebuah dusun terpencil. Ketika ia ditanya, ada acara apa di dusun terpencil itu? Ia menceritakan bahwa dirinya membagi-bagikan bingkisan sembako di dusun itu karena kasihan melihat penduduknya yang tergolong masih sangat miskin.
Ketika ia mulai bercerita tentang beratnya perjalanan yang dilalui menuju dusun terpencil itu, sebetulnya ia sudah menduga akan ditanya tentang urusannya di sana. Dan ketika ia menceritakan amal kebajikannya itu, ia tengah memberi kesan bahwa dirinya adalah orang yang suka beramal dan peduli pada orang miskin. Itulah contoh sum’ah.
Menurut Imam Ali bin Abi Thalib kw, ada empat tanda orang yang riya’. Yakni, pertama, malas beramal atau beribadah jika sendirian. Sebaliknya, kedua, jika di depan orang lain atau orang banyak, maka ia rajin beramal ataupun beribadah. Kemudian, ketiga, jika dipuji, maka semakin banyak amal yang dilakukan. Sedang keempat, jika tak ada yang memujinya, maka berkuranglah amalnya alias tak mau beramal lagi. Masih banyak contoh-contoh lainnya yang sering dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, suami menjelekkan istri untuk memberi kesan bahwa dia adalah suami yang penyabar. Istri menjelekkan suami untuk memberi kesan bahwa dirinya adalah istri yang shalihah. Mahasiswa membantah dosennya di depan kelas dengan bahasa yang sulit dipahami, untuk memberi kesan bahwa ia adalah mahasiswa yang pintar, cerdas dan berani mengajukan pendapat.
Dosen memberikan kuliah dengan menggunakan istilah asing dan mengutip banyak pendapat ilmuwan asing, untuk memberi kesan bahwa dia adalah seorang dosen yang berwawasan luas, banyak membaca, banyak ilmu, cerdas dan hebat. Demikian pula, seorang da’i memberikan ceramahnya dengan mencontohkan amal kebajikan yang pernah dilakukannya, untuk memberi kesan bahwa dirinya adalah da’i yang shalih.
Banyak orang yang tak sadar telah tergelincir dalam perbuatan riya’ dan sum’ah semacam itu. Memang begitulah cara virus penyakit hati dalam ‘menyerang’ manusia. Apalagi jika sudah berkolaborasi dengan setan, efeknya lebih berbahaya lagi. Yakni, pahala amal shalihnya akan menjadi hilang karena terhapus oleh perbuatan riya’ dan sum’ah.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 264, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu hapus (pahala) sedekahmu dengan mengungkit-ungkit dan menghina, laksana orang yang mendermakan hartanya semata-mata untuk dilihat orang...”
Dari ayat tersebut, tersurat dengan jelas, bahwa orang yang bersikap riya’ dan sum’ah cenderung akan mengharapkan pamrih dari setiap amal kebajikan yang dilakukannya. Manakala pamrih yang diharapkan itu tidak berbalas, maka tak jarang membuat ia menjadi kecewa dan mengungkit-ungkit pemberiannya yang telah lalu. Meskipun pemberiannya itu sudah tak ada bekasnya lagi pada orang yang pernah menerima pemberiannya itu, namun akan tetap selalu diungkit-ungkit, karena hadirnya rasa tidak ikhlas yang telah menggerogoti hatinya. Tak jarang, aksi mengungkit-ungkit pemberian itu disertai dengan kata-kata hinaan dan caci-maki.
Disitulah letak bahayanya perbuatan riya’ dan sum’ah. Oleh karena itu, Allah tidak menyukai hambaNya yang berbuat demikian. Di hari kiamat, Allah telah menyediakan balasan tersendiri bagi orang-orang yang melakukan perbuatan riya’ dan sum’ah.
Dalam sebuah hadis dari Jundub bin Abdullah ra, Rasulullah saw pernah bersabda: “Barangsiapa yang memperdengarkan amalnya kepada orang lain, maka Allah akan mempermalukannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang memperlihatkan amalnya kepada orang, maka Allah akan membalas riya’-nya itu” (HR. Bukhari-Muslim).
Tanda-tanda sum’ah ada empat. Pertama, isi pembicaraannya bermaksud untuk memperdengarkan amal kebajikan yang telah dilakukan dan kelebihan dirinya. Kedua, kata-kata yang diucapkan dirangkai sedemikian rupa, untuk memberi kesan bahwa dirinya baik, banyak melakukan amal shalih dan memiliki kelebihan. Ketiga, jika dipuji, maka semakin senang hatinya dan kian rajin memperdengarkan amalan dan kelebihannya. Keempat, jika tidak dipuji, maka hatinya jadi kecewa, tapi ia tetap memperdengarkan amalan dan kelebihannya, agar kesan orang tentang dirinya yang baik dan memiliki kelebihan selalu tetap terjaga.Dalam hadis yang lainnya dari Abu Hurairah ra, Rasulullah menceritakan tentang tiga macam orang di hari kiamat yang melakukan kebajikan, tetapi telah disertai dengan riya’ dan sum’ah. Ketiga macam orang itu adalah, orang yang mati syahid, orang yang pandai membaca Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain, serta hartawan yang mendermakan hartanya di jalan Allah. Ketika mereka dihadapkan kepada Allah, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban atas nikmat Allah yang telah mereka terima.
Kepada orang yang mati syahid, Allah bertanya: “Apa amalan yang kau lakukan atas nikmat yang Kuberikan?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku telah berjuang di jalanMu hingga aku mati syahid.” Allah berkata: “Engkau berdusta. Sesungguhnya engkau berjuang dengan maksud agar dikenal orang banyak tentang kepahlawanan dan keberanianmu. Dan engkau memang telah terkenal demikian.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat agar menyeret orang itu ke dalam neraka.
Begitu pula yang terjadi dengan qari’ yang pandai membaca Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Ketika ia mempresentasikan amal kebajikannya itu, Allah mengatakan kalau ia telah berdusta. Sebab, ia membaca Al-Qur’an dengan merdu agar dikenal sebagai qari’, dan mengajarkan ilmunya agar dikenal sebagai orang yang berilmu. Dan memang di dunia ia dikenal seperti itu. Qari’ itu pun diseret ke dalam neraka.
Selanjutnya, hal yang sama juga terjadi pada orang yang ketiga. Yakni, hartawan yang mengaku telah menafkahkan hartanya di jalan Allah. Ia pun diseret ke neraka, karena telah mencampur amal kebajikannya itu dengan niat agar dikenal sebagai seorang dermawan. Demikianlah nasib dari orang-orang yang beramal untuk membangun kesan orang lain tentang dirinya. Bukan semata-mata untuk membangun kesan tentang dirinya di hadapan Allah.
Terkait dengan hal itulah, para salafus shalih mengingatkan para pejalan rohani untuk berhati-hati dengan setan. Sebab, setan punya beberapa trik untuk menggelincirkan manusia dalam perbuatan riya’ dan sum’ah. Pertama, memunculkan prasangka di hati manusia, sehingga ia merasa tidak tenang jika melakukan amal kebajikan secara diam-diam. Trik ini biasanya diterapkan pada orang-orang kaya, berduit, berkecukupan atau orang-orang yang bisa memberi untuk orang lain.
Misalnya, seseorang ingin menyumbangkan sejumlah dana untuk pembangunan fasilitas umum di kampungnya. Maka setan akan mengusik hatinya dengan menimbulkan prasangka buruk. Hingga ia berpandangan, jika sumbangan itu tidak diserahkan di hadapan saksi, maka bisa jadi uangnya akan dikorupsi. Jika saksinya cuma dua atau tiga, nanti bisa-bisa akan terjadi kolusi. Dananya nanti malah dibagi-bagi di antara mereka.
Karena itu, penyerahannya harus dilakukan di hadapan orang banyak. Dengan demikian, hatinya tidak jadi curiga dan pengurus kampung juga tidak akan berani mengkorupsi dana tersebut. Atau, jika dana sumbangan itu telah diserahkan kepada pengurus kampung tanpa sepengetahuan masyarakat, maka setan akan mengipasi hatinya dengan model prasangka buruk lainnya.
Setan membujuknya agar menyebarkan informasi tentang dana sumbangannya tersebut, untuk memberi kesan supaya adanya transparansi dan menghindari korupsi. Kemudian, ia menceritakan kepada para penduduk kampung perihal dana sumbangannya itu, dengan asumsi, jika tidak ia ceritakan, maka dikhawatirkan akan adanya korupsi terhadap dana yang telah ia sumbangkan.
Prasangka buruk itu sengaja dihembuskan setan, agar orang tersebut terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan sum’ah. Kendati ia mengatakan tidak punya maksud apapun dengan tindakan dan ceritanya itu, namun, dengan tersebarnya berita tentang sumbangannya tersebut, hingga diketahui oleh orang banyak, maka sedikit-banyak akan memunculkan perasaan ’lebih’ dan ’istimewa’ pada dirinya. Jika sudah demikian, maka arahnya akan menuju kepada kesombongan.
Trik setan yang kedua adalah, memanfaatkan hawa nafsu manusia yang suka pada pujian. Trik ini biasanya dilancarkan pada mereka yang senang dipuji. Jika melihat pada sifat manusia yang memang suka pada pujian, maka bisa dikatakan, trik ini dilakukan setan kepada seluruh manusia tanpa pandang bulu. Terutama bagi mereka yang memiliki jabatan dan kedudukan serta meraih kesuksesan atau keberhasilan dalam hidupnya. Termasuk juga kepada para bawahan yang ingin memberi kesan baik terhadap atasannya.
Demikian pula orang-orang kaya yang menyelenggarakan pertunjukan amal secara besar-besaran, untuk memberi kesan sebagai orang dermawan yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Para pekerja seni dan hiburan yang bekerja untuk mengumpulkan dana bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan, juga acapkali menjadi incaran bujukan setan untuk berbuat riya’ dan sum’ah.
Orang-orang yang ahli ibadah pun, tak luput dari incaran setan untuk diajak berbuat riya’ dan sum’ah. Ketika beribadah di depan orang, mereka memperlihatkan kekhusyu’an yang dalam. Namun, ketika sendirian, ia bersikap tergesa-gesa. Mereka kemudian bercerita tentang kelebihan yang dimilikinya karena amal ibadah yang telah dilakukan.
Bahkan, orang yang tak memiliki sesuatu untuk dibanggakan pun, dapat dibujuk setan untuk berbuat riya’ dan sum’ah. Misalnya, ketika di hadapan orang banyak, ia bertutur kata yang baik dan sopan. Namun, begitu masuk dalam lingkup keluarganya, ia jadi bermulut keji dan berperilaku buruk. Jika bicara di depan orang banyak, ia ingin memberi kesan seolah-olah dirinya adalah orang yang baik, suka menolong dan penuh kasih sayang. Namun, terhadap keluarganya sendiri, ia malah bersikap acuh tak acuh, jahat dan kasar.
Trik ketiga yang dilakukan setan untuk menyeret manusia melakukan perbuatan riya dan sum’ah adalah, memanfaatkan hawa nafsu manusia yang senang pada popularitas. Trik ini lebih banyak dilakukan oleh setan terhadap orang-orang yang haus akan ketenaran. Pasukan setan membujuk hawa nafsu manusia tersebut agar melakukan amal kebajikan demi membuat dirinya jadi dikenal oleh khalayak ramai.
Biasanya, orang yang telah terbujuk oleh rayuan setan itu, akan mengadakan acara amal dengan mengundang semua wartawan, baik dari media massa maupun elektronik. Jika perbuatan amalnya ada yang tidak terliput oleh media massa, maka ia akan bercerita panjang lebar tentang amal kebajikan apa saja yang telah ia lakukan.
Trik keempat yang dilancarkan oleh setan adalah, membujuk orang agar jadi takut atau khawatir jika dianggap buruk oleh orang lain. Perasaan takut terhadap pandangan buruk orang lain tentang dirinya itu, menyebabkan seseorang selalu ingin membangun image yang baik tentang dirinya di hadapan orang lain.
Sehingga, ia mengolah dan merekayasa tindakan dan kata-kata serta cara bicaranya, untuk memperoleh kesan yang diinginkannya (impression management). Dengan demikian, ia sengaja ingin memperlihatkan dan memperdengarkan amal kebajikan ataupun kelebihannya di hadapan orang lain. Harapannya, dengan melakukan hal itu, maka masyarakat akan memandangnya sebagai orang yang baik dan bersih.
Pendek kata, menurut salafus shalih, orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan terbujuk oleh rayuan setan untuk melakukan riya’ dan sum’ah, kelak di akhirat akan digiring masuk ke dalam neraka. Apabila mereka pernah shalat di masjid dan berdo’a kepada Allah, maka Allah akan memerintahkan Malaikat Malik (penjaga neraka) untuk tidak membakar kaki mereka. Sebab, kaki-kaki itu pernah melangkah dan memasuki masjid.
Begitu pula, tangan mereka tidak dibakar karena pernah diangkat untuk berdo’a kepada Allah. Kemudian Malaikat Malik bertanya kepada mereka: “Apa sebetulnya yang telah terjadi pada kalian, hai orang-orang celaka?” Mereka menjawab: “Kami dulu melakukan amal kebajikan, tetapi bukan karena Allah.”
Oleh karena itu, manusia dituntut untuk berhati-hati betul dalam menghadapi perangkap setan yang akan menyeret manusia ke arah perbuatan riya’ dan sum’ah. Bagi mereka yang ingin menjaga diri dari perbuatan ini, maka sebaiknya mengikuti apa yang disabdakan Nabi saw. Yakni, jika tangan kanan memberi, maka tangan kiri tidak perlu tahu.
Dalam sebuah hadis Qudsi yang bersumber dari Anas ra, dikatakan bahwa, Allah memposisikan orang yang tangan kanannya melakukan derma tanpa sepengetahuan tangan kirinya itu sebagai lebih hebat dari pada angin. Sedang angin itu sendiri, menurut Allah, lebih hebat dari gunung, besi, api dan air. Hal ini berarti, dalam memberi atau melakukan amal kebajikan, sebaiknya dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.
Allah pun telah memberikan peringatan, bahwa “Apabila kamu sekalian merahasiakannya (derma), dan kamu berikan kepada kaum fakir, maka itu lebih baik bagi kamu sekalian.” Kendati demikian, bukan berarti manusia tidak boleh melakukan amal kebajikan secara terang-terangan. Hanya saja, beramal secara terang-terangan itu berat godaannya. Karena setan akan berkolaborasi dengan hawa nafsu manusia itu sendiri untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Hanya orang-orang yang diberi kekuatan iman sajalah, yang dapat menangkis datangnya godaan untuk bersikap riya’ dan sum’ah, manakala melakukan amal kebajikan secara terang-terangan.
Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Husein bin Ali bin Abi Thalib kw, Rasulullah saw pernah bersabda: “Berbahagialah orang yang sibuk dengan kekurangannya sendiri dan tak sempat mengetahui cacat orang lain. Berbahagialah orang yang bersih usahanya, bagus akhlaknya, baik ketika sendirian maupun ketika berada di hadapan orang lain.”
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim tersebut, diantaranya berisi kabar gembira dari Allah dan RasulNya terhadap orang yang istiqamah dalam melakukan amal kebajikan. Ketika sendirian, ia beramal dan berakhlak bagus. Begitu pula ketika di hadapan orang lain, ia juga tetap beramal dan tiada kepura-puraan untuk membentuk kesan orang tentang dirinya. Semua amal dan akhlaknya, tiada lain kecuali hanya ditujukan untuk mengharapkan ridha Allah.
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Al-Kalbiyy dan Muqaatil, dikisahkan, bahwa Ali bin Abi Thalib kw pernah memiliki uang sebanyak empat dirham. Kemudian ada anjuran dari Rasulullah saw agar umat Islam berderma untuk keperluan operasional Perang Tabuk. Maka, Ali bin Abi Thalib kw mendermakan seluruh uangnya (empat dirham) pada waktu yang berbeda. Yakni, satu dirham pada malam hari, satu dirham pada siang hari, satu dirham secara diam-diam dan satu dirham secara terang-terangan.
Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Husein bin Ali bin Abi Thalib kw, Rasulullah saw pernah bersabda: “Berbahagialah orang yang sibuk dengan kekurangannya sendiri dan tak sempat mengetahui cacat orang lain. Berbahagialah orang yang bersih usahanya, bagus akhlaknya, baik ketika sendirian maupun ketika berada di hadapan orang lain.” Apa yang telah dilakukan oleh mantu Nabi saw itu, memberi teladan pada kita, bahwa dalam melakukan amal kebajikan, kalau bisa, jangan sampai dicampuri dengan perasaan memiliki kelebihan dan istimewa. Jika beramal secara terang-terangan, jangan mengharapkan pamrih, pujian dan sanjungan. Begitu pula jika beramal secara diam-diam atau sembunyi, maka jangan merasa bahwa amalannya itu merupakan bukti kemampuan, kehebatan atau kekayaan dirinya. Akan tetapi, dikembalikan lagi kepada Sang Khaliq, sebagai Zat yang memberi kemampuan kepada kita sehingga bisa beramal dan menggerakkan hati kita untuk mau melakukan amal kebajikan, serta memberikan kekuatan iman kepada kita.
Apabila orang yang benar-benar ikhlas melakukan amal kebajikan itu karena Allah, meskipun banyak dipuji orang, namun tidak akan menggoyahkan keikhlasannya untuk mengharapkan ridha Allah. Pujian yang ditujukan kepada orang yang seperti ini, oleh Nabi saw dianggap sebagai kabar baik tingkat awal untuk seorang mu’min.
Pasalnya, ia kelak akan memperoleh kabar baik yang lebih nyata kelak di akhirat. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr ra. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang seseorang yang melakukan amal kebajikan karena Allah, tapi kemudian dipuji banyak orang. Beliau menjawab: “Itu merupakan pendahuluan kabar baik bagi seorang mu’min” (HR. Muslim).

Dengki & Tamak
Ketika Allah menimpakan bencana banjir besar terhadap umat Nabi Nuh as, beliau naik ke atas kapal yang dibuat atas perintah Allah SWT. Dalam kapal itu, beliau membawa serta sejumlah makhluk Allah, yakni hewan-hewan secara berpasang-pasangan. Kemudian, beliau melihat seorang laki-laki tua yang tak dikenalnya, juga berada di atas kapal.
Nabi Nuh as bertanya kepadanya, “Apa yang mendorongmu sehingga masuk ke dalam kapal ini?” Lelaki tua yang ternyata adalah setan itu menjawab: “Aku ikut, dengan tujuan untuk masuk ke dalam hati sahabat-sahabatmu. Dengan demikian, maka hatinya akan bersamaku, meski badannya bersamamu.”
Nabi Nuh as kemudian mengusir setan itu seraya berkata: “Enyahlah engkau, wahai musuh Allah, karena sesungguhnya kamu adalah makhluk terlaknat!” Tapi iblis tetap saja bertahan di atas kapal itu dan berkata kepada Nabi Nuh as.
“Ada lima hal yang dapat menghancurkan manusia. Akan aku beritahukan kepadamu tiga saja. Sedang yang dua lagi, tidak akan aku beritahukan padamu.” Nabi Nuh as kemudian langsung mendapat wahyu dari Allah agar meminta diberitahukan yang dua saja, sedang yang tiga itu justru tidak terlalu penting untuknya.
Kedengkian membuat hati manusia banyak diliputi syak-wasangka dan mencari cela dan salah orang lain. Sehingga, hidupnya pun akan selalu diwarnai oleh pikiran-pikiran buruk. Bahkan, rasa dengki itu bisa membuat manusia jadi selalu gelisah dan menyiksa diri. Jika sudah demikian, maka manusia tak dapat membedakan lagi mana kebenaran yang sesungguhnya. Sebab, setiap pernyataan dengkinya akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Maka, Nabi Nuh as meminta diberitahukan yang dua hal itu saja. Atas izin Allah, setan itu pun menyanggupi permintaan Nabi Nuh as tersebut. Setan berkata, “Dua hal itu adalah dengki dan tamak. Dengan dua hal itu, berarti manusia tidak mendustakan aku dan menjadi tidak jauh berbeda dengan aku. Kedengkian telah membuatku terkutuk.”
”Sedang ketamakan, telah membuat Adam terusir dari surga. Adam telah dikaruniai Allah banyak buah dari pepohonan di surga, hanya satu yang dilarang. Akan tetapi, buah yang satu itu pun tetap ia inginkan. Akhirnya ia tertimpa musibah berkat taktik yang aku jalankan, yakni ketamakan.”
Dari kata-kata setan itu, tampak jelas bahwa ia akan menyerang manusia dengan virus dengki dan tamak. Virus ini membawa pengaruh yang besar bagi kualitas keimanan seseorang. Kedengkian membuat hati manusia menjadi banyak diliputi syak-wasangka dan mencari celah dan salah orang lain. Sehingga, hidupnya pun akan selalu diwarnai oleh pikiran-pikiran buruk.
Bahkan, rasa dengki itu bisa membuat manusia jadi selalu gelisah dan menyiksa diri. Jika sudah demikian, maka manusia pun tak dapat membedakan lagi mana kebenaran yang sesungguhnya. Sebab, setiap pernyataan dengkinya akan dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Pernyataan hati seperti: “akulah yang benar, dia salah”, “aku yang seharusnya dihargai, dialah yang tidak menghargai”, atau “aku yang baik, dialah yang jahat”, semua itu adalah ucapan-ucapan setan yang mengusik hati manusia agar kedengkian itu selalu bertambah. Alhasil, tidak akan ada rasa penyesalan. Yang ada hanyalah merasa benar dengan dirinya sendiri.
Begitu pula dengan ketamakan. Virus ini terkadang bermula dari keinginan yang kecil. Lambat laun, akan melebar dan jadi tumbuh kembang, sehingga keinginan yang muncul dari sikap tamak itu pun semakin banyak dan bervariasi. Orang yang tamak, selalu takut untuk menjadi miskin. Karenanya, ia selalu merasa belum cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Ia senantiasa akan dibayang-bayangi keinginan hawa nafsu untuk menambah terus harta kekayaannya. Orang tamak juga cenderung menjadi kikir, karena ia khawatir kekayaannya akan berkurang, jika harus berbagi dengan orang lain.
Kehidupan dunia, seringkali menjadi pangkal munculnya sikap dengki dan tamak. Padahal, jika manusia itu mengetahui bagaimana keburukan yang terdapat di dalam kehidupan dunia ini, dan kebaikan yang ada di kehidupan akhirat nanti, niscaya tak akan ada yang mau menukar kehidupan akhirat dengan dunia.
Allah SWT sudah memperingatkan hambaNya mengenai perbedaan di antara kedua kehidupan tersebut. Simak saja firmanNya dalam surat Thaahaa ayat 131:
“Janganlah engkau panjangkan pandanganmu kepada perhiasan dunia. Dunia itu Kami berikan kepada bermacam-macam orang sebagai bunga kehidupan. Agar Kami coba mereka dengan dunia itu. Dan rezeki Tuhanmu (di dalam surga akhirat) jauh lebih baik dan kekal.”
Kehidupan dunia, seringkali menjadi pangkal munculnya sikap dengki dan tamak. Padahal, jika manusia itu mengetahui bagaimana keburukan yang terdapat di dalam kehidupan dunia ini, dan kebaikan yang ada di kehidupan akhirat nanti, niscaya tak akan ada yang mau menukar kehidupan akhirat dengan dunia.Alangkah meruginya manusia, jika memilih kehidupan dunia ini. Sebab, yang dipetik adalah kedengkian satu sama lainnya. Menurut ahlul bashar, rasa iri hati dan saling memamerkan kekayaan itu adalah makanan sehari-hari orang-orang yang hatinya lagi sakit. Sedang ketamakan adalah pengisi waktu senggang mereka. Kegelisahan akan menyertai setiap langkah mereka.
Dalam setiap desahan nafas mereka, yang ada hanyalah kehinaan. Di hadapannya terdapat hijab yang membentang lebar di antara dirinya dengan Tuhan. Yakni harta kekayaan yang siap melenakan. Sehingga, waktu, tenaga dan pikiran --- yang sedianya diberikan Allah untuk mengingatNya --- lebih banyak dicurahkan untuk mengurus dan menghitung kekayaannya.
Ke arah sanalah setan dan hawa nafsu akan membawa manusia. Yaitu menuju kegelapan yang dilahirkan dari sifat dengki dan tamak. Kedengkian akan melahirkan kesombongan dan prasangka buruk. Sedang ketamakan akan memunculkan sifat kikir dan takut miskin. Hawa nafsu manusia yang haus terhadap isi dunia, akan semakin memperlancar keinginan setan untuk menyesatkan manusia.
Padahal, Rasulullah saw menganjurkan agar umatnya mengutamakan akhirat. Sebab, akhirat itu sudah jelas-jelas lebih kekal daripada kehidupan dunia ini. Dalam sebuah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa ra, beliau bersabda: “Barangsiapa mencintai akhirat, maka ia akan cenderung merugikan dunianya. Namun, utamakanlah yang lebih kekal, daripada mengutamakan yang fana atau akan binasa.”
Sifat dengki dan tamak, sudah barang tentu, bukanlah cara untuk mengutamakan akhirat. Bahkan, dua hal itu tak bisa membawa kebahagiaan di dunia ini. Apalagi di akhirat nanti. Niscaya justru akan menghasilkan kehinaan demi kehinaan. Perhatikan saja sikap orang-orang yang hatinya dipenuhi virus penyakit hati dengki. Wajah mereka tak pernah ceria karena bahagia. Mereka malah lebih sering merengut, karena hatinya penuh dengan carut-marut. Kesombongan, suka pamer, kebencian, merendahkan orang dan selalu mencari-cari cela dan aib orang lain laksana aroma busuk yang menyusupi relung-relung hati dan pikiran manusia.
Demikan pula dengan ketamakan. Apakah yang dapat diperoleh manusia dari kerakusan terhadap harta? Jawabnya tidak lain adalah, pikiran kusut karena sibuk menghitung harta, selalu takut jika hartanya bakal berkurang. Ujungnya, hati pun akan menjadi kalut karena selalu merasa kurang. Akibatnya, hidup pun jadi gelisah dan jiwa selalu merasa tidak tenang.
Menurut sahabat Umar ibnu Al-Khaththab ra, kemiskinan merupakan ciri dari ketamakan. Hal itu memang terbukti dari ketidakpuasan orang yang tamak terhadap apa yang sudah dimilikinya. Mereka selalu merasa kurang, merasa masih miskin, sehingga perlu menumpuk terus-menerus harta kekayaannya.
Dalam penggambaran seperti itu, tampaknya kita tak mau bersentuhan sedikitpun dengan yang namanya virus penyakit hati bernama dengki dan tamak. Akan tetapi, dalam kehidupan nyata, ternyata hawa nafsu kita justru berkata sebaliknya. “Kapan lagi kita mau kaya, kalau tidak mengumpulkan harta sebanyak mungkin sejak dini. Sekaranglah saatnya. Mumpung masih diberi waktu untuk hidup. Kelak kalau sudah tua renta dan tak bisa giat berusaha, kita akan menyesal karena tak punya harta.”
Mendengar bisikan hawa nafsu yang demikian itu, setan pun ikut memberikan dukungan seraya berkata: “Betul. Tampaknya tak ada jalan lain kecuali hanya jalan itu. Yakni, mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Bila perlu seluruh tenaga, pikiran dan waktu dicurahkan untuk mengumpulkan harta. Sebab, jika engkau mati, hartamu akan menjadi pelindungmu dari segala cacian dan makian orang. Engkau akan dimuliakan karena kekayaanmu. Jangan pernah membaginya kepada siapa pun, karena hal itu akan mengurangi hasil dari setiap tetesan keringat yang telah engkau keluarkan untuk mencari harta tersebut.”
Walhasil, bersatulah setan dengan hawa nafsu manusia. Keduanya bersekutu untuk menyesatkan manusia, sehingga fungsi dari keberadaannya di muka bumi ini pun akhirnya akan ia lupakan. Padahal Allah sudah mengingatkan manusia dan jin, bahwa mereka diciptakan untuk keperluan beribadah kepadaNya. Bukan untuk mengejar kehidupan dunia. Melainkan untuk mencari keselamatan di akhirat.
Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda: “Barang siapa berniat mencari kesenangan akhirat, maka Allah akan membuat hatinya jadi kaya dan menyatukan pikirannya. Sedang dunia akan datang kepadanya dengan mudah. Namun, barang siapa yang berniat mencari kesenangan dunia, maka Allah jadikan kemiskinan di hadapannya dan mencerai-beraikan pikirannya. Sedang dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali hanya yang telah ditentukan Allah baginya.”
Rahasia rezeki, sebagaimana yang tersirat dalam hadis di atas, merupakan jaminan dari Allah dan RasulNya. Jika manusia mau memilih kesenangan akhirat, maka Allah akan memberikannya rezeki berupa keselamatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Sebaliknya, jika mereka lebih condong hatinya pada kehidupan dunia semata, maka ia hanya akan mendapat dunianya saja. Kelak di akhirat, mereka akan menjadi orang yang miskin semiskin-miskinnya.

šššššš
[1] Penyakit hati dalam buku ini, jangan dipahami atau diartikan seperti penyakit hati menurut ilmu kedokteran atau yang biasa dikenal dengan istilah penyakit liver. Penyakit hati di sini maksudnya adalah perasaan tidak enak yang muncul dalam diri manusia sehingga menyebabkan hatinya menjadi terasa tidak tenang, cemas, gelisah dan was-was. Dalam perspektif agama, orang yang menderita penyakit hati itu sering dikenal dengan istilah sebagai orang yang hatinya lagi ada hijab, sehingga ia tidak bisa membedakan dan merasakan dengan baik karunia Allah atas dirinya.
[2] Ciri yang dimaksud merupakan tanda-tanda untuk mengetahui apakah di dalam diri kita ada virus penyakit hatinya atau tidak. Yang jelas, ciri orang yang hatinya sedang sakit di sini sifatnya tidaklah baku dan kaku. Sebab, perwujudannya dalam diri masing-masing orang berbeda-beda. Meski tidak mewakili kondisi yang sebenarnya, namun lewat ciri-ciri tersebut, minimal, kita bisa belajar mengenali dan merasakan adanya penyakit hati di dalam diri kita sendiri. Pengetahuan tentang ciri-ciri penyakit hati ini kami peroleh dari berbagai penjelasan langsung yang disampaikan oleh Bapak Rahmat, --- semoga Allah tak pernah melepaskan kemanjaanNya untuk beliau sekeluarga dan para kerabat serta ‘anak didiknya’ yang tak pernah ‘leren’ menyita waktunya bersama keluarga --- Guru Pembimbing kami di Pondok Pesantren Salafiah, Turen, Malang, yang telah mengajarkan kami ilmu menghormati dan mencintai semua makhluk, serta yang selalu mengingatkan kami untuk belajar merasakan adanya penyakit hati. Termasuk belajar mendo’akan orang-orang yang pernah memusuhi kami.
[3] Menurut ahlul kasyaf, setiap kali manusia melakukan penolakan, perlawanan dan pembangkangan terhadap syari’at agamanya, maka tindakan tersebut akan menjadi ‘makanan suplemen’ bernilai gizi tinggi bagi virus penyakit hati. Sebab, salah satu tujuan virus penyakit hati menyusup ke dalam hati dan pikiran manusia itu adalah, agar ia bisa mendapat makanan bergizi tinggi. Yaitu, memprovokasi manusia agar mau tunduk dan patuh pada hawa nafsunya. Makanya, kata ahlul suffah, ketika ada seorang manusia memilih untuk patuh pada perintah hawa nafsunya, maka biasanya ia langsung akan menjadi ‘santapan’ yang menyenangkan bagi virus penyakit hati. Sebaliknya, kata ahlul kasyaf, ketika seorang hamba itu memilih untuk ta’at kepada Allah dan RasulNya, maka keputusannya untuk ta’at itu akan membuat virus penyakit hati menjadi kekurangan gizi. Jika virus penyakit hati sampai kekurangan gizi, maka peluang bagi virus penyakit hati itu untuk bisa menggerakkan dan memprovokasi hawa nafsu manusia pun, akhirnya akan menjadi semakin kecil. Sebab, ia tidak punya energi yang cukup. Karena itu, para salafus shalih sering menganjurkan kepada para pejalan rohani untuk tidak menuruti keinginan hawa nafsunya. Misalnya dengan cara puasa, menangis di hadapan Allah karena menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukan atau menjauhi perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. Tujuannya tidak lain adalah, untuk mengurangi pasokan makanan bergizi bagi virus penyakit hati. Sehingga, dengan demikian, diharapkan, virus penyakit hati akan kekurangan energi untuk bisa menggerakkan, menguasai dan memprovokasi hawa nafsu manusia. Jika hal itu bisa dilakukan oleh para pejalan rohani, insya Allah, ia akan dijauhkan Allah dari musibah, dosa dan siksa api neraka.
[4] Pengelompokkan macam-macam penyakit hati pada bagian ini, disusun mengacu pada sebuah hadis Nabi yang terdapat di dalam kitab Hidayah al-Hidayah yang membahas tentang masalah maksiatnya hati. Diriwayatkan bahwa, Rasulullah saw telah bersabda kepada sahabat Mu’adz ra. : ”Para malaikat hafazhah (Penjaga) datang kepada Allah SWT dengan membawa pahala orang-orang yang shalat, puasa, zakat, haji dan orang yang membaca al-Qur’an dan lain-lain. Tetapi, setelah sesampainya di hadapan Allah SWT, disuruhNya pahala-pahala itu dilemparkan kepada orang yang beramal (melaknatinya). Allah SWT tidak mau menerima pahala amal-amal mereka. Sebab, ketika mereka beramal di dunia, hati mereka disertai penyakit hati. Diantaranya ‘ujub, riya’, takabbur, hasud, dengki, iri dan lain-lain. Kemudian Allah melaknatinya. Dan semua langit tujuh serta apa-apa yang ada di dalamnya pun ikut melaknatinya.” (untuk lebih jelasnya lagi tentang macam-macam penyakit hati ini, insya Allah akan kami uraikan secara khusus dalam buku tersendiri.)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda