Jumat, 02 Mei 2008

Ciri Hidup Sengsara

( 1 )
Rakus Terhadap
Harta Benda

ORANG yang rakus terhadap harta benda, biasanya, adalah orang-orang yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah ia miliki. Seberapa pun harta yang dia peroleh, tidak akan membuat dirinya merasa cukup. Apalagi merasa puas. Pasalnya, ia selalu merasa kurang.
Barang siapa yang telah dijangkiti oleh virus penyakit hati rakus terhadap harta benda, maka ia berpeluang bakal dirundung kesedihan sepanjang masa. Sebab, virus penyakit hati rakus terhadap harta benda itu, acapkali membuat orang yang menderita penyakit tersebut menjadi tidak bisa hidup tenang.
Pasalnya kenapa? Karena, ia akan disibukkan dengan kegiatan untuk mencari, mengambil dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Waktu yang tersedia, akan tersita hanya untuk keperluan memuaskan hawa nafsunya semata. Selagi keinginannya itu masih belum bisa terwujud, maka selama itu pula ia akan kehilangan kesempatan untuk bisa bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada dirinya.
Bahkan, konon, kata para salafus shalih, meskipun keinginannya untuk memiliki harta benda itu telah terwujud, namun orang yang telah terkena virus penyakit hati bernama al-wahnu (cinta pada dunia), tidak akan mau berhenti untuk mengejar dan memiliki semua isi dunia yang jelas-jelas bersifat tidak abadi itu.
Segala cara biasanya akan ia tempuh. Tidak peduli halal-haram, yang penting, apa yang diinginkannya bisa tercapai. Jika keinginan itu dituruti oleh manusia, maka bisa berbahaya bagi manusia itu sendiri. Karena itulah, Rasulullah saw mengingatkan umatnya agar ”jangan rakus kepada dunia, niscaya engkau akan dicintai Allah …” (HR. Ibnu Majah)
Mengapa orang yang rakus terhadap harta benda, hidupnya menjadi tidak tenang? Jawabnya sederhana. Bagaimana mungkin orang yang sudah punya harta itu bisa hidup tenang, jika setiap kali melihat ada orang lain punya harta berbeda dengan dirinya, nafsunya menjadi ’mendidih’ akibat terbakar oleh virus peyakit hati tidak mau kalah saingan?
Bagaimana mungkin orang yang sudah berkecukupan bisa hidup tenang, jika waktu-waktu yang dilaluinya selalu diisi dengan memikirkan bagaimana caranya agar hartanya bisa selamat dari tangan-tangan jahil? Padahal, kalau saja ia punya iman yang kokoh, mestinya ia justru lebih fokus untuk memikirkan tentang masalah bagaimana caranya agar ia dan keluarganya bisa selamat di hadapan Allah SWT?
Lantaran sifat manusia yang tak pernah puas itulah, maka Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah Muhammad saw, dalam sebuah kesempatan, pernah bersabda kepada para sahabat: ”Salah satu yang kukhawatirkan sepeninggalku nanti adalah, terbuka lebarnya kemewahan dunia pada kalian.” (HR. Bukhari – Muslim)
Apakah itu berarti bahwa kita tidak boleh memikirkan atau mencari rezeki di dunia? Jawabnya, tidak demikian. Silahkan saja Anda berusaha mengumpulkan harta benda untuk bekal ibadah. Tapi ingat, jangan sampai Anda balik. Beribadah untuk usaha mengumpulkan harta benda.
Sebab, harta itu adalah jembatan, bukan tujuan. Yaitu, jembatan untuk menegakkan agama Allah. Nabi saw sendiri pernah bersabda: ”… Manusia yang utama itu adalah, mukmin yang berjuang dengan jiwa, raga dan hartanya untuk menegakkan agama Allah …” (HR. Bukhari – Muslim) Bukan malah sebaliknya. Bagaimana menurut Anda?

( 2 )
Senang Mengumbar
Nafsu Syahwat

SALAH satu tanda hidup seseorang itu bakal sengsara adalah, ia senang mengumbar nafsu syahwatnya. Tidak peduli apakah ia adalah seorang perempuan atau laki-laki. Jika ia tidak bisa melemahkan nafsu syahwatnya, maka berarti hidupnya bakal terancam sengsara.
Apa sebabnya? Karena, mengumbar nafsu syahwat itu, biasanya, acapkali membuat orang menjadi gampang terhijab dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan keinginannya nerabas syari’at. Menurut ahlul kasyaf, nafsu syahwat itu muncul pada diri manusia bersamaan dengan lahirnya keinginan untuk menguasai dunia beserta segala isi yang ada di dalamnya.
Sedang cinta dunia itu sendiri, sangat erat kaitannya dengan mengumbar kesenangan dan memperturutkan nafsu syahwat. Karena itu tak heran, kata ahlul kasyaf, hampir sebagian besar manusia yang cinta pada dunia, acapkali tidak bisa mengerem keinginannya untuk mengumbar hawa nafsu. Pasalnya kenapa?
Karena, cinta terhadap dunia itu seringkali membuat orang menjadi gampang ’keblinger’ dan lupa pada kehidupan akhirat. Ujung-ujungnya, ia akan berubah menjadi orang yang sangat tamak dengan dunia. Apa saja yang ada di dalam dunia, ingin dia miliki dan dia kuasai. Begitulah wataknya virus al-wahnu kalau sudah merasuk ke dalam hati dan pikiran manusia.
Orang yang semula rajin beribadah, jika telah disusupi virus al-wahnu, bisa berubah menjadi malas untuk beribadah. Tidak hanya itu. Orang yang telah dikuasai oleh virus al-wahnu juga bisa menjadi lupa kalau hidup di dunia ini sifatnya hanya sementara dan tidak abadi. Bahkan, sangat boleh jadi, virus al-wahnu juga bisa membuat orang yang telah dikuasainya menjadi lupa kalau ia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang pernah dia lakukan di dunia ini kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Yang jelas, kata ahlul suffah, orang yang selalu mengumbar nafsu syahwatnya ketika masih hidup di dunia ini, dijamin hidupnya tidak akan bisa tenang. Apalagi bahagia. Sebab, memperturutkan keinginan nafsu syahwat itu, sama artinya dengan telah menutup pintu pertolongan dan kemurahan Allah atas dirinya sendiri.
Betapa tidak. Coba saja Anda bayangkan. Bagaimana mungkin Allah SWT Yang Maha Suci akan memberi pertolongan kepada orang yang suka mengumbar nafsu syahwatnya, sementara posisinya saat itu sedang berada dalam kerusakan? Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Pemurah mau memberi pertolongan kepada orang yang suka mengumbar nafsu syahwat, sedang pada saat ia mengekspresikan nafsu syahwatnya itu, ia dalam posisi sama sekali tidak ingat kepada Allah?
Karena itulah, Rasulullah saw sering mengingatkan umatnya agar memelihara dan menegakkan syari’at Allah, supaya mereka dihindarkan dari perbuatan yang sia-sia. Sabda beliau saw: ”… Peliharalah perintah Allah, maka Allah akan memeliharamu …” (HR. At-Turmudzy). Bahkan dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari – Muslim dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda: “Neraka tertutup dengan berbagai syahwat hawa nafsu. Sedang surga tertutup dengan kesukaran dan keberatan.”
Terkait dengan hal itu, Allah SWT sendiri telah mengingatkan manusia dengan tegas di dalam surat Shaad ayat 38: ”... janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya, orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Pertanyaannya sekarang ialah, bersediakah Anda untuk mematuhi perintah Allah yang telah diamanahkanNya dalam surat Shaad ayat 38 itu?

( 3 )
Menggampangkan
Syari’at Agama

TANDA-TANDA seseorang itu hidupnya bakal sengsara atau tidak, sebetulnya sudah bisa kita ketahui sejak sekarang. Apa tandanya? Yaitu, ia sering menganggap gampang dalam urusannya dengan syari’at agama. Artinya, dalam urusan dengan masalah agama, orang tersebut tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sangat penting dan serius. Baik itu yang bersifat perintah maupun larangan yang ada di dalam agama.
Misalnya, orang yang tidak mau bertobat. Padahal ia telah melakukan banyak pelanggaran. Setiap kali diperingatkan dan diajak untuk segera bertobat, ia selalu menghindar dengan mengatakan: ”Akh ... tobatnya nanti saja. Nunggu kalau usia saya sudah kepala empat. Sekarang saya mau puas-puas dulu.”
Orang yang demikian itu, menurut para ahli ibadah, termasuk dalam kategori orang yang suka menganggap gampang urusan syari’at agama. Pasalnya, ia menganggap, seolah-olah hidupnya tidak akan berakhir. Padahal, yang namanya mati itu, sesuatu yang sudah pasti bakal terjadi. Hanya soal waktu.
Menurut para salafus shalih, orang yang suka menggampangkan atau yang suka menganggap remeh dalam urusannya dengan syari’at agama, berarti orang tersebut sedang mengalami adanya ’ketidak-beresan’ dalam imannya kepada Allah dan hari akhir. Dikatakan demikian karena, orang yang imannya kokoh, tentu tidak akan mungkin berani menganggap remeh urusan syari’at agama.
Apalagi sudah menjadi sebuah keyakinan umum bagi para pemeluk setiap agama, bahwa yang namanya syari’at agama itu, pada dasarnya adalah pedoman beragama yang harus dipegang-teguh dan diamalkan dengan sungguh-sungguh oleh para pemeluknya. Sebab, lewat pedoman itulah, para pemeluk agama tersebut akan bertemu dengan Tuhannya.
Ibarat sebuah peta bagi seorang pelancong yang ingin melakukan sebuah perjalanan wisata ke suatu tempat. Jika semua petunjuk yang ada di dalam peta tersebut tidak diperhatikan dan diikuti, maka sangat boleh jadi, sang pelancong akan tersesat di jalan.
Demikian juga halnya dalam urusannya dengan agama. Jika pemeluk suatu agama itu sendiri tidak mau mengindahkan dan memperhatikan setiap petunjuk (baik berupa perintah ataupun larangan) yang terdapat di dalam pedoman agamanya masing-masing --- yang kemudian dikenal dengan istilah syari’at agama itu --- maka sangat boleh jadi, bukan surga yang bakal dia tuju. Melainkan malah sebaliknya, neraka telah siap menunggunya.
Begitulah resiko yang harus ditanggung oleh orang yang tak mengindahkan syari’at agamanya. Hidupnya di dunia maupun di akhirat nanti, bakal terancam sengsara. Apa sebabnya? Karena ia telah mengingkari dan tidak mau tunduk pada syari’at agama yang sebetulnya merupakan kumpulan petunjuk dari Tuhan Yang Sebenarnya untuk manusia agar bisa hidup bahagia di dunia maupun di akhirat kelak.
Jika pemeluk suatu agama tidak mau memegang-teguh dan mengamalkan petunjuk untuk menuju hidup bahagia dari Tuhannya yang telah disampaikan lewat para Nabi-Rasul pilihanNya, maka bagaimana mungkin ia bisa hidup bahagia? Inilah persoalan krusial dalam keyakinan hidup beragama yang acapkali dilupakan oleh manusia.
Bahkan, tidak sedikit manusia yang sering menganggap syari’at agama itu tak ubahnya sebagai penghalang atau penghambat bagi kemajuan yang ingin mereka raih. Padahal, aslinya, justru malah sebaliknya. Gara-gara mereka meninggalkan syari’at agamanya itulah, maka hidup mereka pun akhirnya menjadi sengsara.
Dalam surat Al-Hajj ayat 3 dan 4, Allah SWT telah menyindir perbuatan manusia itu dengan mengatakan: Di antara manusia itu, ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka.
Tapi sayang, sedikit sekali manusia yang mau mengindahkan peringatan Allah tersebut. Bagaimana dengan Anda?

( 4 )
Senang Nerabas
Perintah & Larangan

SALAH satu ciri orang yang hidupnya bakal sengsara di dunia maupun diakhirat nanti adalah, orang tersebut senang nerabas perintah dan larangan. Padahal, tidaklah Allah SWT memerintahkan sesuatu perbuatan kepada manusia, melainkan pastilah karena Allah bermaksud ingin menyelamatkan manusia itu sendiri dari kehancuran.
Demikian juga halnya dengan larangan. Tidaklah Allah dan RasulNya melarang manusia untuk melakukan sesuatu perbuatan, melainkan pastilah karena Allah ingin menyelamatkan manusia agar tidak menyesal di kemudian hari. Sebab, menyesal di kemudian hari itu, tiada gunanya. Karena itulah, dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 35, Allah berfirman kepada manusia: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.
Jika kita resapi lebih dalam, firman Allah dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 35 itu, secara jelas telah menggambarkan tentang bagaimana besarnya kasih-sayang Allah terhadap manusia. Dengan kasih sayangNya, tiap-tiap yang berjiwa diuji lewat perintah dan larangan serta keburukan dan kebaikan. Tujuannya tidak lain adalah, untuk mengangkat derajat manusia yang semula hina menjadi mulia, dan yang semula berada di kegelapan menuju cahayaNya.
Karena itu, Sayyidul Mursalin Sayyidina Rasulullah saw, dalam beberapa kesempatan, seringkali mengingatkan para pengikutnya untuk lebih mendahulukan dan memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk menyelamatkan para pengikutnya agar tidak melakukan perbuatan nerabas syari’at agamaNya.
Sebab, kata beliau saw, orang yang suka nerabas syari’at agamaNya itu adalah orang yang tidak kenal bahwa Allah sebetulnya ada di hadapannya. ”… Perhatikanlah larangan Allah, niscaya kamu dapati Allah selalu ada di hadapanmu …” (HR. At-Turmudzy)
Yang jelas, kata salafus shalih, orang yang suka nerabas perintah dan larangan Allah itu, adalah orang yang telah merusak janjinya sendiri kepada Allah yang telah dia ikrarkan jauh sebelum ia diutus ke dunia ini. Orang yang demikian itu, kata salafus shalih, sama saja seperti orang yang telah menukar kehidupan akhirat dengan dunia.
Sedang, barang siapa yang menukar kehidupan akhirat dengan dunia, tukas salafus shalih, maka dijamin hidupnya tidak akan bahagia. Sebab, kehidupan dunia itu sifatnya tidak kekal. Sedang negeri akhirat bersifat abadi lagi pasti.
Singkat kata, ujar salafus shalih, orang yang menukar kehidupan akhirat dengan dunia itu, sama saja ia telah melupakan misi yang telah ditetapkan oleh Allah ketika akan menciptakan manusia di muka bumi. Yaitu untuk beribadah kepadaNya.
Apalagi Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:
”Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, maka orang-orang itulah yang bakal memperoleh kutukan. Dan bagi mereka, akan disediakan tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
Jika perintah dan laranganNya itu adalah untuk kebaikan dan keselamatan bagi kita di dunia dan akhirat kelak, lalu mengapa kita malah memilih untuk nerabas syari’atNya? Jika negeri akhirat adalah sesuatu yang telah pasti dan abadi, lalu mengapa kita malah menyibukkan diri mengejar sesuatu yang tidak abadi? Inilah sebuah ’PR’ yang harus kita selesaikan.

( 5 )
Senang Melakukan
Kerusakan

CIRI orang yang hidupnya bakal sengsara adalah, ia senang melakukan kerusakan di muka bumi. Ke mana saja dan di mana saja dia berada, yang ada di dalam hati dan pikirannya hanya satu. Yakni, bagaimana caranya agar ia bisa mengekspresikan keinginannya untuk melakukan kerusakan tanpa diketahui oleh orang lain. Syukur, misalnya, bisa melembagakan kerusakan tersebut dan bisa memperoleh ’keuntungan’ dari aksi kerusakan yang bakal ia lakukan. Itulah ciri orang-orang yang hidupnya bakal sengsara, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Betapa tidak. Sudah jelas bahwa setiap kerusakan itu akan menimbulkan efek negatif dan bisa mengakibatkan rusaknya tatanan hidup di muka bumi, tapi masih juga dilakukan. Sudah jelas bahwa agama telah melarang melakukan kerusakan, tapi masih juga dilanggar. Jika pola hidup manusia seperti itu, kira-kira, bagaimana caranya manusia bisa hidup bahagia di dunia? Wong disuruh bangun, malah dibongkar?
Menurut para salafus shalih, orang yang senang melakukan kerusakan itu, biasanya adalah orang-orang yang telah kehilangan rasa penghormatan, penghargaan dan kepedulian terhadap sesamanya. Karena itu ia bisa dengan leluasa melakukan aksi kerusakan di muka bumi. Sekiranya mereka masih punya rasa penghormatan, penghargaan dan kepedulian terhadap sesamanya, maka tentulah mereka tidak akan memilih untuk melakukan aksi kerusakan. Minimal, lewat rasa yang ada di dalam dirinya, ia bisa merasakan bagaimana tidak nyamannya hidup di tengah kerusakan.
Orang yang tidak punya rasa dalam hatinya itu, kata salafus shalih, mirip seperti yang telah disindir oleh Allah SWT di dalam surat Al-A’raaf ayat 179: ”... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Begitu kerasnya peringatan Allah kepada orang-orang yang suka melakukan kerusakan, sampai-sampai perilaku yang demikian itu dikategorikanNya sebagai perbuatan orang-orang yang lalai. Bahkan, perbuatan mereka itu, kata Allah, lebih sesat dari hewan ternak.
Jika manusia yang mengaku merasa punya hati, mata, telinga dan akal pikiran itu lebih suka memilih jalan kesesatan daripada jalan yang haq, lalu bagaimana mungkin mereka bisa meraih kebahagiaan? Sedang kita tahu, bahwa orang yang senang menempuh jalan kerusakan itu, sesungguhnya adalah orang-orang yang telah menukar kebahagiaan akhirat dengan kesenangan dunia yang notabene penuh dengan tipu muslihat?
Lantaran itulah, lewat surat Al-A’raaf ayat 56, Allah Azza wa Jalla telah berfirman kepada manusia: ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Bahkan dalam ayat yang lain, yaitu surat Al-Qashash ayat 77, Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Pertanyaannya adalah, kerusakan seperti apa yang tidak disukai oleh Allah itu? Jawabnya, apapun bentuk dan jenis perbuatan yang akan dilakukan oleh manusia, jika arahnya adalah untuk melakukan kerusakan, maka Allah tidak menyukainya. Dan yang pasti, orang yang menempuh jalan seperti itu, dijamin hidupnya bakal sengsara.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda