Selasa, 27 Mei 2008

Setiap Maulid Nabi, Kibarkan Bendera Merah Putih Terbesar di Indonesia

Menyambut Maulid Nabi,

Ponpes Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah – Malang:

Kibarkan Bendera Merah Putih Terbesar di Indonesia

ANDA pernah melihat bendera terbesar di Indonesia? Cobalah Anda berkunjung ke Pondok Pesantren (Ponpes) Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah yang berada di jalan Anggur RT 27/RW 06 Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Di Ponpes yang rencananya akan dibangun 10 lantai itu, setiap kali memperingati acara Maulud Nabi, yang tahun ini menurut kalender Miladiyah jatuh pada 20 Maret 2008, ada acara pengibaran bendera merah putih terbesar di Indonesia.
Ukurannya tidak tanggung-tanggung. 31 meter x 21 meter, sebuah bilangan yang relatif cukup besar untuk ukuran sebuah bendera. Bisa Anda bayangkan, bagaimana sulitnya untuk mengibarkan bendera sebesar itu. Tapi, di Ponpes yang berdiri di atas tanah seluas ± 5 Ha itu, prosesi pengibarannya ternyata tidaklah begitu rumit.
Buktinya, ketika penulis silaturrahmi ke Ponpes yang arsitektur bangunannya agak ‘unik’ dan berdiri megah di tengah sebuah perkampungan yang relatif cukup terpencil itu, bendera kebangsaan Indonesia tersebut, bisa berkibar dengan sempurna. Padahal, angin yang berhembus pagi itu cukup kencang. Tapi proses pengibarannya tetap bisa berjalan dengan lancar.
Pasalnya, masing-masing petugas yang akan mengibarkan bendera itu, sudah ditentukan jumlahnya oleh KH Sayyid Ahmad Bahru Mafdoluddin Shaleh Al-Mahbub atau yang bisa disapa santri dengan sebutan Romo Kiai, Pimpinan Ponpes yang sejak tahun 1978 hingga sekarang ini masih terus dibangun. Yaitu masing-masing petugasnya ada sebanyak 99 orang.
“Yang membawa bendera, yang menarik tali dan mengulur tali bendera, jumlahnya ada 99 orang. Sedang tinggi tiang benderanya 60 meter. Pengibaran bendera ini, sudah barang tentu atas perintah dari Romo Kiai, Pimpinan pondok,” ujar Iphoeng HD Purwanto (32) yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Iphoeng, salah seorang santri asal Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, kepada penulis belum lama ini.
Santri bujang yang sejak tahun 2002 lalu terdaftar jadi santri resmi dan menetap di Ponpes yang punya santri sebanyak 200 orang itu, juga menuturkan, selain dalam acara Maulid Nabi, bendera kebangsaan Indonesia itu juga dikibarkan setiap acara 17 Agustus, Tasyakuran Pondok, Hari Raya Idhul Fitri dan Hari Raya Idhul Adha.
“Yang jelas, soal kapan waktu pengibaran bendera tersebut akan dilakukan, sepenuhnya menunggu dhawuh dari Romo Kiai. Jadi, jika hari ini ada dhawuh untuk mengibarkan bendera, maka hari itu juga langsung dilaksanakan sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan Beliau. Kebetulan saja, pada tahun lalu, pengibaran bendera dilaksanakan dalam lima kegiatan tersebut. Saya sendiri tidak tahu, apakah pada tahun ini (2008), waktu pengibarannya sama dengan tahun lalu,” jelas Gus Iphoeng.
Diakui oleh pria berkacamata minus yang juga adalah sekretaris santri Ponpes Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah, Malang itu, sangat boleh jadi, selain di pondok, ada juga pihak-pihak lain yang mencoba membuat bendera berukuran besar. “Beberapa waktu lalu, kalau tidak salah, saya pernah mendengar informasi, ada juga yang membuat bendera besar di Jakarta dan Surabaya. Tapi sayang, benderanya tidak bisa dikibarkan seperti yang ada di pondok ini,” imbuhnya.
Pernah Robek
MENURUT Gus Iphoeng, pada tahun 2006 lalu, yaitu ketika pertamakali bendera berukuran 31 X 21 meter itu dikibarkan, ternyata hanya bisa bertahan sampai seminggu. Pasalnya, bendera yang pembuatannya langsung dipantau oleh Bu Nyai, istri Romo Kiai, Pimpinan Ponpes itu, robek akibat ada sebagian dari kainnya tersangkut pada kawat penyanggah tiang bendera setinggi 60 meter itu.
“Tidak hanya kainnya saja yang robek. Tiang benderanya pun ikut patah. Tapi, alhamdulillahnya, ketika tiang bendera setinggi 60 meter itu patah, tidak ada yang jadi korban,” ujar Gus Iphoeng.
Setelah dilakukan perbaikan selama kurang lebih satu bulan, akhirnya tiang benderanya bisa didirikan lagi. Pada saat santri melakukan perbaikan tiang bendera, bersamaan dengan itu, santri wanita diutus Bu Nyai untuk membuat bendera baru dengan ukuran yang sama.
“Tepat tanggal 17 Agustus, bendera baru itu langsung dikibarkan kembali. Upacara pengibaran bendera saat itu diikuti oleh seluruh santri yang menetap di lingkungan pondok. Selain itu, juga diikuti oleh para jama’ah dan warga yang ada di sekitar pondok,” papar anak pertama dari lima bersaudara itu.
Menjawab pertanyaan, Gus Iphoeng mengatakan, biaya pembuatan bendera merah putih itu, murni berasal dari swadaya Pimpinan Ponpes. Selain itu, juga ada yang berasal dari sumbangan para santri dan jama’ah Ponpes yang datang dari berbagai penjuru daerah. Syaratnya, tukas dia, sumbangan itu harus berangkat dari rasa ikhlas.
“Di sini, semua ibadah yang akan dilakukan santri dan jama’ah, harus berangkat dari rasa ikhlas. Bukan dilihat dari besar-kecilnya sumbangan. Kalau tidak ikhlas, biasanya, sumbangan tersebut akan disalurkan oleh Romo Kiai ke tempat yang tepat. Supaya lebih bermanfaat,” ungkap mantan pelatih drama pada salah satu sanggar di Yogyakarta itu.
Santri bujang berkacamata minus itu juga menceritakan, selain berasal dari wilayah Malang Raya, para santri dan jama’ah yang datang dan menetap di Ponpes juga ada yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, NTB dan Pulau Jawa.
“Mayoritas memang banyak berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta dan Jawa Barat. Tapi, ada juga yang berasal dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTB dan Irian Jaya,” jelas Gus Iphoeng.
Di pondok ini, lanjutnya, semua santri tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Romo Kiai, Pimpinan Ponpes, semua santri diperlakukan sama. “Semua santri di sini istimewa. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Tidak peduli apakah dia dulu anak pejabat atau hanya orang biasa. Semua diperlakukan istimewa oleh Romo Kiai. Sebab, di sini, yang diutamakan bukan kedudukan sosialnya santri. Melainkan, mau belajar praktik untuk saling menghormati satu sama lain atau tidak,” tandas alumnus SMSR Yogyakarta itu.
Menyinggung tentang hikmah pengibaran bendera merah putih terbesar di Indonesia itu, Gus Iphoeng mengatakan, mungkin, di antara hikmah yang dapat diambil adalah, bagaimana agar kita bisa menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan negara ini. Yaitu, cinta yang tulus dan ikhlas. Cinta yang tak mengharapkan balasan apa-apa.
“Artinya, bagaimana caranya agar kecintaan kita terhadap bangsa dan negara ini, bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, mencintai dan menyayangi semua makhluk ciptaan Allah yang ada di Indonesia ini, tanpa memandang kedudukan, agama dan derajatnya,” imbuh mantan staf pengurus Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah Yogyakarta itu.
“Yang terpenting dari semua itu,” tukas Gus Iphoeng, “lewat pengibaran bendera merah putih terbesar itu, kita bisa belajar menumbuhkan keberanian (sebagai simbol dari warna merah) untuk hidup dalam kesucian (sebagai simbol dari warna putih). Suci lahir maupun batin. Suci dari segala bentuk penyakit hati.” (Firman Rudiansyah)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda